Bab 5

450 53 0
                                        

Anisa Janette Ricardo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anisa Janette Ricardo

▪️▫️▪️

"Hanya dengan diam, dia bisa membungkam mulut sang kakak."

-----

"Le, ada apa?"

Kening Anisa berkerut ketika melihat tingkah laku adiknya seperti cacing kepanasan sejak pulang. Contohnya sekarang, dia berulang kali minum dengan gelisah padahal film yang mereka tonton tidak punya adegan yang mempu membuat jantung menjerit. Justru sekarang hanya ada adegan percakapan membosankan yang membuat Anisa menguap dua kali dalam waktu satu menit.

Wajah Abil seperti menelan muntah sendiri. Bibirnya berkedut seolah ragu apa dia harus bertanya atau tidak.

Melihat keraguan dan rasa cemas Abil, Anisa memiringkan tubuh sedikit agar condong pada adik kecilnya, "gak Kakak bilang ke siapapun, janji, deh. Cerita aja."

Anisa menyesal mengatakan itu. Karena selanjutnya yang dia dengar hanyalah, "Aku gak mau jadi jelek seperti monyet. Mirip Kakak."

Anisa tidak berusaha menahan diri untuk menempeleng kepala Abil, "maksud kamu apaan, Anak Tuyul?!"

"Kalau aku anak tuyul, Kakak juga anak tuyul, dong---"

"Bodo amat, Le! Bodo amat! Malas bicara sama kamu!"

Abil berdecak. Menggerutu dengan suara sepelan yang ia bisa, tapi Anisa tetap mampu mendengar Abil berkata, "ya, kan, Kakak yang maksa buat cerita. Gimana, sih?"

"Cerita, sih, cerita, Le. Yang kamu bilang tadi ngejek Kakak, bukan cerita!"

"Tapi, kan, Kakak emang jelek kaya monyet kalau lagi nangisin cowok!"

"Oh, jadi selama ini kalau Kakak nangis, kamu ngeledek Kakak---tunggu, apa?" Dia kelihatan seolah sedang mencerna sesuatu, sebelum akhirnya membulatkan kedua netranya seperti baru saja melihat penampakan. "Apa?!"

"Bisa gak, sih, Kakak gak teriak? Telingaku sakit!"

Anisa tak menggubris komentar Abil. Dia malah menangkup pipi Abil dan memeriksa setiap inci wajah adiknya itu. "Seriusan, Le?! Kamu kan baru beberapa hari di sini, masa udah---"

"Apaan, sih, Kak?" Abil menurunkan tangan Anisa dengan jengkel, "mending aku gak usah cerita kalau gini."

"Kakak syok, Le. Apa ini efek puber, ya? Memangnya anak kelas delapan udah puber?"

Abil memicingkan mata dengan hidung berkedut. Tanda dia tidak suka arah pembicaraan ini. Membuatnya tidak nyaman dan bergidik ngeri.

"Aku tidur dulu, dah!"

"Eh, tunggu, Le! Siapa? Jawab dulu!"

"Gak ngerti, Kak!"

Abil berbohong. Anisa tahu dia berbohong. Jadi, dia mengejar Abil yang hendak masuk ke kamarnya. Menarik tangannya dan menunduk menatap adiknya seperti polisi yang menginterogasi tersangka. "Siapa yang kamu suka? Hayo jawab!"

In Every HeartacheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang