SEBELAS

22 3 0
                                    

Dua gadis cantik itu duduk bersisian di atas lantai semen berteman sunyi. Gadis berambut panjang mendongak ke arah dedaunan yang bergoyang di atas kepala mereka. Kelopak matanya basah kala berpaling ke samping, di mana seorang gadis berselonjor dengan wajah menengadah. Sebilah pisau menyayat hatinya ketika gadis berambut sebahu di sisinya bungkam.

Windi tidak tahu usulannya untuk tema ulang tahun Alamanda kali ini membuat Kayla terluka. Dia baru tahu kenyataan itu saat Leon tak sengaja menyinggung masalah Brian dan Kayla pagi tadi.

"Kenapa, sih, elo selalu nyalahin diri lo sendiri buat hal-hal di luar kontrol?" cerca Kayla tatkala mendengar permintaan maaf Windi untuk ketiga kalinya.

"Aku tau gimana rasanya kehilangan, Mik." Tatapan Windi mencoba menembus pagar beton Kayla. Gadis itu mengeraskan jiwa rapuhnya untuk menyentuh bagian polos yang tersisa dalam diri temannya. "Dan saat seseorang ingetin aku tentang hal itu, satu-satunya yang aku rasain cuma kesedihan dan kemarahan."

Kayla menekuk kakinya, lalu menyandarkan dagunya di atas lutut. Ia mendengarkan melodi sendu dari bibir Windi, sambil sesekali merasai miliknya sendiri.

"Mama ... orang yang harusnya aku panggil dengan sebutan itu bahkan nggak pernah aku kenal."

Kayla mendengus. "Gue rasa itu lebih gampang dijalani. Mending nggak kenal sekalian, daripada punya kenangan yang bikin kita nggak bisa lupa."

Windi menggeleng lemah. Gadis itu memainkan jemari polosnya, menarik napas dalam, kemudian meneruskan, "Asal kamu tau, Mik, mamaku masih hidup. Dan mamaku memilih menyusui anak lain dibanding darah dagingnya sendiri." Setetes cairan bening berhasil lolos dari pelupuk mata gadis pemandu sorak tersebut.

Refleks, Kayla menegakkan bahunya saat ketidakpercayaan mendominasi. Windi, gadis berseragam putih kuning tersebut, dikenal sebagai gadis periang di Alamanda. Kayla tidak menyukainya karena ia pikir hidup Windi semenyenangkan apa yang direfleksikan gadis itu. Siapa yang menduga bahwa Windi memiliki masa lalu yang sanggup menghancurkan perasaan siapa saja, bahkan Kayla sekalipun.

"Kalau boleh pilih, aku mau punya sedikit kenangan bersama mama. Sedikit aja, supaya aku bisa bayangin hari-hari itu saat sedih." Windi mengusap sisi kanan pipinya. "Aku ngomong gini hanya supaya kamu tau, Mik, kalau kenangan yang kamu miliki itu sangat-sangat berharga. Kamu beruntung punya satu hal itu. Meskipun menyakitkan untuk saat ini, tapi kenangan indah kamu nyata, pernah ada."

Dhaka, ayah Kayla memang pergi, tapi pria itu pernah menjadikan Kayla anak paling bahagia sebelum semua hal indah itu lenyap dari kehidupannya.

"Aku tau luka nggak akan sembuh hanya dengan waktu. Aku juga tau memaafkan nggak mudah. Tapi apa dengan semua itu; aku, kamu, atau orang lain yang bernasib sama nggak berhak bahagia?" Windi merebahkan kepalanya di bahu Kayla, lalu kembali berkata, "Kita punya hak yang sama. Aku percaya itu, Mika. Dan aku juga mau kamu percaya."

"Gimana caranya?" gumam Kayla, lirih.

"Akui luka itu. Kadang, ada saatnya kita juga perlu orang lain untuk berbagi. Jangan simpan semuanya sendiri, Mik."

Kayla menutup matanya rapat, merasakan degup jantungnya yang menggila tanpa bisa dicegah. Kali ini, ia membiarkan Windi berada dekat dengannya—juga hatinya. Kali ini, Kayla membiarkan sebagian hatinya menerima keyakinan itu, menanamnya di sana, hingga benih tersebut menumbuhkan harapan kecil yang mungkin saja abadi. Dia punya mimpi, dia punya kebahagiaan yang harus dirayakan. Sama seperti yang lain.

Tiba-tiba saja gadis itu terngiang kalimat Sega tentang Brian, partner in crime-nya. Mereka sudah berjalan jauh dari titik permulaan. Satu per satu harapan dan rencana berhasil mereka genggam. Meski tidak mulus, toh pada akhirnya mereka baik-baik saja. Sejak awal pula, baik dia maupun Brian sama-sama setuju untuk menanggalkan penyebab luka mereka dan menggantikannya dengan kesenangan. Siap atau tidak, Brian harus tahu kisahnya agar pemuda tersebut dapat membantunya keluar dari luka.

Embusan napas panjang terdengar tertangkap indra pendengar Windi. Bersamaan dengan itu, Kayla menyiapkan dirinya untuk membuka plester yang membalut beberapa bagian hidupnya, membiarkannya terbuka, sebelum membalutnya dengan perban yang lebih baik.

Ia rasa, saat ini hanya ada satu orang yang bisa menerima kekurangan tersebut.

***

Brian membaca kalimat yang tercetak di layar ponselnya sekali lagi, lalu kembali menatap seorang gadis di ujung koridor. Dia hampir tidak memercayai penglihatannya, hingga gadis tersebut mengayunkan kaki jenjangnya dan berhenti tepat di hadapan pemuda itu.

Brian sebenarnya cukup terkejut saat tahu bahwa apa yang Sega katakan padanya memanglah sebuah kenyataan. Beberapa menit lalu Brian mendapat pesan dari Sega. Pemuda tersebut memintanya menunggu Kayla di koridor sayap kanan bangunan Alamanda. Awalnya Brian acuh tak acuh, tapi rasa penasarannya menang. Setelah gambling dengan dirinya sendiri, pemuda yang menjadi salah satu icon Alamanda itu akhirnya tahu bahwa Sega benar-benar membuktikan ucapannya. Brian tidak peduli apa motifnya. Asalkan musuhnya tersebut tidak mencoba merebut Kayla, Brian tidak ingin ambil pusing.

Muda-mudi tersbut saling menatap tanpa kata, tapi keduanya jelas tahu ada banyak hal yang harus disampaikan.

"Val ...." Brian kaget saat tiba-tiba jari panjang Kayla menyentuh lengannya. "Sorry."

Hanya dua kata itu yang keluar dari mulut sang sahabat. Brian menarik lengannya dari sentuhan Kayla hingga gadis itu memalingkan wajah seraya mengembuskan napas berat.

"Nggak," bisik Brian memberi jeda pada angin untuk mengisi kekosongan di antara mereka, "jangan minta maaf! Gue yang salah. I'm so sorry, Mikayla Zee," lanjutnya sembari meraih tangan kanan gadis tersebut. Ia menyelusupkan kelima jari yang selalu ingin digenggamnya erat di antara kedua tangannya.

Kayla kembali menantang manik Brian dengan badai di kedua bola matanya. Setelah sekian lama, pemuda itu melihat emosi yang awalnya hanya sebuah pendar kecil. Sekarang ia yakin, bahwa memori yang disimpan Kayla tentang sang ayah selalu menghantui pikiran gadis itu. Hari ini, semua kenangan itu menari mengelilingi jiwanya yang rapuh.

Brian mengakui bahwa ia tidak tahu apa pun tentang masalah Kayla. Dia hanya tahu mereka sama-sama pernah terluka. Dia hanya tahu sepenggal kisah, tanpa pernah ingin bertanya bagaimana perasaan gadis itu. Dia hanya tahu sebatas hitam di atas putih yang mereka sepakati bersama. Namun, saat ini Brian berjanji akan ada di sisi gadis itu tanpa alasan.

"Gue mau cerita."

Kalimat singkat Kayla tersebut mengawali segalanya. Brian menyunggingkan seulas sabit di wajah. Tangan kanannya menyatukan jari-jari mereka, ia hampir ingin membawa Kayla kembali ke kelasnya saat gadis tersebut kembali berkata, "Tapi nggak sekarang, nanti. Selesaiin dulu tugas lo!"

"Lo nggak lagi berusaha kabur, 'kan?" Brian menyipitkan matanya yang dibalas tepukan kencang di lengan atasnya. Namun, mau tak mau, seulas senyum terbit di wajah persegi Kayla. "Gue mau denger semuanya, La," imbuh Brian.


Depok, 24 Februari 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang