DUA PULUH DUA

12 1 1
                                    

Langit sudah tak begitu terik ketika Brian sampai di kediaman Kayla. Pemuda itu mematikan mesin motornya sebelum melenggang santai ke depan pintu bernomor enam. Tangannya terkepal kala mengetukkan buku-buku jarinya di sana. Namun, ketukan pelan itu berubah tak sabar saat mendapati benda berbentuk persegi panjang tersebut dalam keadaan statis.

"Mikayla buka pintunya! Gue tau lo di dalam!" jeritnya berkali-kali yang sukses membuat si pemilik rumah menampakkan diri.

Kayla menarik gagang pintu rumahnya serampangan. Gurat-gurat di dahinya tampak jelas, berdampingan dengan matanya yang membulat sempurna. Gadis itu berdiri di hadapan Brian sembari bersedekap.

"Nggak usah berisik bisa, 'kan?" sindir Kayla.

"Gue udah sopan, tapi lo nggak mau buka pintu." Pemuda yang masih mengenakan seragam Alamanda itu membela diri.

"Tamu kalau tau tuan rumah nggak buka pintu harusnya balik aja, bukan teriak kayak orang nggak waras!"

Brian nyengir. "Gue kan tau lo di rumah."

Gadis itu memasang ekspresi datar, hingga Brian berujar, "Selamat buat pertandingannya kemarin, ya, La!"

Kayla hanya bergumam. Lagi, Brian yang buka suara. "Lo ... nggak kasih gue masuk?"

Tubuh Kayla berputar sembilan puluh derajat. Ia membuka akses bagi partner in crime-nya itu untuk masuk ke kediamannya.

Brian menanggalkan sepatu kets-nya di rak dekat pintu, lalu mengambil tempat di atas karpet yang membentang di depan TV. Sementara itu, si pemilik rumah masuk ke dapur. Beberapa saat kemudian, kala Kayla menyusul dengan dua gelas sirup rasa jeruk, pemuda tersebut sudah berselonjor seraya merebahkan kepalanya di dudukan sofa. Wajahnya kuyu, terlebih saat didapatinya kantung mata di bawah kelopak Brian.

"Thanks, La." Tangan besar pemuda tersebut meraih satu gelas yang masih penuh di atas nampan, kemudian menyesapnya perlahan.

Kayla memerhatikan semua itu dengan kening berkerut. Pasalnya, Brian hampir selalu terlihat percaya diri, kecuali ada hal yang tak bisa ia selesaikan. Gadis itu menjatuhkan diri di sisinya dengan wajah menghadap tepat ke arah sang sahabat. Sebenarnya, ia masih mengingat pertengkaran mereka di koridor beberapa hari lalu. Namun, melihat pemuda itu tak berdaya seperti sekarang, perasaan tak nyaman itu pun ikut merayapinya.

Kayla benci mengatakan jika ia tak ingin melihat kesedihan Brian, tapi ia juga tak ingin selalu bertanggung jawab atas perasaan pemuda itu, apalagi setelah pernyataan cintanya. Bukan tidak mungkin, 'kan, jika ia terseret arusnya dan tenggelam?

"La!" Brian menggenggam telapak tangan kanan Kayla, menyadarkan gadis itu akan keintiman mereka. "Lo percaya, 'kan, sama gue? Kita bakal lalui ini sama-sama, 'kan?"

"Maksud lo apa sih?" Kayla menarik mundur wajah dan lengannya. Netranya menyipit waspada.

"Gue nggak mau terjadi hal buruk di antara kita, La. Cuma itu."

"Kalau gitu, jangan lakuin sesuatu yang bikin hubungan kita buruk, kayak ...."

"Gue tau." Brian tersenyum kecut. "Maaf karna gue terlalu maksa lo buat nerima perasaan gue. Nggak seharusnya gue lakuin itu saat lo belum bisa percaya."

Kepala gadis bernama tengah Zee itu bergerak turun hingga menempel pada lututnya yang ditekuk tinggi, begitu pun pemuda tersebut. Kayla memfokuskan pandangannya pada roman Brian yang sedikit melunak.

"Lo bakal datang ke final nanti, 'kan, Val?"

"Of course." Seulas senyum terbit di bawah hidung mancul Kayla. "Tapi sebelum lo hadapi pertandingan lusa, bisa nggak kita jalan sore ini?"

Manik mata di hadapannya berputar searah jarum jam, lalu terdengar Kayla menggumam, "Sebenarnya, gue mau latihan sama Leon jam empat."

Namun, bukan Brian namanya jika ia membujuk sahabatnya agar menyetujui ajakannya. Kayla mengembuskan napas berat, lantas bertutur, "Oke, gue kasih tau Leon dulu. Lo tunggu di sini!"

Sabit di wajah pemuda tampan itu melebar. Brian baru saja menjatuhkan kepalanya ke sofa lagi ketika pintu depan kembali terbuka. Tak lama, seorang wanita yang sudah sangat dikenalnya masuk dan mengucap salam.

Refleks, Brian bangkit kemudian mencium punggung tangan Ratna yang baru pulang kerja. "Sore, Tan."

"Sore, Val, kayaknya udah lama tante nggak liat kamu main ke sini lagi."

"Iya, belakangan lagi sibuk, terus sempat berantem juga sama Kyla beberapa hari lalu," akunya jujur.

Ratna mengangguk maklum. Tangan kanannya terangkat, menepuk bahu lebar satu-satunya teman putrinya tersebut pelan. Sejujurnya, wanita itu merasa sedikit tak enak hati, pasalnya ia ikut andil dalam kejadian yang menimpa muda-mudi itu. Sayangnya, ia tidak tahu lagi harus minta tolong pada siapa jika menyangkut Kayla.

"Oh, ya, Kyla mana?"

Brian berpaling ke belakang, ke arah sahabatnya menghilang sejak beberapa menit lalu, kemudian menyahut, "Tadi, sih, bilangnya mau ngabarin Leon kalau nggak jadi latihan."

Wanita berambut sepunggung itu melongokkan kepalanya ke balik punggung Brian. Jantungnya berpacu tatkala bibirnya terbuka. "Duduk, Val, ada yang mau tante omongin."

Setelah menempatkan dirinya di sofa panjang ruang tamu, Ratna menarik keluar sebuah benda tebal yang pemuda itu yakin adalah sebuah album foto.

"Ini Kayla." Brian menerima album yang telah dibuka Ratna dan meletakkannya di atas pangkuan.

"Dia gadis manis, Val. Dia periang dan punya banyak teman. Seperti yang pernah tante kasih tau ke kamu waktu itu, Kayla berubah setelah papanya pergi." Kesepuluh jari Ratna saling bertaut. "Ini bukan salah Kayla, bukan juga salah papanya. Ini salah tante yang nggak bisa jujur. Sekarang, suami tante kembali dan berharap kami bisa berkumpul seperti sedia kala. Tapi tante nggak bisa nepati apa yang pernah tante janjiin dulu. Mereka harus berjuang sendiri, Val, tapi semua itu hanya bisa terwujud kalau kamu bersedia bantu tante."

"Bantu apa, Tan?"

"Kasih tau tante di mana pertandingan Kyla, suami tante mau datang untuk kasih dia support. Tante yakin dengan begitu Kyla akan sadar kalau papanya selalu jadi orang yang ada di sisinya. Kayla masih ada di sana, menunggu papanya datang, Val. Tante yakin semuanya akan membaik. Bukan cuma untuk kami, tapi juga untuk kalian."

Ratna mengasosiasikan dua nama berbeda untuk jiwa putrinya. Wanita itu menyayangi putrinya yang sekarang, tapi dia juga ingin putrinya tak lagi menghukum sisi dirinya yang lain atas kondisi mereka. Ratna ingin membebaskan keduanya.

Sementara itu, Brian tampak berpikir. Ini semua terlalu berisiko, tapi dia juga tidak akan mendapatkan afeksi sahabatnya jika gadis itu tak bersedia membuka diri. Kayla perlu diselamatkan lebih dulu.

Pada akhirnya Brian mengangguk setuju. Ia baru ingin membuka mulut saat tiba-tiba vokal Kayla tertangkap indra pendengarnya.

"Mama udah pulang?" Tatapannya turun pada benda di hadapan sang sahabat. "Itu apa?"

Meski tampak dipaksakan, Ratna berhasil mengukir sabit di wajah ayunya. "Mama cuma kasih lihat Val wajah kamu dulu." 


Depok, 03 April 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang