TIGA PULUH EMPAT

10 0 0
                                    

"Le, apa menurut lo, Tante Sofi tau kalau Windi sayang banget sama dia?"

Leon melepas helm-nya. Kedua tangannya ia tumpukan di atas setang sementara ia memfokuskan pandang pada gadis cantik di sampingnya saat ini.

"Gue nggak tau apa yang ada di pikiran mereka, Mik, tapi yang gue tau, Allah akan selalu menunjukkan pada hambanya sebuah kebenaran dengan cara yang unik."

Kayla mengangguk paham.

"Lo sendiri gimana? Apa rencana lo selanjutnya?" Leon bertanya.

"Gue 'kan udah balik ke rumah, Le. Gue bakal ngelanjutin hidup gue kayak biasanya."

Sebuah bulan sabit tampak menghias rahang kokoh Leon. Pemuda itu turun dari motornya sebelum meraih satu tangan Kayla, membimbing langkah gadis itu menuju teras rumahnya. "Maksud gue bukan itu, Mik."

Sebelah alis gadis berkemeja hitam tersebut terangkat naik. sama sekali tak mengerti maksudnya.

"Lo dan Windi, kalian punya masalah yang sama, gue yakin lo paham apa maksud gue. Dan sekarang, setelah semua yang lo rasain untuk Windi, apa lo masih tetap bertahan sama luka lo. Atau lo mau ambil kesempatan yang ada saat ini?"

Gadis itu terpekur lama. Sebelum berpulang, Windi memang sempat mengatakan penyesalan terbesarnya selama ini. Bukan tentang impian yang selalu ia gemborkan pada dunia seperti saat dulu Kayla mengenalnya, melainkan tentang membuka hati untuk orang yang telah menyakitinya, yaitu Sofi–ibu kandungnya.

"Windi bilang kita harus mengambil kesempatan sebelum semuanya terlambat," kata Kayla memecah keheningan lalu melanjutkan, "gue mungkin udah nggak punya kesempatan untuk bikin orang tua gue bangga lagi setelah ini, Le. Belum lagi pendapat orang-orang tentang ..." Ia mengembuskan napas berat, "you know, masalah gue sama Val."

"Apa yang terjadi di hidup lo nggak bergantung dari apa kata orang, Mik. Apa pun yang terjadi, bokap lo kembali untuk lo dan nyokap lo. Apa lo nggak mikirin perjuangan apa yang mungkin udah bokap lo lalui buat sampai di titik ini? Mungkin aja semuanya nggak seburuk yang selalu elo dengar selama ini. Sebesar apa pun kesalahan yang pernah mereka perbuat, mereka tetep orangtua yang harus lo hormati dan sayangi. Dan tentang Brian, gimana sebenernya perasaan lo sama dia? Biarin hati lo bicara kali ini, Mik."

Gadis itu membisu.

Leon meraih tangan Kayla lalu menyelipkan di antara jemarinya. "Windi nggak mau lo melakukan kesalahan yang sama. Gue udah liat satu orang yang gue sayangi gagal, dan sekarang gue nggak mau hal itu terjadi juga sama lo, Mikayla. Gue nggak mau lo nyesel. Gue mau liat lo bahagia."

Dua manik Kayla menatap haru pada ciptaan Tuhan di depannya kini. Untuk sesaat tadi ia merasa tersesat, tapi menit berikutnya, small forward AGT tersebut tahu bahwa Leon benar. Kalimat sejenis pun pernah ia dengar dari mulut Brian.

Untuk pertama kali setelah sebelas tahun lamanya, Kayla menyesal atas kekacauan yang ia buat. Ia yang tak memberi kesempatan untuk ayah dan ibunya menjelaskan dari sudut pandang mereka. Sejak ia kecil, kakek dan neneknya tak pernah sekalipun datang berkunjung atau menanyakan kabar padanya dan ibunya. Lalu kenapa Kayla harus menelan mentah-mentah ucapan orang yang tak ia kenal dengan baik?

Diiringi sebuah senyum tulus, Kayla balas menggenggam tautan Leon dan berujar, "Thanks, Le, gue seneng lo ada di sini. Gue beruntung punya sahabat sebaik elo."

Setelah mengutarakan kalimat tersebut, Leon meminta Kayla masuk dan beristirahat. Pemuda itu meninggalkan kediaman sang gadis dengan motor CBR army miliknya ditemani rintik kecil yang tak pernah bosan membasahi Bumi Pertiwi. Meski ada perih yang menyusup ke dalam afeksinya, ia tetap menghadiahkan senyuman mataharinya untuk Kayla.

Sementara itu di salah satu sofa ruang tamu rumahnya, Kayla meraih album foto yang pernah Dhaka bawa. Gadis itu membuka lembar demi lembar foto yang membuat kenangannya tampak jelas.

Kayla tidak tahu kejutan apa lagi yang menanti di depan. Yang ia tahu, ia telah lama berusaha untuk diri sendiri. Kepergian sang ayah sebelas tahun lalu jelas menimbulkan jejak yang teramat pedih. Gadis itu membencinya. Sangat membencinya. Namun Leon bilang, benci dan cinta hanyalah sebuah nama yang tidak mudah untuk dipahami. Kesamaan dari dua hal itu adalah bahwa Kayla tetap merindukannya tanpa sadar. Kayla masih mengingat semua tentangnya meski waktu membuat jarak mereka terlampau jauh.

Gadis itu menghela napas panjang. Ia punya banyak rencana dan mimpi yang sebenarnya memiliki satu tujuan pasti, yaitu menunjukkan pada ayahnya bahwa ia bisa sukses dan dapat dibanggakan. Seolah-olah Kayla yakin Dhaka akan melihatnya dari tempat yang jauh sekalipun.

Kayla menunggu kata 'maaf' dilafalkan sang ayah. Namun, apa kata maaf lebih berarti dari setiap kehadiran Dhaka untuknya? Surai sebahunya bergerak ke kanan dan kiri. Dua anak sungai terbentuk di wajah tegasnya. Ia tahu jawabannya, ia hanya takut hancur saat mengakuinya.

***

Dua hari berlalu sejak kematian Windi. Ratna sudah kembali dengan beberapa pekerjaan yang seolah tak berjeda. Wanita itu berangkat pagi, dan pulang ketika Kayla sudah terlelap dalam tidurnya—dan itu semua Ratna lakukan demi kesembuhan sang putri. Mereka belum bicara banyak. Tak bisa dipungkiri, di sudut hati terdalamnya, Kayla sangat merindukan wanita yang telah melahirkannya tersebut.

Jarum jam menunjukkan angka delapan pagi tatkala Kayla terbangun dengan nyeri di kepala kiri. Gadis itu berjalan gontai ke dekat jendela. Tangannya tergerak, menyibak gorden biru yang menghalangi pandangan dari dunia luar. Hari ini, Sang Surya tidak menampakkan senyum sedikit pun. Sama seperti hatinya yang kelabu.

Akan tetapi, Kayla memaksakan langkah keluar kamar. Ia tidak ingin terus berdiam diri di dalam kamarnya. Setidaknya, ia masih bisa membantu sedikit pekerjaan rumah seperti biasa. Namun sebelum itu, Kayla memutuskan mengisi perutnya yang keroncongan.

Sesampainya di dapur, kedua belah bibirnya membentuk sebuah sabit, walaupun sebentar. Bibirnya kembali statis ketika menyadari bahwa pelita hidupnya tak lagi seterang dahulu. Nada suara Ratna yang menyapanya mungkin setenang langit malam, tapi gadis itu merasakan patah hati yang teramat dalam di sana.

Selama ini Kayla hanya memikirkan dirinya. Ia memikirkan bagaimana caranya bahagia agar kenangan tentang Dhaka sirna. Hingga akhirnya, gadis tersebut melupakan fakta bahwa pengorbanan sang mama jauh lebih besar.

"Ma ...," Suaranya tercekat di tenggorokan, "kenapa Mama masih mau ketemu Papa setelah sekian tahun Papa pergi? Setelah apa yang Papa tinggalin bikin Mama harus berjuang sendiri, kenapa Mama masih terima dia?"


Depok, 29 Mei 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang