PROLOG

76 11 4
                                    

Surabaya, September 2018

"Kayla benar-benar mirip kamu dan Ratna."

Kepala Dhaka bergerak ke kanan sebelum laki-laki itu kembali sibuk memasang kancing kemejanya dengan tangan gemetar. Di atas ranjang, Naomi, istrinya, masih menekuni dua wajah yang sangat dikenalnya melalui potret dari salah satu teman lama mereka.

"Aku boleh simpan yang ini?" tanya Naomi sembari mengangkat sebuah foto gadis berambut sebahu mengenakan seragam basket. Sebuah senyum pias ia hadiahkan pada sang suami yang kini duduk di sampingnya.

Dhaka mengambil alih foto-foto di tangan wanita itu dan memerhatikan satu yang tadi ditunjuk Naomi. Pria berusia empat puluhan itu mendadak kesulitan bernapas. Jantungnya seolah diremas kuat hingga ia mati rasa. Istrinya benar, entah bagaimana takdir mempermainkan mereka dengan kenyataan bahwa Kayla, putrinya, tumbuh sama seperti dirinya—wajahnya, sorot matanya, dan mimpinya.

"Jangan dirusak!" Nada melengking itu membuat Dhaka menjengit. Ia tidak sadar hampir meremas kertas di genggamannya ketika rindu menjadi satu-satunya hal yang ia tahu.

Naomi mengambil alih foto tersebut kemudian menyelipkannya di buku catatan miliknya. Embusan napas panjang sang suami membelai pipi kanannya, menghantarkan lebih banyak rasa bersalah di hati wanita itu.

"Sebentar lagi aku harus berangkat, kamu minum ini!" Dhaka menyorongkan dua butir pil beda warna ke depan bibir sang istri serta segelas air. Ibu jarinya mengusap sudut bibir wanita yang dinikahinya sembilan belas tahun lalu, membuat seberkas pelita di hati Naomi tetap menyala.

Setelah memastikan kebutuhan wanita tersebut terpenuhi, Dhaka meraih tas kerjanya dan berlalu. Sementara itu, Naomi tetap pada posisinya. Ia kembali memandangi foto putri suaminya yang bahkan tak pernah ia temui secara langsung tapi dapat dengan mudah membuatnya jatuh hati.

"Ma," panggilan itu mengalihkan perhatian Naomi. Dilihatnya sang putra, Sega, telah duduk di sisinya. Sega meraih tangannya, menggenggamnya erat. Dia berharap Naomi dapat melupakan rasa sakitnya.

Naomi mengukir sebuah sabit di romannya yangpucat kemudian ia berujar, "Kamu lihat, Mas, adik kamu cantik sekali!" Iamenyodorkan foto Kayla. "Suatu saat, kalau kalian bertemu, sampaikan permintaanmaaf mama, ya, Mas! Dan kamu harus janji buat jaga dia, jangan sakiti hatinya, bisa?"

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang