TIGA PULUH TUJUH

11 0 0
                                    

"Gimana kemarin? Lancar?"

Kayla mendongak dari es buah di tangannya. Kelopak matanya membola dengan alis terangkat tinggi.

"Lo udah minta maaf sama bokap lo?"

Gita yang kebetulan saat itu juga ada di sana memandang ingin tahu pada teman setimnya tersebut. Saat ini ketiganya sedang bersantai di salah satu bangku semen taman depan, dekat lobi, sembari menikmati tiga gelas es buah yang Leon beli dari kantin. Tak jauh dari tempat mereka, beberapa anak juga tengah menikmati semilir angin dalam kesendirian maupun kelompok kecil. Keadaan itu kontras sekali dengan suasana lapangan yang ramai sorak-sorai para siswa yang menonton perlombaan antar kelas.

Kayla menggeleng lesu. "Gue bahkan hampir nggak bisa ngomong walaupun Papa ada di sebelah gue." Netra cokelat tua gadis kelahiran dua puluh Desember itu menyisir buah kersen yang tergantung di atas kepalanya. "Kemarin, bokap dateng waktu gue mau balik. Tapi bokap nggak sendiri, ada sekretarisnya."

"Terus?" Gita menatap penasaran.

"Gue dan nyokap hampir nggak bisa ngobrol sama Papa. You know-lah, Papa dan sekretarisnya ngomongin bisnis sepanjang jalan." Tangan kanan Kayla menggoyangkan aneka macam buah di gelasnya. "Jujur aja, selama perjalanan itu, gue ngerasa hidup Papa udah terlalu jauh buat gue gapai."

"Bukannya bokap lo sering datang ke rumah kalian?"

Sebuah senyum pahit Kayla hadiahkan pada kedua temannya. "Udah nggak, semenjak gue bilang ke Mama kalau harapan hidup gue cuma buat bahagiain Mama tanpa kehadiran bokap."

Dua pentolan tim basket Alamanda tersebut saling pandang sejenak.

"Tapi lo harus tetep minta maaf, Mik. Apapun hasil yang lo dapet, lo harus percaya kalau takdir Tuhan yang terbaik," ujar Leon beberapa detik setelahnya.

Kayla berpaling ke kanan. Ia menyelami riak di kedua bola mata pemuda itu, lantas mengangguk. Sementara itu, di sisi lain Kayla, Gita hanya mengamati interaksi kedua temannya tersebut sebelum mengotak-atik gawainya. Tak berselang lama, benda canggih tersebut berbunyi singkat.

Gita bangkit dari persinggahannya dan berkata, "Eh gue ke dalam dulu, ya!"

Kedua rekannya refleks memutus kontak mata mereka, lalu menengok kompak. Setelah mendapat jawaban Kayla dan Leon, Gita melangkahkan kakinya menyusuri paving blok sejauh tiga puluh meter dari taman kemudian menaiki satu per satu anak tangga menuju lantai tiga.

Begitu sampai di depan ruangan tujuannya, Gita mendapati Sega sudah lebih dulu tiba. Pemuda itu menyandarkan punggungnya di tembok laboratorium bahasa dengan kedua tangan di saku celana. Gita menarik napas panjang, sebelum melangkahkan tungkainya sampai di sisi Sagara.

"Gue kira lo udah nggak mau berurusan lagi sama gue," ungkap Sega dingin.

Ya, pemuda itu masih kecewa dan tak percaya dengan keputusan sepihak gadis yang disukainya tersebut. Bagaimana mungkin Gita menghancurkan bunga yang baru saja mekar setelah ia semai sedemikian rupa. Sega tidak terima.

"Lo pernah janji satu hal ke gue, Ga. Dan sekarang gue mau tagih janji itu."

Pemuda beralis tebal itu menegakkan tubuhnya hingga berhadapan dengan sang mantan. "Apa?"

"Kasih Mika kesempatan buat ceritain kisahnya di depan bokap kalian. Setelah itu, terserah lo mau lurusin semuanya, atau biarin keluarga kalian berakhir kayak gini."

Sega bergeming. Pemuda itu meneguk salivanya, dia tahu kisah apa yang Gita maksudkan. Dia ada di sana ketika Kayla memberitahu harapannya pada Ratna. Hatinya perih, sangat perih, sampai-sampai dia tidak ingat alasannya melakukan semua rencana ini. Apa yang Kayla alami jauh lebih buruk dibanding lukanya. Semua orang berpikir hidup Sega sempurna, tak ada yang mencela keluarganya, sedangkan adiknya mengalami hari yang buruk di bawah hinaan orang-orang.

Melihat anggukan kecil pemuda berdarah Jawa tersebut, Gita refleks mendekat dan memeluk tubuh Sega erat. Namun, kejadian itu tak berlangsung lama karena gadis itu segera sadar. Ia menjauhkan diri dari dekapan hangat di depannya.

"Sori," tutur Gita sebelum berlari kecil meninggalkan Sega yang masih mematung di tempat.

Sepulang sekolah, Sega melajukan motor kesayangannya menuju gedung berlantai dua puluh yang menjadi kantor sang ayah. Pemuda itu memarkirkan motornya di basemen sebelum singgah ke bagian keamanan untuk menukarkan KTP-nya dengan kartu khusus tamu.

Perusahaan yang bergerak di bidang distributor software itu menyewa seluruh bagian lantai tujuh salah satu gedung di wilayah Gandaria, Jakarta Selatan. Awalnya perusahaan tersebut memang berpusat di Surabaya sebelum Dhaka memindahkannya ke ibukota. Selain pertumbuhan ekonomi di sini lebih bagus, juga untuk dekat dengan Ratna serta Kayla. Sayangnya, semua rencana itu tidak berjalan semulus yang pria empat puluh lima tahun tersebut perkirakan.

Begitu Sega memasuki ruangan yang didominasi kaca tersebut, seorang resepsionis menyambutnya. Rata-rata pegawai kantor itu memang sudah mengenal sosok Sagara Alesandro sebagai putra pemilik perusahaan. Jadi, pemuda itu tak perlu repot-repot mengatakan apa tujuan seorang siswa datang ke kantor mereka.

Sampai di ruangan ayahnya, Sega masuk kemudian menjatuhkan bokongnya di salah satu sofa. Dhaka yang menyadari kehadiran anaknya mendongak dari layar laptop.

"Pa, nanti malam kita ke rumah Mama, ya!" 


Depok, 09 Juni 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang