Lapangan bercat biru dan merah itu tampak lengang. Anak-anak dari tim basket sudah meninggalkan tempat tersebut hampir setengah jam lalu. Matahari hampir kembali ke peraduannya ketika sesi penilaian mereka berakhir. Kebanyakan dari mereka sudah membersihkan diri dan bersiap pulang, sementara lainnya bergerombol di salah satu warung es depan sekolah. Namun, di setiap komunitas pasti ada satu atau dua orang yang berbeda. Di AGT sendiri, Kayla-lah individunya.
Seperti saat ini, gadis itu masih betah duduk di tepi lapangan, duduk berselonjor menghadap sinar keemasan yang perlahan memudar seorang diri. Seragam rush orange kebanggaan Alamanda yang baru-baru ini mencapai babak baru dalam kancah pertandingan daerah itu masih menempel pada kulit natural Kayla—tak peduli sekalipun kaus itu sudah basah karena keringat. Ia ingin melepaskan penatnya sejenak dan mengingat kembali apa yang membuat gadis itu berakhir seperti saat ini.
Perbincangan tentang acara Alamanda minggu depan menjadi topik utama hari ini. Hampir semua anak membicarakannya, entah karena mereka benar-benar ingin merayakan acara inti atau sekedar suka karena dengan begitu pelajaran ditiadakan. Lain hal dengan Kayla, gadis itu bahkan sudah berencana membolos—mungkin berpura-pura sakit atau apa pun yang bisa membuatnya tak perlu datang. Ya, dia sudah bertekad melakukannya meskipun Brian mengutus Leon untuk membujuknya siang tadi. Kayla mendengkus mengingat kejadian tersebut. Selalu saja sahabatnya itu memperalat Leon demi memaksakan rencananya.
Kekecewaan Kayla terhadap Brian meningkat tajam. Seolah tak cukup menempatkan gadis itu di dalam hubungan asmaranya yang rumit, kini Brian memaksanya terjun ke dalam luka. Selama ini, Kayla sudah berusaha kuat menghadapi tuntutan lingkungan ketika ada di sisi Sang Casanova, karena ia pikir pemuda tersebut bisa menyelamatkannya dari situasi sulit. Mereka bersahabat, tentu saja, tapi hubungan mereka tidak sesederhana itu. Kayla dan Brian adalah sekutu, mereka bersama untuk saling bantu mencapai tujuan masing-masing.
Saat ini, Brian bilang ingin membantu mewujudkan impian kecil Kayla untuk dapat tempat di kursi pebasket profesional. Kayla tentu senang dan beruntung memiliki sahabat dengan koneksi luas dan otak semerlang pemuda tersebut, tapi di sisi lain dia juga tidak pandai berpura-pura. Gadis kelahiran Desember 2003 itu tidak bisa bertingkah seolah semuanya baik-baik saja saat hatinya perih hanya karena mendengar sebuah kata 'ayah'. Dia bukan Brian yang dapat mengenakan topeng untuk menyembunyikan apa yang ada di dalam hatinya.
Kayla menulikan pendengarannya terhadap segala alasan dan bujuk rayu sang sahabat. Ia ingin meraih mimpinya dengan cara benar, dengan kemampuan yang benar-benar ia miliki, meski sulit. Beruntung, Leon tak lagi membujuknya setelah ia mengutarakan pendapatnya.
Sibuk dengan pikirannya, Kayla tidak sadar jika sejak tadi seorang pemuda memerhatikan kebisuannya. Pemuda itu menyeret langkahnya mendekat, seolah ada magnet yang memaksanya menemani si gadis.
"Belum balik?"
Sega, pemuda tersebut, melihat kilatan kesal dari manik Kayla. Namun, kilatan itu segera menghilang kala mereka bertatapan.
"Ada masalah?" Sega kembali bertanya begitu gadis itu mengangkat lututnya dan menumpukan dagu di sana.
"Tadinya gue kira Val."
Pemuda bersepatu krim-hitam tersebut bersila di sisi Kayla, mengamati wajah yang terlihat lelah itu dengan sedikit percikan api. Selalu saja Brian yang ada di pikiran adiknya itu. Entah Kayla sadar atau tidak, tapi Brian seolah menempati bagian penting di hidupnya. "Jadi lo sore-sore di sini karna nungguin Brian?"
Kepala Kayla berputar empat puluh lima derajat hingga kini muda-mudi tersebut berhadapan. "Gue bilang, gue kira yang datang Val, bukan berarti gue nungguin dia! And for your information, gue bahkan nggak ingat Val pernah duduk sama gue di sini setelah latihan gue selesai cuma buat lihat sunset!"
Kalimat bernada kesal itu berhasil menarik sudut bibir Sega ke atas. Bukan karena fakta Kayla sedang tidak menunggu Brian, tapi karena ia punya satu tempat di sisi adiknya yang tak pernah terjamah sang musuh. Belum lagi fakta bahwa Kayla juga penikmat senja, sama sepertinya.
Setelah kalimat itu selesai dilantunkan, hening menjadi penengah bagi keduanya. Kayla menengadahkan kepalanya, menikmati embusan angin yang membelai wajahnya. Matanya terpejam selama beberapa detik hingga ia merasakan usapan lembut di dahi hingga daun telinganya. Ketika netranya terbuka, gadis itu berhadapan dengan rahang kokoh terbalut senyum tenang. Sega menyingkirkan helaian anak rambutnya ke belakang telinga.
"Apa yang paling lo suka dari senja?"
Kayla tidak pernah mengira akan mendapat pertanyaan sederhana tapi juga penting baginya. Gadis itu tidak menyebutkan jika ia suka senja, 'kan? Namun, Sega menebaknya seolah Kayla adalah sebuah buku yang terbuka di hadapan pemuda tersebut.
"Pulang."
Senja adalah saat bagi gadis seperti Kayla kembali merasakan kenyamanan setelah bertarung dengan keadaan di sekitarnya. Kayla tidak benci dunianya, dia hanya benci saat ia harus memenuhi ekspektasi untuk dapat bertahan.
"Lo tau, Kay, senja adalah alasan gue ada di sisi lo saat ini." Si pemilik nama masih setia memandangi rupa seniornya itu dengan tanda tanya di wajahnya. "Hidup punya dua sisi. Manusia punya rahasia. Terang nggak selamanya terang, Kay, ada gelap yang bersembunyi di baliknya. Kadang, kita harus ngerasain hancur buat tau jalan mana yang harus dipilih. You know, belajar dari kesalahan."
Orang-orang memakai topeng, bertindak seolah semuanya baik-baik saja. Ada terlalu banyak kejutan yang dapat ditemui dari wajah-wajah mereka, sementara gadis itu sama sekali tak suka kejutan. Seperti pemuda di sampingnya kini, keduanya hanya orang asing, tapi kadang Kayla merasa Sega tahu banyak hal tentang dirinya.
Sega merefleksikan pahitnya kisah di balik kesempurnaan. Ia menceritakan tentang apa yang ada di antara dinginnya malam dan teriknya sang surya. Hitam dan putih. Dua sisi berbeda dalam satu wujud manusia. Sebenarnya Kayla cukup terkejut, tapi ia juga setuju dengan perumpamaan itu.
Kadang Kayla lelah berjuang dan berharap dapat kembali ke tempat di mana semuanya berjalan seperti semestinya. Namun, ia sadar hidupnya jauh dari hal tersebut. Bagian mengejutkannya, bukan hanya gadis itu yang berpikir demikian, tapi juga Brian dan Sega.
"Balik, yuk!" ajak Sega kemudian.
Kayla menggeleng. "Lo duluan aja." Entah mengapa, gadis itu memasang senyum tipis nan tulus untuk Sega.
Sega mengangguk mengerti. Ia mengusap bahu Kayla, menyalurkan sedikit perasaan bahagia setelah perbincangan yang meringankan mereka, lalu bangkit.
"Kapan-kapan kita bisa ngelakuin ini lagi, 'kan?" Pemuda itu menaruh harap.
"Gue nggak bisa janji." Kayla membalas apa adanya yang mampu Sega pahami sebagai bentuk persetujuan.
Sega menyampirkan kembali ranselnya dan berjalan menjauh.
Di jalan, 10 Februari 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Happened to Perfect
Teen Fiction[END] Bahagia versi Sega adalah memiliki kasih sayang kedua orangtuanya serta seorang adik penurut. Bahagia versi Kayla adalah hidup bersama keluarganya dengan keadaan apa pun. Sega dan Kayla, kakak beradik beda ibu yang tumbuh dalam keluarga berb...