"Mama ngapain?"
Ratna dan Dhaka menoleh ke arah pintu yang terbuka di mana Kayla, putri mereka, mematung dengan pandangan tak percaya. Dhaka lebih dulu bangkit, hampir menghampiri Kayla ketika tangan gemetar Ratna mencegahnya.
"Mas pulang aja dulu, biar aku yang ngomong sama Kayla."
Meski ragu, Dhaka lantas menyambar tas kerjanya lalu berjalan ke muka pintu. Namun, tepat di samping putrinya, pria itu berbisik, "Papa selalu bangga punya Kayla."
Dhaka menutup pintu rumah tersebut, memberikan ruang pribadi bagi dua wanita yang dicintainya itu untuk bicara meski ia pun ingin turut andil.
Sementara pria itu meninggalkan rumah di bilangan Jagakarsa tersebut, Ratna menarik napas dalam. Wanita itu berusaha menenangkan gemuruh di hatinya agar putrinya juga yakin dengan keputusan ini. Bukankah ini yang selalu putrinya inginkan sejak dulu? Kedatangan Dhaka untuk membuktikan bahwa baik Ratna maupun Kayla memang layak dicintai.
"Sayang." Sentuhan lembut Ratna di pipinya membuat cairan bening menetes dari pelupuk mata Kayla.
"Kenapa, Ma?"
Ratna tahu semua ini terjadi serba tiba-tiba hanya dalam hitungan minggu. Ratna tahu tidak mudah bagi Kayla memercayainya. Sejak kedatangan Dhaka di Jakarta pun, wanita itu hampir tidak percaya. Hampir sebelas tahun, selama itu juga Ratna berusaha mengikhlaskan kisah cintanya yang harus kandas dalam sebuah perceraian. Ia tidak memungkiri bahwa sebagian hatinya terluka. Dan lukanya bertambah dalam ketika ia sadar bahwa keputusannya membuat jiwa sang putri perlahan mati.
Wanita itu sadar, ia dan Dhaka sudah melewatkan masa-masa penting Kayla. Gadis itu seharusnya tumbuh dengan baik jika Ratna tidak menyerah. Kini, saat putrinya beranjak dewasa, Ratna tidak ingin malaikat kecilnya memilih jalan yang salah. Ratna butuh Dhaka di sisinya. Ratna butuh Dhaka untuk membimbing Kayla ke jalan yang seharusnya.
"Mama dan papa kamu akan menikah lagi. Kita akan kembali bahagia seperti dulu."
Kayla menggeleng keras. "Nggak, Ma." Gadis itu meraih dua belah telapak tangan sang ibu dalam genggamannya, lalu berujar, "Kita nggak perlu orang lain untuk bisa bahagia. Kita nggak perlu papa, aku yang akan kasih mama kebahagiaan itu."
Ratna merangkum wajah putrinya hingga dua pasang manik mereka saling bertemu. "Mama tau, Sayang, tapi kita juga butuh papa kamu. Dia sayang kamu, sayang sama mama."
"Kalau papa sayang aku, di mana papa saat temen-temen aku bilang aku anak buangan? Di mana papa saat kita harus ninggalin rumah hanya karena omongan tetangga? Dan di mana papa saat Mama harus banting tulang supaya kita bisa makan, supaya aku bisa sekolah? Papa nggak pernah peduli dengan apa yang kita alami, terus tiba-tiba papa datang gitu aja saat semua hal udah jadi normal? Papa punya harta, punya istri dan anak, sementara aku dan Mama cuma pilihan. Apa menurut Mama ini adil?"
"Mikayla, cukup!" Tanpa sadar Ratna mendaratkan tangan kanannya ke sisi wajah Kayla kencang hingga kepala gadis itu berpaling ke kanan.
Dalam beberapa detik, keterkejutan jadi satu-satunya hal yang dirasakan dua wanita beda usia tersebut. Ratna memandang tangannya dengan tubuh gemetar, hingga putrinya berkata lirih, "Nenek yang kasih tau aku tentang ini semua."
Kayla tidak dapat membendung rasa sakitnya lagi. Air matanya tumpah ruah ketika ia kembali menghadapkan romannya pada sang ibu. Gadis kecil di ingatannya selalu membisikkan kisah itu padanya tiap Kayla menumbuhkan harap. Gadis penuh luka dan rahasia.
"Aku udah berusaha keras, maaf kalau aku nggak bisa kasih kebahagiaan itu buat Mama," ungkap Kayla sebelum beringsut memasuki area pribadinya.
Gadis itu jatuh terduduk di balik pintu kamar. Ia terisak tanpa suara. Ia sudah berusaha keras. Ia pikir hasil pertandingannya dapat memenangkan hati orang yang paling ia sayangi. Namun, apa yang dia lakukan ternyata tidak pernah cukup dan semakin tak akan pernah cukup ketika satu kalimat yang didengarnya dari seorang dokter di unit kesehatan hari itu menyentaknya hingga jatuh dalam waktu singkat. Kayla ingin merasakan damai, ia ingin tetap seperti itu dalam waktu yang lama. Sayangnya, semua harap itu justru mengingatkannya pada tiap lembar peristiwa yang telah lalu. peristiwa yang akan selalu mengikuti langkahnya sampai kapan pun. Tidak, dia tidak pernah cukup.
Bulir-bulir keringat dingin memeluk tiap inci tubuhnya. Kayla merasakan hawa panas melingkupinya sebelum gadis itu jatuh membentur lantai.
***
Gumpalan awan abu-abu berarak mengiringi langkah lambat Kayla. Gadis itu berjalan tak tentu arah sambil sesekali menyentuh satu sisi wajahnya yang tertutup tudung jaket. Ia berusaha menekan jantungnya ketika ingatannya kembali pada kejadian beberapa jam lalu. Bukan karena ia merasa sakit, sebaliknya, Kayla tak merasakan apa pun lagi. Tidak ada rasa sakit, kecewa, pun kemarahan, dan kedamaian.
Langkah kakinya tanpa sadar membawa gadis itu ke sebuah lapangan di kompleks perumahan Leon. Gadis itu tidak tahu mengapa ia ke sana. Jadi satu-satunya hal yang ia lakukan hanya duduk sembari menekuk kedua kakinya sejajar dada. Wajahnya datar, tapi siapa pun yang melihat ke dalam netranya pasti tersesat.
Kayla memejamkan matanya sejenak, menikmati semilir angin yang membelai kulit telanjangnya. Tak berselang lama, indra pendengarnya menangkap suara yang begitu familiar. Benturan bola basket dan lantai semen itu menghasilkan irama yang menentramkan jiwa Kayla. Dan ketika suara itu berhenti, seorang gadis berambut pendek mengisi kosong sisi kirinya. Kayla membuka kembali matanya perlahan.
"Apa yang lo lakuin di sini?" tanya Gita, gadis tersebut.
"Bukan urusan lo!" Kayla menyahut ketus yang dibalas dengusan temannya.
"Kadang hidup bisa jadi nyebelin." Gadis bernama lengkap Nagita Kelan aitu berkomentar. Ia meluruskan kakinya dan melakukan sedikit peregangan. Di saat yang sama, Kayla melirik bola oranye di hadapan mereka.
"Lo mau main?"
Gita mengerutkan keningnya. Kayla mengangkat bahu acuh sebelum menyimpan bola itu di genggamannya. "Satu babak?"
"Lo cari mati?" Gita berteriak marah. Gadis itu merebut bolanya dan memelototi Kayla. "Dokter bilang lo nggak boleh main basket dulu, kalau nggak luka lo bisa tambah parah, Mik!"
"I'm fine, Git. Liat!" Kayla menggerakkan seluruh tubuhnya lihai.
Sebelum temannya itu menolak, ia lebih dulu lari ke tengah lapangan, menggiring benda bulat itu sampai ke depan ring. Dengan gerakan pelan, Kayla melakukan dribble kecil di sepanjang garis horizontal. Hingga beberapa saat kemudian Gita memilih bergabung. Lama-lama permainan mereka semakin menuntut. Gita dan Kayla saling berebut bola, sesekali melakukan pivot untuk mempertahankan diri. Mereka sadar jika saat ini mereka hanya sedang lari dari kenyataan pahit masing-masing.
"Lo tau, Mik, satu hal yang nggak gue suka dari lo tukang pamer dan haus pengakuan. Lo jelas beda sama nyokap lo," gumam Gita tiba-tiba.
Kayla meneguk salivanya, tiba-tiba kembali teringat semua hal yang mengaitkan gadis itu dengan sang ayah. Ia selalu ingin jadi seperti pria itu saat ia kecil. Sayangnya, harapan tinggal sebuah nama, karna Dhaka tidak pernah ada di sana. Dhaka tidak melihatnya tumbuh. Pria itu tidak lagi membimbing jalannya saat Kayla ketakutan. Tidak ada yang memberitahunya apa yang harus dan tak harus dilakukan.
Kayla hanya berteman sepi. Ia membawa dirinya jatuh dalam kehilangan.
Mentari hampir kembali ke peraduannya ketika gadis itu menatap sinarnya yang menawan. Sementara itu, nyeri di sekitar lutut kanan dan betisnya semakin terasa. Namun ia mengabaikannya. Rasa sakit terhadap sang ayah lebih besar
Kayla kembali mengayunkan kakinya, mengejar Gita dan berusaha menyambar bola di tangannya. Setelah benda bulat itu berpindah tangan, ia berlari cepat ke arah ring dan mencoba melakukan shooting meski gagal. Jadi gadis itu melakukannya lagi dan lagi, sampai bola oranye itu meluncur jatuh melalui keranjang.
"Mika!" Gita berteriak ketika melihat temannya ikut jatuh bersama bola yang dilemparkan.
Depok, 1 Mei 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
What Happened to Perfect
Novela Juvenil[END] Bahagia versi Sega adalah memiliki kasih sayang kedua orangtuanya serta seorang adik penurut. Bahagia versi Kayla adalah hidup bersama keluarganya dengan keadaan apa pun. Sega dan Kayla, kakak beradik beda ibu yang tumbuh dalam keluarga berb...