Sekuel dari Cinderella's Sister
...
"Setelah semua yang terjadi, aku hanya kembali pada luka."
-----
Anna kembali pada usia 14, memutuskan membangun ulang kehidupannya yang hilang. Seharusnya itu mudah. Apalagi ditambah dengan bantuan teman dan kelu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Abileo Jacob Ricardo
▪️▫️▪️
"Kumohon... biarkan orang-orang yang ku sayang bahagia."
-----
Reza memeluk Anna erat sembari memejamkan matanya, "gue bakal rindu sama lo."
Anna terkekeh pelan dan melepas pelukannya, "gue juga, kok."
Reza menghela napas menatap lurus pada Anna, tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi semua kata-katanya berhenti di pangkal tenggorokan.
"Hati-hati di sana. Jangan begini lagi. Nanti gue geplak kepala lo," ancam Anna sembari menunjuk wajahnya tajam.
Reza mengangguk, "iya, iya, Nyonya Besar," jawabnya sebelum terdiam selama beberapa detik.
"Kenapa?"
"Lo... lo tahu, kan, gue bakal tetap di samping lo? Jadi, jangan takut, ya? Apapun yang terjadi, gue gak bakal kabur lagi."
Anna mengerutkan keningnya tak mengerti, "maksudnya?"
Cowok itu menggeleng, "kalau ada apa-apa, hubungin gue. Gue bakal datang secepatnya."
"Udah dibilang jangan lagi. Lo tuh anggap remeh banget sama uang."
"Lo jauh lebih berarti dari uang, An."
"Emang," dengkus Anna, "udah, sono, nanti lo ketinggalan penerbangan lagi."
Reza menatapnya ragu, "ini lo emang khawatir gue ketinggalan atau ada yang lain?"
"Kagak ada elah. Udah, sono!"
Reza tertawa singkat. "Gue pergi, ya?" Dia mulai berjalan menjauh dari Anna, tapi berhenti setelah beberapa langkah; kakinya terasa memberat. Dia teringat lagi dengan percakapan antara dirinya dan Abil kemarin. Sejujurnya, dia masih tidak menyangka bahwa Anna sudah bertemu dengan Abil tanpa mengingat siapa cowok itu. Mungkin apa yang Abil katakan saat itu benar, tentang takdir yang mempertemukan mereka.
"Gue pernah ke sini, waktu lo koma, di ICU, sebelum pergi ke Itali." Reza sedang duduk di sofa, di sebelah Abil yang masih menggunakan kursi rodanya, "tapi hanya sampai di pintu. Gue gak berani masuk." Cowok itu menunduk dalam, menghela napas panjang dengan penuh penyesalan, mengingat bagaimana dia berdiri dengan pengecut di luar ruang ICU, melihat tubuh Abil yang terbaring dengan berbagai alat penunjang hidup, di mana kakak dan bapaknya terjaga hampir setiap malam. Bagaimana mungkin dia menemui mereka tanpa rasa malu?
"Harusnya, waktu itu gue masuk. Maaf."
Abil menggeleng pelan.
"Yang lain---lo tau, yang lain juga pernah datang. Meskipun mereka gak pernah bilang, tapi mereka juga pernah datang. Kita gak ada yang tau kalau lo udah siuman. Kalau aja kita tau, pasti semua bakalan langsung datang nemanin lo."