Bab 22

371 59 12
                                    

Anna Tasya Hendranata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anna Tasya Hendranata

▪️▫️▪️

"Kalau Anna yang meminta, dia bisa apa?"

-----

Anna merasa bingung dan tak nyaman. Dia tidak tahu mengapa dia langsung bersembunyi dengan duduk sembari menekuk lutut di bawah jendela, padahal baik Cindy maupun Pangeran tidak menyadari Anna sedikit pun. Dia merasa panik tiba-tiba dan jantungnya yang berdegup kencang seakan-akan sedang diremas. Gadis itu terduduk diam di sana dalam waktu yang lama, tidak bisa memikirkan barang sesuatu pun. Dia berkedip beberapa kali saat menyadari pipinya sudah basah karena air mata.

Lagi-lagi, dia menangis tanpa alasan.

Ah, tidak. Apa dia sedang cemburu?

Mungkin saja, kan? Melihat selama ini Pangeran yang selalu ada di sampingnya sedang berduaan dengan adiknya, Anna pasti merasa cemburu. Benar, itu hal yang wajar bagi anak remaja. Itu jawaban yang paling masuk akal. Anna membasahi bibirnya yang kering, lantas menghapus air matanya dengan cepat. Dia menarik napas dalam dan mengeluarkan perlahan; mengulangnya beberapa kali sampai jantungnya kembali berdetak dengan normal.

Anna bangkit berdiri dengan memegang kusen jendela. Dia menatap ke luar lagi dan tidak mendapat kehadiran kedua orang itu. Selanjutnya mencoba berpikir rasional. Pertama, Pangeran kan memang kenal dengan Cindy. Katanya Anna yang mengenalkan mereka berdua. Kedua, karena Anna dekat dengan Pangeran, sepertinya Cindy juga dekat dengannya, Joshua juga seperti itu kok. Tentu saja tidak ada pertemanan yang mulus tanpa pertengkaran. Benar, pasti begitu. Lagipula, dalam ingatan Anna yang bolong sejak kelas delapan sampai saat dia koma, Anna pasti juga pernah bertengkar dengan Pangeran.

Gadis itu menangkup kedua pipinya dan mencoba menyadarkan diri. Masa lo cemburu sama adek lo sendiri, An? Gak etis banget. Anna mendesah panjang sebelum berbalik. Dia menatap Joshua yang masih tertidur nyaman di ranjangnya. Untung saja bocah besar itu gak bangun. Bisa-bisa, Anna mati karena malu diledek!

Dia melangkah pelan mendekati Joshua, duduk lagi di sebelahnya sebentar sebelum kembali membaringkan diri. Anna sepertinya butuh istirahat yang banyak agar tidak berpikir yang aneh-aneh. Namun, meski dia sudah berulang kali memantrakan diri untuk tertidur, matanya tetap terbuka lebar, melihat kosong pada langit-langit. Masih tak ada yang spesial di sana, tapi dia tidak mengerti mengapa logikanya masih belum bisa memenangkan pertarungan dengan kecemasan di hati. Anna tidak melakukan gerakan berarti selain berkedip dan bernapas, hanya saja otaknya tidak berhenti memutarkan suara yang menyuruhnya untuk tetap positif sebagai perlawanan pada hati. Dia tidak tahu mengapa dia bisa seperti ini.

Sementara itu, Joshua yang terbangun karena pergerakan Anna untuk kembali berbaring, hanya bisa menatap kakaknya dengan mata yang bergetar. Apa sudah dua menit berlalu setelah kakaknya hanya menatap kosong ke atas sana? Atau sekarang sudah memasuki menit ke sepuluh? Joshua merasa dirinya memiliki keraguan untuk tahu.

In Every HeartacheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang