DUA PULUH TUJUH

12 1 0
                                    

Kayla baru saja menginjakkan kaki di kantin ketika semua mata tertuju padanya. Gadis itu mengisi paru-parunya dengan udara beraroma rempah-rempah, lalu mengembuskannya perlahan. Seharian ini, hampir setiap detik ia merasa pandangan orang-orang terus tertuju padanya. Ia tidak tahu alasannya, tapi ia merasa memang ada sesuatu yang tak beres. Namun, sebisa mungkin ia mengabaikan perhatian tersebut. Toh, ini bukan kali pertama ia berada dalam situasi serupa.

Dengan dagu terangkat tinggi, Kayla mulai melangkahkan tungkainya menyusuri deretan meja dan konter-konter makanan. Masa bodoh dengan komentar satu Alamanda, yang terpenting perutnya terisi hingga sore nanti.

"Liat, deh, siapa yang berani nampakin mukanya di sini. Cewek nggak tau diri!" Suara centil itu berdengung ke penjuru kantin. Sebuah tangan mencengkeram lengan atas Kayla hingga gadis itu berbalik cepat dengan mata melotot kaget. "Ngapain lo di sini?"

Iris cokelat terang Kayla bertemu pandang dengan gadis ber-name tag Anindya Pratiwi. Gadis itu—beserta pasukannya—berdiri di hadapan Kayla dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sebuah lengkungan miring menghiasi wajah Anin.

"Kalau gue jadi lo, mungkin gue lebih milih nggak keluar kelas daripada jadi omongan orang. Tapi kayaknya lo tipe orang nggak punya malu, ya?" Anin menarikan jemari tangan kirinya ke sisi kepala Kayla, mengelus beberapa helai rambutnya disertai dengusan kasar. "Lo itu cuma benalu buat Brian, harusnya lo tau itu."

Kedua tangan Kayla tanpa sadar terkepal erat. Lahar dalam dirinya bisa meletus kapan saja, tapi ia masih bisa menahannya. Anin memang selalu mencari masalah dengannya, semua orang pun tahu itu. Jadi ia menyahut dengan nada rendah. "Apa lagi sekarang?"

"Apalagi?" Anin membuang muka ke kanan sejenak sebelum kembali memusatkan fokusnya pada Kayla. Wajahnya memerah. Anin menghadapkan layar ponselnya ke arah Kayla dan berujar, "Kamis lalu, di pertandingan elo, Brian bela-belain datang cuma buat nyatain cintanya yang justru lo balas makian. Harusnya lo bersyukur, karena Brian masih suka sama anak buangan kayak elo. Emangnya lo pikir sepenting dan seberharga apa, sih, elo sampai dengan nggak tau dirinya nolak dia?"

Kayla menyipitkan matanya setelah selesai melihat tayangan video itu. Rekaman itu memperlihatkan pernyataan Brian saat di unit kesehatan. Tentang pernyataan cinta pemuda itu, juga fakta bahwa ayah yang sudah membuangnya bertahun-tahun lalu kembali datang untuk menebus kesalahannya. Dan Brian menjadi pahlawan karena sudah membuat pria itu datang di hari pentingnya.

"Nggak usah heran kali, Nin, lo nggak dengar? Bokapnya aja milih buat ninggalin dia, gue rasa apa yang Mika omongin ada benarnya juga."

Seisi ruang berukuran 4x9 meter itu senyap seketika. Semua orang jelas menunggu-nunggu kalimat yang akan disampaikan Lina, salah satu teman Anin, penasaran.

"Nggak ada hal yang bisa dibanggain dari seorang Mika. Nggak ada satu hal pun yang berharga dari dia. Itu sebabnya dia deketin Brian, buat dapat popularitas. Dan sekarang, dia manfaatin perasaan Brian demi dikenal semua orang."

Napas Kayla memburu. Ia mengangkat tangannya cepat, hampir mengenai pipi Lina saat seseorang menahan pergerakannya. Kayla, Lina, dan semua orang di tempat itu menoleh ke balik punggung anggota AGT tersebut.

"Nggak gini caranya, La." Brian berbisik, tapi masih bisa didengar beberapa anak di dekat mereka—termasuk Anin dan kawanannya. "Kyla yang gue kenal orang baik yang nggak akan terpengaruh denga napa kata orang."

Sorot mata Kayla menggelap begitu gadis itu berbalik. Hatinya teriris kala Brian menghalanginya. Meskipun Kayla sering mengungkapkan betapa tidak berharganya dia di mata sang ayah, tapi gadis itu sakit saat orang lain mengatakan hal serupa. Brian tidak mengerti, Kayla tidak marah, dia hanya kecewa. Dia kecewa karena Brian tidak mampu mengenali badai miliknya.

Sejak perjanjian mereka dimulai, baik Kayla dan Brian setuju untuk tidak menilai kesalahan mereka di hadapan publik agar rahasia mereka menjadi milik mereka sendiri. Hal itu pulalah yang sering menjadi bumerang bagi gadis itu yang dianggap beban Brian di mata orang-orang. Tidak ada yang tahu rahasia Brian selain Kayla. Tidak ada yang tahu daftar kesalahan Brian kecuali gadis itu. Kayla menyimpannya rapat-rapat dan mengungkapkan semua penilaiannya di belakang panggung sandiwara mereka. Namun tidak dengan yang Brian lakukan.

Perasaan tulus yang pemuda itu anggap sebagai cinta tanpa sadar membawa satu per satu rahasia dan kelemahan Kayla ke permukaan. Memang bukan sepenuhnya kesalahan pemuda tersebut, tapi karena eksistensinya-lah yang membuat segala hal jadi rumit. Tidak hanya Gita, para murid di Alamanda pun sudah mengendus kejanggalan dari hubungan keduanya. Sayangnya, mereka hanya tahu sebagian cerita.

Tubuh Kayla mundur dua langkah. Rahangnya mengendur seiring kekosongan di kedua belah matanya yang tak pernah Brian lihat sebelumnya.

Kayla berpaling, lantas membelah kerumunan secepat kilat.

Bahu Brian merosot, pemuda itu mencoba mengejar langkah panjang gadis yang disukainya. Namun, ketika tubuhnya sampai di lorong depan kantin, Kayla tak terlihat lagi.

Kedua tangan Brian terangkat, menjambak rambut berpotongan rapi miliknya seraya meraung frustrasi. 


Depok, 21 April 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang