EMPAT PULUH LIMA

10 0 0
                                    

Kayla baru saja selesai melakukan pemeriksaan sebelum operasi besok ketika pintu kamar rawatnya terbuka, menampilkan seorang pemuda gagah dengan senyum secerah mentari. Gadis itu balas tersenyum.

"Siang, Tante!" sapa pemuda itu begitu kakinya sampai di dekat ranjang Kayla.

Ratna yang baru menyadari kehadiran salah satu teman baik putrinya tersebut menoleh. Sebuah sabit menghias wajah matangnya. "Eh, Leon!"

Leon mencium punggung tangan Ratna saat wanita tersebut bangkit dari posisinya.

"Kebetulan kamu datang, coba kamu bujuk anak tante ini. Dari tadi dia nggak bisa diam, takut sama operasi besok." Ratna melirik putrinya dengan senyum menggoda. Wanita itu percaya Leon bisa ia andalkan untuk mengurangi kegundahan hati gadis berwajah persegi tersebut. bibir tebal Kayla mengerucut. Setelah puas mengusik harga diri putrinya, wanita itu berlalu dengan dalih ingin mengisi perutnya yang keroncongan.

"Kalau mau ketawa, ketawa aja, Le! Gue tau lo mau ngeledek gue juga, 'kan?" cecar Kayla kala Leon duduk di kursi lipat yang tadi digunakan Ratna.

Namun, alih-alih tertawa seperti tuduhan sang gadis, Leon justru mengulas senyum simpul. Operasi bukanlah hal main-main, jadi, pemuda itu sama sekali tak bisa meremehkan ketakutan Kayla.

"Tapi biar gimana pun lo harus tetep operasi, Kay. Memangnya lo nggak kangen main basket lagi sama gue?"

Kayla menarik dua sudut bibirnya ke bawah. Tiba-tiba saja Leon melihat mendung di kedua bola mata cemerlang itu. Ia menetralkan raut mukanya.

"Hei, kenapa?"

Gadis itu mengembuskan napas berat. Dadanya mendadak sesak. Sebenarnya, bukan perkara operasi besok yang membuatnya gelisah. Ia memikirkan hal lain. Satu hal yang mengganggu pikirannnya dua minggu terakhir.

"Kay, lo nggak apa-apa?" tanya Leon sekali lagi. Pemuda itu meraih telapak tangan kiri Kayla dan menyelipkannya di antara dua belah tangan besarnya.

Netra Kayla mengamati satu-satunya teman yang tersisa di hidupnya kini dengan perasaan campur aduk. Ia ingin sekali memberitahu Leon untuk mengurangi sesak yang mengimpit dadanya. Namun, ia juga masih berusaha menyangkal semua pikiran buruk tentang niat Eva hari itu dan menggantikannya dengan afirmasi positif yang entah sampai kapan bisa menyembunyikan ketakutan sebenarnya dari hadapan orang-orang. Sementara, sejak hari itu, perbincangan tentang memberikan Kayla pada Dokter Erwin tak pernah ia dengar atau diungkit orangtuanya. Semua hal tampak normal, bahkan beberapa hari setelah neneknya datang, wanita berusia senja itu kembali ke Surabaya. Gadis itu masih percaya, jika suatu hal buruk terjadi, ibunya pasti akan terlihat sedih—dan Ratna sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda tersebut.

Kayla memberikan sebuah gelengan singkat dan lengkungan manis pada Leon. Keduanya berbincang riang, melupakan ketegangan yang sempat mengisi ruang kosong di antara mereka.

Di sisi lain, di balik pintu ruang Anggrek empat tersebut, Ratna menekan dadanya dengan kepalan tangan kanannya. Kedua pipinya berlinang air mata. Ia tidak sanggup, sungguh tidak sanggup jika membayangkan hari-harinya tanpa sang putri kelak. Di balik punggungnya, Dhaka berdiri sembari menopang bahu sang istri yang dapat merosot kapan saja. Sebagai kepala rumah tangga serta ayah dari putra-putrinya, ia sudah gagal. Ia tidak bisa mempertahankan malaikat kecilnya kembali, bahkan kini, ia menyeret Ratna untuk ikut serta menanggung kegagalan tersebut.

"Maafkan aku, Na, maaf," bisiknya tepat di telinga kekasih hatinya itu.

***

Siang itu di kediaman Julian, dua orang wanita duduk bersisian dengan tangan masing-masing memegang cangkir berisi teh organik. Segalanya tampak baik-baik saja. Memang awalnya begitu.

"Kondisi perusahaan kita makin hari makin nggak baik. Gimana sama usaha kamu, Na?" Eva bertanya halus.

Ratna, menantu kedua wanita itu, meletakkan cangkirnya di meja kaca. Ia mengembuskan napas panjang, tapi senyum tipis tak lekang dari wajah ber-make-up tipis tersebut. "Salon belum ada peningkatan signifikan, Ma."

Eva menyerongkan tubuhnya hingga dapat melihat keseluruhan wajah sang menantu. Lalu, wanita itu berujar, "Gimana, ya, sama nasib Sega dan Kayla nanti?"

"Maksud Mama?"

"Sega sudah kelas tiga, sebentar lagi lulus dan harus kuliah. Dari dulu Naomi ingin dia kuliah di luar negeri, jadi mandiri tanpa harus menanggung beban keluarga seperti dulu. Sedangkan Kayla harus operasi supaya bisa jalan dan main basket lagi. Dua-duanya butuh uang banyak."

Setelah kalimat panjang itu tercetus, Ratna merasakan jantungnya berdebar kencang. Firasatnya mengatakan ada hal buruk yang sebentar lagi akan terjadi.

"Mama ingin dua cucu mama bahagia dan berhasil meraih impiannya masing-masing. Tapi saat ini, kita nggak mungkin bisa mewujudkan keduanya. Mama tidak bisa mengorbankan cita-cita Sega, terlebih itu adalah amanah Naomi sebelum dia meninggal." Eva merengkuh jari-jari Ratna. "Na, menurut kamu, bagaimana kalau Kayla diadopsi Dokter Erwin dan istrinya?"

Tubuh ramping Ratna bergetar. Wanita bergaun putih itu menatap mertuanya dengan kekecewaan. "Ma, kenapa harus begitu? Aku nggak mungkin kehilangan Kayla."

"Itu hanya pilihan, Na. Kamu dan Dhaka yang menentukan. Tapi jika kalian tidak setuju, impian Kayla mungkin hanya akan jadi angan-angan saja. Bukan hanya itu, Kayla juga akan tetap menggunakan kursi roda sampai waktu yang tidak kita tahu. Mana yang kamu pilih?"

Setelah percakapan itu, rasanya Ratna ingin menangis setiap saat. Dia tidak menyangka akan jadi seperti ini. Dia dihadapkan dua pilihan sulit. Apa dia bisa egois menahan putrinya di sini tanpa kejelasan, atau dia bisa mewujudkan impian Kayla tetapi harus merelakan putrinya dimiliki keluarga lain?

Ratna mencoba mengulur waktu. Ya, dia tidak bisa memutuskan. Dia tidak memutuskannya. Cobaan yang ia terima kali ini terlalu berat. Ibu mana yang rela kehilangan darah dagingnya? Ratna tidak akan rela. Namun, percakapannya dengan sang putri beberapa hari kemudian membuat ia merasa hancur.

"Ma, apa Kay bisa jalan lagi kayak yang lain? Apa Kay bisa main basket lain kayak dulu?"

Dengan dua anak sungai di wajah tirusnya, Ratna mengutarakan keputusannya pada sang suami. Lalu, keesokan harinya, pasangan yang baru melangsungkan pernikahan kedua beberapa bulan lalu tersebut mendatangi Erwin.

Pria yang berprofesi sebagai dokter ortopedi tersebut sudah tahu maksud kedatangan kawan lamanya. Memang, dua hari setelah Eva sampai di Jakarta, wanita itu meminta Sega mengantarnya untuk bertemu Erwin. Eva memberitahu keadaan keluarganya dan bertanya apakah Erwin dan Karina mau menjadikan Kayla putri angkat mereka. Hal itu tentu saja disambut gembira oleh Karina, terlebih lagi dia pun sudah jatuh hati pada paras ayu gadis yang namanya mirip dengan nama putrinya yang sudah meninggal belasan tahun lalu. Kini, berita baik itu telah sah menjadi milik mereka.

Setelah berbincang mengenai keputusan dan rencana mereka ke depannya, Ratna sempat bertanya sebelum ia dan Dhaka undur diri, "Apa kalian bisa menyayangi Kayla seperti dia adalah anak kalian sendiri? Apa kalian bisa berjanji untuk memberikan impian Kayla padanya?" 


Depok, 07 Juli 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang