EMPAT PULUH TIGA

10 0 0
                                    

"Papa panggil aku?" ucap Sega begitu pemuda tersebut memasuki ruang kerja sang ayah.

"Tunggu di sana sebentar, ya, Ga!"

Sega mengarahkan tungkainya ke sofa panjang yang menghadap jendela kaca raksasa langsung. Pemuda itu menjatuhkan tubuhnya ke sofa putih tulang sembari memainkan gawai, sementara Dhaka kembali fokus pada beberapa berkas dan laptop di meja. Ayahnya itu tampak lelah—dan Sega sudah lama tak melihat kondisi ini sejak mereka pindah ke mari.

Hingga hampir satu jam kemudian, pria berkemeja abu-abu tersebut terlihat meregangkan otot-otot tubuhnya. Dhaka sempat merebahkan kepalanya ke belakang kursi kebesarannya sebelum menghampiri sang anak.

"Gimana sekolah kamu, Ga?"

"Lancar, Pa," sahut Sega.

Namun, setelah jawaban dari pertanyaan Dhaka terjawab, pria itu justru hanya diam. Kedua tangannya saling bertaut di depan bibir.

Dahinya mengerut. Pemuda tersebut menyentuh bahu sang ayah dan bertanya, "Papa mau ngomong apa?"

"Kayaknya Papa nggak bisa kabulkan permintaan kamu untuk sekolah di luar negeri." Embusan napas Dhaka terdengar berat usai melafalkan kalimat itu.

Sega menegakkan badannya. Matanya membola ketika bersitatap dengan Dhaka. Sega tidak mengerti mengapa ayahnya membuat keputusan seperti ini. Padahal, pria itu sudah berjanji pada mendiang sang istri, Naomi, untuk memenuhi keinginan putra mereka yang sudah lama berangan menempuh pendidikan di negeri orang. Sega merasa Dhaka sudah berubah. Sosok ayah yang ia kenal selalu menepati janjinya. Lalu, siapa yang sedang duduk di sisinya saat ini?

Ada banyak sekali pertanyaan muncul di benak pemuda yang hampir sebentar lagi berusia delapan belas tahun itu. Tetapi, satu-satunya tanya yang bisa ia ucapkan hanyalah, "Kenapa?"

Dhaka menoleh. Satu tangannya bertengger di bahu lebar putranya. "Maafkan papa, tapi papa nggak punya pilihan lain. Kamu tau, 'kan, Kayla harus dioperasi. Biayanya nggak murah, Sega. Belum lagi adik kamu butuh seorang kakak buat jaga dia. Dia butuh kamu. Kami semua butuh kamu."

Pernyataan itu seperti tali yang mengikat kedua pergelangan kaki Sega. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Dhaka bisa melihat awan gelap itu di manik anak sulungnya. Sebagai seorang ayah, Dhaka benci dirinya yang kembali mengingkari janji pada sang anak. Namun, dia tidak punya pilihan lain. Kesehatan Kayla harus pulih.

Di dalam hatinya, Dhaka tertawa miris. Dulu, ia mengecewakan putrinya demi kesehatan sang putra. Kini, keadaannya berbalik—ia harus mengecewakan Sega demi Kayla. Sebenarnya, dosa apa yang tengah ia tanggung saat ini? Mengapa ia tak bisa berhenti menyakiti orang-orang yang ia sayangi?

"Oke, aku paham, Pa." Tiba-tiba Sega menyahut lirih. Sebuah sabit tersemat di bawah hidung mancungnya. Sembari menarik napas dalam, pemuda itu memupuk kembali kepercayaan dirinya yang sempat menguap. Pemuda itu menenangkan kekhawatiran Dhaka dengan satu anggukan singkat khasnya.

Setelah perbincangan ayah dan anak itu selesai, Sega kembali ke rumah mengendarai motor CBR hitam miliknya dalam kecepatan tak biasa. Berkat aksi kebut-kebutannya itu, ia sampai di kediaman keluarganya tujuh menit kemudian. Ia mengayun tungkainya cepat. Begitu pintu ganda bercat hitam di hadapannya terbuka, pemandangan pertama yang ia temukan adalah Kayla yang sedang melakukan terapi fisik dipandu seorang pria seumuran ayah mereka.

Tak jauh dari titik itu, Ratna tampak mengamati dari sebuah kursi kayu. Pandangannya fokus pada sang putri, sampai-sampai tak menyadari kehadiran Sega yang kini sudah berdiri tak jauh dari posisinya. Wanita berambut sebahu itu baru mengalihkan perhatiannya ketika Sega mengucap salam.

"Kamu sudah makan?"

"Belum, Ma, bentar lagi," sahut sang putra.

Ratna berdecak, kemudian berujar, "Jangan kebiasaan, ah, nggak bagus buat lambung."

Sega meringis, lalu tatapannya beralih pada sang adik yang baru saja kembali didudukkan di kursi rodanya oleh pria tadi. Ratna bangkit menghampiri keduanya, sedangkan Sega mengekor di belakang.

"Gimana hasilnya?"

Pria itu menggeleng, "Operasi masih harus tetap dilakukan, Na. Robekannya cukup parah."

Sementara kedua orang dewasa tersebut membahas keadaan Kayla, Sega mendekati adiknya itu dan mengambil alih pegangan kursi.

"Ini ... Sagara?" tanya pria tadi.

Si pemilik nama mendongak dengan kedua alis menyatu.

"Iya, ini Sega, putra Naomi," jawab Ratna mewakilinya.

Senyum matahari tampak di wajah tamu mereka tersebut. Pria yang masih tampak gagah meski hanya dengan kaos oblongnya tersebut lantas berkata, "Kamu lupa, ya, sama saya?"

"Ini Dokter Erwin, teman papa kamu. Katanya dulu kalian pernah tetanggaan di Surabaya."

"Iya, pernah walaupun cuma sebentar." Laki-laki bernama Erwin itu mengarahkan pandangannya pada Sega. "Dulu saya dan istri saya tinggal dua rumah di sebelah kanan rumah kamu di Puri Melati."

Sega menyipitkan matanya, mencoba mengingat-ingat tempat yang tamunya maksudkan. Dulu sewaktu kecil, ia memang pernah tinggal di sebuah rumah yang terpisah dari rumah kakek-neneknya saat kondisi Naomi baik-baik saja. Ia cukup mengenal orang-orang di kawasan itu karena memang ada banyak anak seusianya. Jadi, jika pemuda itu lupa siapa Erwin, mungkin saja ia tidak pernah bermain bersama anak pria tersebut.

Namun, ketika Erwin menanyakan kabar neneknya, Sega rasa pria itu cukup mengenal keluarganya. Jadi, untuk menuntaskan rasa penasarannya, pemuda itu menanyakan siapa sebenarnya Erwin tatkala Eva meneleponnya. Dari situlah Sega ingat siapa laki-laki yang mengaku teman ayahnya tersebut.

Dia Erwin Dirgantara, dokter tulang yang namanya sudah tersohor meski di usianya yang masih cukup muda. Dia juga merupakan anak dari pemilik rumah sakit tempat kakeknya dirawat dulu. Bukan hanya itu, istrinya, Karina, juga sering memberinya hadiah karena wanita tersebut tidak memiliki anak.

Sudah lebih dari lima tahun ini, pasangan suami istri tersebut menetap di Jakarta, meneruskan usaha keluarga. Dari penuturan Ratna siang tadi, Dhaka tidak sengaja menemukan nama kawan lamanya itu ketika mencari rekomendasi dokter tulang di Ibu Kota.

Lama berbincang tentang Erwin, topik obrolan cucu dan nenek itu beralih pada pendidikan Sega. Hingga satu pertanyaan yang juga jadi pembahasan Dhaka mencuat.

"Aku kuliah di Jakarta aja, Oma."

"Kenapa? Kan itu impian kamu sejak lama!"

"Oma, saat ini kesehatan Kayla lebih penting. Aku juga nggak bisa ninggalin mama dan papa dalam keadaan kayak gini."

"Jadi ini semua karna anak Ratna?" seru Eva tak terima. "Besok oma ke Jakarta." 


Depok, 30 Juni 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang