DUA PULUH DELAPAN

13 1 0
                                    

"Udah gue bilang kalau gue datang tepat setelah lo minta dia pergi!" bentak Gita.

Kayla melipat kedua tangan di depan dada sembari melempar tatapan membunuh. Rahangnya mengetat saat gadis di depannya terus-menerus mengelak tentang rekaman saat Brian menyatakan perasaannya. Kayla ingat sekali jika Gita satu-satunya orang yang datang ketika ia berteriak mengusir pemuda tersebut. Jadi, besar kemungkinan jika gadis itulah pelakunya.

"Kalau bukan elo, terus siapa, Git? Siapa yang ada di sana selain kita?"

Kayla menjatuhkan diri di bangku semen terdekat. Ia mencengkeram puncak kepalanya seraya menunduk dalam. Gadis itu sudah muak dengan perkataan setiap orang yang terus mengatainya sebagai beban bagi Brian. Bagian terburuk adalah Brian sama sekali tak memberi penjelasan dan malah meminta Kayla mengabaikan mereka.

Bagaimana Kayla bisa diam saja jika kondisi keluarganya-lah yang menjadi bahan olok-olokan. Gadis itu tahu, ia dan Brian bagaikan langit dan bumi—perbedaan di antara mereka sangat mencolok. Sejak awal, Kayla sudah sadar diri dan dia sama sekali tak memanfaatkan pemuda itu demi dirinya sendiri. Brian yang menawarkan perjanjian padanya. Pemuda itu yang berjanji akan menjadi apa pun yang Kayla inginkan, asal gadis tersebut bisa memenuhi keinginannya. Kayla pikir, perjanjian antara dirinya dan Brian bisa menjadi ruang bagi keduanya agar tak tersentuh apa pun.

Val pernah menyebutnya harapan. Pemuda itu selalu berkata bahwa pada akhirnya mereka akan bahagia. Kayla sempat tak percaya, karena jauh di dalam dirinya, gadis itu tahu ia terlalu hancur untuk semuanya. Brian yang terus mengingatkannya bahwa mereka akan tetap berada dalam zona hitam di atas putih. Dia yang mengingatkan Kayla untuk tetap kuat meskipun badai meluluhlantakkan segalanya.

Gita mendengar hela napas lelah dari gadis di hadapannya. Ia melangkahkan kaki mendekat sebelum duduk di samping teman setimnya tersebut.

"Kita emang sering berantem, gue nggak suka sifat lo, tapi bukan berarti gue bakal sebarin hal sepenting ini," tambahnya.

Dua gadis kebanggaan AGT tersebut sama-sama bungkam. Gita melirik temannya itu dengan gigi bergemeletuk. Bukan, ia tidak marah dengan tuduhan Kayla. Ia memahami duka gadis itu, ia marah karena Brian terlalu pengecut untuk mengakui kebenarannya. Gita pikir, Brian akan membela Kayla, orang yang dicintainya.

Begitu bel masuk berbunyi, baik Kayla maupun Gita hanya melempar pandang sebelum berlalu menuju kelas masing-masing. Kayla hampir bernapas lega. Hari ini hampir berakhir, ia sudah memutuskan untuk bergegas pulang begitu pelajaran selesai.

Sayangnya, rencana tinggallah rencana. Tepat ketika tungkainya menginjak lobi sekolah, orang yang paling tidak ingin ia lihat justru sudah menunggunya di sana.

"La, gue mau ngomong," ungkap Brian lirih.

Netra Kayla menari ke kanan dan kiri saat langkah mereka kian dekat. Muda-mudi itu berdiri berhadapan. Bahu Brian merosot diiringi embusan napas berat. Pemuda itu memfokuskan pandangan ke depan, menantang kedua manik Kayla yang diliputi awan gelap.

"Gue minta maaf buat semua hal yang harus lo hadapi hari ini, La. Tapi yang harus lo tau, gue lakuin ini semua untuk kelanjutan hubungan kita." Brian menekankan sepuluh jarinya di kedua bahu Kayla. Ia sama sekali tidak ingin ambil risiko jika gadis itu berniat kabur sebelum mendengar pandangannya.

"Hubungan?" Gadis itu menyentak genggaman Brian di pundaknya, lantas membuang muka sejenak.

"Gue sayang sama lo lebih dari sekedar partner, La. Maaf kalau gue lancang masuk ke masalah lo dan bokap lo, tapi yang harus lo tau, gue lakuin itu demi kebahagiaan lo." Brian kembali meraih bahu Kayla, dan menambahkan, "Buka mata lo, La. Gue akan selalu ada di sisi lo kalau lo bersedia percaya dan gue janji semuanya bakal baik-baik aja. Tentang kita, Tante Ratna, dan bokap lo. Ini akhir bahagia yang gue janjiin buat elo."

Tanpa sadar Kayla mendengus. "Happy ending?" Ia tertawa sumbang. "Val, dari awal kita tau kalau hubungan di antara kita cuma sebatas hitam di atas putih. Gue bantu lo, lo bantu gue! Lo ingat, 'kan?"

Tiba-tiba Brian berlutut sembari menggenggam tangan Kayla erat. "La, I have told you that I love you. Kita sampai sejauh ini bukan buat nyerah. Gue akan lakuin apa pun yang lo minta asal lo percaya."

Bisikan-bisikan yang seharian ini terus mengganggu Kayla kembali terdengar. Gadis itu mengedarkan pandang ke sekeliling dan baru menyadari bahwa para murid sudah membentuk barisan mengelilingi mereka. Kayla sadar bahwa badai tengah mendatangi mereka.

Gadis penikmat matcha tersebut tidak peduli pada rumor, popularitas, pengakuan, dan lainnya. Dia hanya peduli pada apa yang bisa dipertahankan saat ini. Satu bagian kecil yang tersisa dari hatinya. Bagian yang sebelumnya dititipkan pada Brian sebelum sahabatnya itu ikut serta mematahkannya.

"Kita nggak punya apa pun, Val. I'm not in love with you. Tinggalin gue kalau lo sayang gue. Gue dan elo ... perjanjian kita selesai."

Kayla mengurai genggaman Brian, kemudian melangkah cepat menjauhinya. Ia tahu cinta itu nyata, tapi ia juga tahu bahwa ia tidak akan pernah pantas menyimpannya.

***

Kayla baru saja sampai di halaman rumahnya saat menyadari pintu utama terbuka. Gadis itu melirik ke belakang, tepat ke arah sebuah mobil asing yang terparkir di luar pagar. Ia menggali ingatannya untuk mengenali pemilik kendaraan mewah tersebut, tapi nihil. Ia yakin sekali, ini kali pertama ia melihat mobil itu. Namun, siapa pemiliknya? Dan ada urusan apa di kediamannya?

Semua pertanyaan itu terjawab begitu gadis berjaket biru itu masuk ke dalam rumah. Kayla menjerit tertahan kala maniknya melihat momen di mana seorang pria menyematkan sebuah cincin di jari manis sang ibu lalu menciumnya. 


Depok, 24 April 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang