DUA PULUH SATU

11 1 0
                                    

Kayla baru saja sampai di depan rumahnya ketika mendapati sebuah mobil sedan bermerk terparkir di sana. Netranya melirik kendaraan mewah itu, lalu pintu kediamannya yang terbuka lebar. Adrenalinnya meningkat seiring ayunan tungkainya. Hingga tanpa sadar, gadis tomboi tersebut mengabaikan keberadaan Leon yang telah mengantarnya.

Begitu sampai di teras, tubuh Kayla membatu. Kesadarannya tersedot ke dalam lubang hitam yang membawa jiwanya kembali ke masa kanak-kanak di mana semua hal tampak indah. Pemandangan di ruang tamu itu membuat Kayla kecil menitikkan air mata.

"Kayla."

Sebuah sentuhan lembut berhasil membawa gadis berseragam hijau itu pada realita hidupnya. Ia menarik napas panjang, mengisi paru-parunya dengan oksigen sebanyak yang ia bisa. Ketika bulu matanya membuka, Kayla dihadapkan dengan pewaris gennya. Sontak saja ia beringsut ke belakang hingga sentuhan pria di hadapannya berubah menjadi sentuhan dan berakhir lambaian di udara.

Pandangan Kayla beralih pada sang ibu di belakang pria itu, yang tak lain adalah Dhaka. Gadis itu meraih punggung tangan Ratna kemudian menciumnya beberapa detik di bawah tatapan pedih ayahnya.

"Kamu sudah pulang! Gimana pertandingannya?" tanya Ratna tatkala wanita itu membimbing dua orang penting dalam hidupnya itu ke dalam rumah.

"Lancar, Ma, AGT masuk final."

"Tuh, kan, aku bilang juga apa." Dhaka bersuara. Pria itu duduk di sofa panjang, bersebelahan dengan mantan istrinya, sedangkan Kayla menempati sofa tunggal di sisi lain.

Ratna menepuk lengan atas Dhaka dan berujar, "Iya, aku tau."

Tanpa sadar Kayla mendengus seraya membuang muka ke arah akuarium berisi black molly. Ternyata, apa yang ia lihat tadi memang kenyataan. Namun, yang ia tidak habis pikir adalah, mengapa ayahnya justru datang menemui ibunya dan berkata seolah pria itu baru saja memberi putri mereka dukungan? Padahal jelas-jelas Dhaka bermesraan dengan seorang wanita di tempat umum tadi.

"Oh, ya, Kay, papa tadi mampir beliin kamu rainbow cake."

Kayla melirik kardus berwarna putih tulang nan manis di atas meja sambil berkata, "Namaku Kyla, dan aku nggak suka makanan manis."

"Mikayla, yang sopan!" tegur ibunya. Kayla tetap tak peduli. Gadis itu justru menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Nggak apa-apa, Na." Dhaka menenangkannya dan meneruskan, "Aku cuma ingat kalau dulu Kayla suka sekali kue ini. Sayangnya, dulu aku jarang kasih dia ini." Sejurus kemudian, pria itu mengeluarkan sebuah album foto dari paper bag di dekat kakinya.

"Kamu masih punya foto-foto ini?" Ratna meraih album itu dari tangan Dhaka dan membukanya lebar.

Wanita itu membolak-balik tiap halamannya dengan manik berkaca-kaca. Seingatnya, album foto mereka hanya ada satu, ia yang menyimpannya. Namun, tanpa disangka pemilik tahta hatinya itu pun memilikinya—entah dengan cara apa. Bahkan mungkin milik Dhaka justru lebih lengkap darinya.

Ratna menggenggam jemari Kayla, menarik atensi gadis itu dari kebencian yang menguasainya. "Kamu harus lihat ini, Kay!" serunya antusias.

"Aku selalu lihat album ini sebelum tidur, dan bayangin gimana Kayla tumbuh tanpa aku."

"Ka, ini bukan salah kamu," kata Ratna sembari menyentuh punggung tangan pria itu.

Lama-lama sentuhan itu justru berubah jadi remasan kala laki-laki itu membalasnya dan bergumam, "Maaf, ini salahku."

Kayla hanya melirik sekilas. Kelegaan yang terpancar dari roman Dhaka tatkala mendapat hadiah kebahagiaan dari Ratna semakin memercikkan api di dalam dirinya.

Kemudian Dhaka kembali berkata, "Tapi aku bangga karna Kayla tumbuh jadi anak yang hebat main basket." Tanpa sadar pandangan ayah dan anak itu bertemu. "Tapi kamu juga harus jaga kesehatan, Kay, papa nggak mau kamu cidera."

Satu alis Kayla terangkat tinggi. Kayla tidak ingin mendengar nasihat orangtua yang telah meninggalkannya belasan tahun lalu. Ia tidak suka melihatnya sempurna di mata sang ibu. Wajahnya memerah. Lalu dengan lantang Kayla menyahut sinis, "Aku nggak perlu diperhatiin kalau cuma sekadar kamuflase biar Om keliatan baik di depan Mama!"

"Mikayla!" Ratna meninggikan suaranya.

Namun hal itu sama sekali tak membuat putrinya gentar. Kekecewaan Kayla terlanjur merambat keluar, mencari semua kesalahan yang mungkin bisa disampaikan agar pria itu tidak kembali lagi.

"Aku nggak suka Om ini, Ma. Dia selalu pura-pura baik di depan Mama. Tapi coba di depan aku, ngeliat aja mungkin nggak sudi. Om malu, 'kan, kalau ngakuin aku sebagai anak Om? Om nggak perlu sok perhatian di sini, kalau kenyataannya Om bahkan nggak mau tau apa yang terjadi sama aku selama ini. Karna Om cuma mandang aku sebelah mata. Kalau Om sayang aku, harusnya Om tanya ke aku kenapa. Harusnya Om liat mata aku, liat keberadaan aku sebagai seseorang yang perlu benar-benar diperhatiin!"

"Mikayla, mama bilang cukup!"

Atmosfer di rumah kecil itu meningkat tajam.

Kayla berpaling pada Ratna saat ia tak lagi mampu menahan rasa sakitnya. "Mama bilang papa ninggalin kita. Apa Mama lupa?"

Dada gadis itu naik-turun, seolah menyatakan bahwa sesuatu di dalam sana tengah bergejolak. Kebencian itu bersarang di sana. Kebencian itu mendarah daging, hingga mengubah semua kenangan indah jadi luka yang teramat dalam. Ayahnya mungkin bisa menarik simpati Ratna, tapi pria itu tidak akan mendapatkan putri kecilnya yang manis.

"Kamu boleh pukul papa kalau itu bisa buat kamu terima papa lagi, Kayla."

Pada akhirnya air mata Kayla merebak. Kesempatan itu tidak ada di antara mereka. Kayla telah melangkah terlalu jauh bersama semua rasa sakit yang dia miliki. Gadis itu melangkah terlalu jauh bersama kesempatan menghapus satu per satu luka itu melalui perjanjiannya dengan Brian. Sekarang, saat semuanya kembali ke titik semula, kedatangan sang ayah sama sekali tidak menyembuhkan.

"Ayo, Kayla, jika itu bisa memaafkan, papa terima."

Jarum jam seolah berhenti berdetak. Kayla menutup matanya rapat-rapat, mendengarkan kalimat Dhaka. Tak lama tubuhnya bergetar. Gadis itu mendengar permohonan ibunya dan menyadari bahwa permintaan itu justru menyakitinya lebih dalam lagi. Ia tidak sanggup. Tak akan pernah sanggup menghapus ataupun menampung kemarahan itu lebih banyak lagi. 


Depok, 31 Maret 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang