EMPAT PULUH

11 0 0
                                    

Sega menempelkan gawainya di telinga kiri. Tangan kanannya terkepal kuat di dalam saku celana abu-abu yang ia kenakan. Beberapa meter di hadapannya, ia menangkap pergerakan seorang pemuda mendekati Kayla, adiknya. Posisi pemuda itu membelakanginya, hingga Sega tak dapat melihat bagaimana ekspresi sang adik di sana. Tak berselang lama, sebuah melodi lembut tak ubahnya sebuah peluru yang ditembakkan tepat di jantungnya.

"Gue punya perasaan yang sama kayak elo, Val."

Brian, pemuda itu, mendengus. "Apa lo bilang? Sama?" Tawa Brian pecah. Ia berkacak pinggang sembari menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri. Beberapa detik kemudian, pemuda itu kembali diam. Ia mengusap kedua belah matanya yang tampak berair. "Emangnya apa yang lo tau soal perasaan gue, Mikayla?"

Kedua alis Kayla mengerut, hampir terlihat menyatu. "Lo cinta, 'kan, sama gue."

Kali ini, Brian memfokuskan manik gelapnya tepat ke dalam mata Kayla. Pemuda itu ingin gadis di depannya tahu bahwa ia tidak main-main. "Believe me, perasaan lo itu nggak nyata."

Kayla memandang sahabatnya tak percaya. "Lo bilang lo sayang sama gue, dan sekarang ... saat gue di sini minta maaf sama lo dan balas perasaan lo, kenapa lo bales gue kayak gini?" katanya, menekan kalimat itu tepat di depan wajah Brian.

Bibir Brian ditarik ke atas. Ia melayangkan dua tangannya, lalu mencengkeram pundak Kayla kasar. "Lo mau tau? Karna lo nggak sempurna, Mikayla Zee. Lo nggak sempurna, sementara gue butuh yang terbaik." Brian memajukan wajahnya, hingga tersisa beberapa senti dari wajah persegi Kayla. "Dan asal lo tau, lo itu cuma objek balas dendam gue. Lo itu cuma satu dari sekian banyak permainan gue. Dulu lo cantik, kuat, dan berbakat. Tapi sekarang, lo nothing, Kyla. Jadi gue peringati elo, mulai sekarang, jangan ganggu hidup gue lagi. Jangan muncul di depan muka gue lagi. Ngerti?"

"Dulu lo selalu bilang kalau kita bakal lalui semuanya sama-sama, Val. Di mana janji lo itu?"

"Gue nggak pernah janji kalau kita bakal bersama selamanya. Gue nggak pernah bilang hubungan kita bakal baik-baik aja."

Brian menarik kesepuluh jarinya kasar hingga tubuh Kayla hampir limbung. Bersamaan dengan itu, setetes kristal bening meluncur jatuh di pipi si gadis. Pemuda bernama belakang Rivaldo tersebut mengulas senyum miring sebelum berbalik meninggalkan Kayla seorang diri.

"Temui gue di halaman belakang lima menit lagi! Sama satu lagi, jangan lupa siapin ucapan selamat buat gue," ucap Brian ketika tubuhnya berpapasan dengan sang musuh di persimpangan koridor.

Rahang Sega mengeras. Netranya melongok ke tempat adiknya berada. Kayla masih bergeming di sana ketika tungkai Sega berhenti di hadapannya. Pemuda itu tahu jiwa adiknya tengah berkelana.

Jari-jari besar Sega menyentuh lengan atas Kayla dan mengguncangkannya perlahan. "Gue nyariin elo dari tadi, Kay."

Bulu mata lebat gadis itu berkedip beberapa kali. Ia menarik napas panjang, seolah oksigen di dalam paru-parunya telah habis selama sepersekian detik.

"Lo ngapain di sini, Kay?" Sega tampak mengedarkan pandangannya ke beberapa plan bertuliskan XI IPA dengan kening berkerut.

Kayla meneguk ludahnya susah payah. Ia tidak ingin kakaknya tahu apa yang baru saja terjadi mengingat hubungan Sega dan Brian yang tak pernah baik. Jika Sega tahu, mungkin saja akan ada drama baru besok—dan Kayla tidak ingin itu terjadi. Apalagi jika namanya kembali diseret. Gadis itu akan menyimpan patah hatinya seorang diri. Iya, sekarang ia mengerti apa yang orang-orang sebut sebagai patah hati.

Tuhan telah berbaik hati karena mengembalikan keluarganya dalam keadaan yang lebih baik. Namun, mungkin kebahagiaannya cukup satu. Kayla memang memiliki perasaan lebih untuk Brian, tapi ia tidak ingin memaksakan sesuatu yang bukan untuknya walaupun hati kecilnya berontak.

"Gue mau ambil barang yang ketinggalan di kelas, lo tunggu gue di parkiran aja, ya!" terang Sega yang dibalas anggukan singkat Kayla.

Ketika punggung tegap sang adik menjauh, sebuah sabit menghias roman Sega. Pemuda tujuh belas tahun tersebut akui bahwa Kayla sangat pandai berpura-pura. Sama sepertinya.

Hal tersebut membuat langkah Sega terasa ringan. Setelah mengenal Kayla dan mengetahui apa saja yang gadis itu alami, Sega tak perlu terlalu mengkhawatirkan adiknya tersebut. Ia hanya perlu menuntun Kayla ke jalan yang baru. Jalan yang tak ada Brian di dalamnya.

Setibanya Sega di tempat yang sudah ditentukan, musuhnya sudah ada di sana lebih dulu. Berdiri dengan senyum pongah yang Sega yakin tak sesuai dengan keadaan di dalam dirinya. Sega tahu, Brian melakukan ini semua karna pemuda itu datang di malam ketika ia dan Dhaka berkunjung di rumah Kayla setelah adiknya mengirim pesan berisi permintaan maaf dan berita besar tentang keluarga mereka. Sega masih ingat keterkejutan berbalut amarah di wajah rupawan pemuda di depannya ini saat menyadari siapa gadis yang ia cintai.

Brian pikir Sega tidak menyadari kehadirannya. Itu sebabnya pemuda tersebut memilih jalan dengan menghancurkan perasaan Kayla dan berlagak seolah ia sudah tahu kebenarannya sejak awal.

"Gue rasa sekarang saatnya lo bilang selamat ke gue."

Sega mengulas sabit di wajahnya ketika ia dan Si Pengundang berhadapan. Pemuda itu mengunci mulutnya rapat, sebelum musuhnya mengangkat kepalanya tinggi, dan kembali berkata, "Kalau lo pikir bisa hancurin gue dengan Kyla, lo salah, Ga. See! Gue berhasil buat boneka cantik lo hancur. Jadi gue rasa lo nggak perlu lagi nutupin semuanya. Gue tau, dia bagian dari rencana lo, 'kan?"

"Dia memang adik gue. Kalau gue jawab pertanyaan lo itu dengan 'iya', apa sekarang lo puas?" balas Sega tenang.

Pemuda bermata cerah di hadapannya mengangguk puas dan mendekat. "Bagus kalau lo akhirnya ngaku. Jadi, sekarang gue minta elo buat diam dan jangan sok berkuasa di sini. Karena kemenangan ini milik gue, bukan milik lo lagi, Sagara," bisiknya tepat di dekat telinga Sega sebelum berlalu.

Sega mengepalkan kedua tangannya hingga otot-ototnya menonjol. Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar, karena detik berikutnya, mentari terbit di wajah tampan Sega.

"Sebenarnya mana yang lebih penting, kemenangan lo atau kebahagiaan Mika?" tanya seorang gadis berambut sebahu yang sejak tadi menguping perbincangan kedua Cassanova SMA Alamanda tersebut. Gadis itu berdiri di sisinya, ikut memandang hamparan rumput teki di belakang sekolah.

Jantung Sega seperti diremas sedemikian kuat, tapi sebuah senyum tak luput dari wajah perseginya. Dia percaya batas antara kemenangan dan kekalahan hanya sebatas selembar kertas.

"Lo harus tau, Git, kadang untuk bisa bahagia, lo harus berani berkorban dan ninggalin apa yang mungkin halangi elo dari kebahagiaan itu sendiri. Dan yang harus lo paham, gue lakuin ini juga demi kebaikan Kayla."

"Gue bakal pindah ke Aussie, gue nggak bisa lagi jagain Mika. Lo harusnya tau kalau hidup Mika di sini nggak akan tenang setelah tadi—"

"Kayla adik gue, Gita, gue yang bakal jagain dia. So, thanks," ungkap Sega tanpa repot-repot menatap lawan bicaranya.

Gita maju selangkah, ia berdiri tepat di hadapan Sega dengan wajah padam dan kilatan di balik bulu mata lentiknya. "Tapi apa yang lo lakuin ini keterlaluan. Jangan sakiti Mika hanya untuk kepuasan lo, Ga. Lo nggak akan tau arti seseorang di hidup lo sampai semuanya terlambat."

"Biar gue lakuin dengan cara gue, Git. Kayla bakal jauh lebih menderita kalau tetep ada di samping Brian. Lagian, ada orang yang lebih pantas buat adek gue."

Gadis itu menaikkan sebelah alisnya. "Maksud lo?"

Sega tersenyum penuh kemenangan. "Buka mata lo, Git! Bukan Brian yang selalu ada di sisi Kayla dalam keadaan apa pun, tapi orang lain." 


Depok, 19 Juni 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang