DUA PULUH TIGA

10 1 0
                                    

"Ternyata lo waktu masih kecil imut juga, ya, La."

Brian terkekeh saat netranya melirik satu halaman penuh foto gadis kecil berponi itu. Jemarinya menyentuh sisi album foto di pangkuannya, sementara jantungnya mulai berdegup, takut jika Kayla mendengar pembicaraannya dan Ratna barusan. Biar bagaimana pun, Brian ingin rencana itu berhasil. Ia ingin Kayla berbaikan dengan ayahnya agar gadis itu bisa percaya jika cinta tak seburuk yang selama ini mereka kenal.

Kayla duduk di sofa tunggal dekat ibunya. Manik matanya tertuju pada lembaran foto yang beberapa hari lalu dibawa Dhaka, sebelum gadis itu memandang Ratna dengan badai di kedua indra penglihatannya. Ia tidak menyangka jika sumber pertengkarannya dengan wanita yang telah melahirkannya itu masih berada di rumah, bahkan kini ada di tangan Brian. Kayla tidak ingin sahabatnya itu tahu lebih banyak tentang dirinya yang sebenarnya rapuh. Dia tidak siap.

"Val, kayaknya kita nggak jadi jalan, Leon udah nunggu gue di lapangan, nggak enak kalau gue batalin tiba-tiba." Kayla beralasan.

Dua orang di hadapan gadis itu berpandangan. Namun, baik Ratna maupun Brian sama sekali tak berkomentar. Sebaliknya, pemuda yang berstatus anggota OSIS tersebut menutup album foto di tangannya, meletaknya di atas meja, kemudian bangkit.

"Ya udah, nggak apa-apa, kalau gitu gue balik dulu." Kayla menarik paksa kedua sudut bibirnya ke atas. Lalu Brian menambahkan, "Val pamit, ya, Tan!"

Ratna mengangguk tak enak hati. Wanita itu merasa jika putrinya berusaha menjauhkan Brian dari masa lalunya. Ratna tahu Kayla tidak ingin membicarakan kisah itu lagi.

Setelah motor Brian meninggalkan area rumah mereka, Kayla kembali ke dalam untuk mengambil berganti pakaian. Tubuhnya bergetar ketika berpapasan dengan sang ibu yang masih berdiam di tempatnya seraya memandang benda bersampul merah tersebut.

"Aku pergi dulu, Ma, mau latihan sama Leon."

Gadis itu bergegas keluar sambil melekatkan jaket di tubuh. Ia bahkan sama sekali tak menunggu balasan ibunya. Langkahnya mengayun cepat menyusuri jalanan kompleks tempat tinggalnya, berbelok ke jalan raya hingga sampai di perumahan minimalis yang baru dua kali ini disambanginya. Hanya butuh waktu sekitar lima menit bagi gadis berambut sebahu itu tiba di depan rumah bercat tosca.

Namun, gadis itu tak lantas masuk. Kayla meraih ponsel di saku celana jogger-nya kemudian mengirim sebuah pesan kepada si pemilik rumah. Hingga tak lama kemudian, pintu bernomor tiga tersebut bergerak terbuka—wajah Leon muncul di baliknya.

"Masuk, Mik!" Pemuda tersebut berteriak.

Mau tak mau, Kayla mendekat dengan keraguan terpancar di wajahnya. Dia tahu jika sikapnya terkesan aneh. Belum genap setengah jam ia membatalkan janji latihan mereka, tapi kini gadis itu justru berdiri dengan outfit sporty.

Leon melebarkan pintu rumahnya, menyambut Kayla untuk masuk ke dalam.

"Sori dadakan, tapi, nggak bisa ya kita langsung ke lapangan aja?" tanya Kayla ketika tubuh mereka berhadapan.

Seulas senyum menghias paras pemuda tersebut. "Sori, bad timing, ada Windi di dalam. Masuk dulu, baru kita ke lapangan."

Refleks, Leon menggenggam tangan kanan Kayla dan membimbing langkah gadis itu masuk ke kediamannya.

Kayla sendiri setengah sadar, sampai tatapannya bertemu dengan milik Windi yang menatap kaget ke arahnya dan Leon. Ia buru-buru mengurai tautan partnernya di lapangan.

"Gue ganggu kalian, ya? Gue pulang aja kalau gitu, Le," cetus Kayla.

"Eh, nggak kok, Mik. Duduk aja, sini!" Windi menepuk tempat di sisinya.

Tak ingin keadaan semakin terasa canggung, Kayla menurut saja apa yang dikatakan kekasih Leon itu. Beberapa detik kemudian, seorang gadis yang ia perkirakan beberapa tahun di bawahnya datang sembari membawa segelas es jeruk dan beberapa cupcake beraneka warna.

"Diminum, Kak!" Gadis kecil tersebut sempat melempar senyum manis ke arah Kayla sebelum berlalu.

"Itu adek gue, namanya Salsa." Leon memberitahu.

Kayla hanya mengangguk kecil. Anggota AGT itu membasahi kerongkongannya dengan air yang disuguhkan untuknya tak sabaran. Ia ingin meredakan debaran jantungnya yang menggila saat tahu ia terjebak dalam situasi semacam ini. Sesekali matanya melirik ke arah Leon yang terlihat santai menyantap kue cantik di atas piring, seakan hal yang barusan terjadi bukan hal luar biasa.

Windi pun tampak tidak terganggu dengan semua itu. Gadis itu justru mengajaknya berbincang ringan sambil menikmati hidangan di meja. Dari obrolan itu juga, Kayla baru tahu jika Windi sudah keluar dari tim cheerleader. Keadaan itu bahkan bertahan cukup lama sebelum ketiganya memutuskan beranjak ke lapangan dengan berjalan kaki.

Sepanjang perjalan, Windi selalu menjadi si peramai suasana. Gadis itu berceloteh tentang banyak hal, tapi di balik semua tawa yang dilontarkannya, Kayla menangkap kesedihan yang tak terbantahkan. Apalagi saat mereka membicarakan basket. Meskipun begitu, Kayla tak ingin mengulik lebih jauh penyebab keganjilan tersebut. Toh, itu juga bukan urusannya.

Saat mereka sampai di lapangan, Kayla lebih dulu melakukan dribble ke tengah lapangan, sementara Leon menemani Windi mencari tempat teduh agar gadis itu bisa duduk tanpa terpapar cahaya matahari secara langsung.

Sembari menunggu Leon bergabung, Kayla mencoba melakukan beberapa teknik baru yang ia pelajari dari Gita dan video-video di internet.

"So, apa lo ngajak gue cuma buat pamer kemampuan aja?" sindir Leon yang saat ini tengah berkacak pinggang tak jauh dari tempat Kayla berdiri.

Small forward AGT itu menatapnya dan balas menyindir, "So, apa lo ngajak dia buat jadiin gue nyamuk aja?"

Sudut mata Leon memicing ke arah sang kekasih sambil menahan tawa. "Lo nggak ngerti apa yang gue lakuin sekarang."

Pemuda itu mengembalikan bola pantul yang tadi sempat ditangkapnya kembali pada Kayla. Mereka bermain-main sebentar sebelum permainan itu semakin menyulut api di dalam diri si gadis. Tak ubahnya seperti pebasket profesional, Leon benar-benar bisa membawa permainan ke jenjang yang lebih tinggi. Tak salah jika Kayla menikmati setiap sesi latihan mereka.

"Apa yang nggak gue tau?" tantang Kayla sombong.

Bola oranye di tangannya berpindah cepat hingga berada dalam kuasa Leon. "Banyak, Mik. Tapi gue yakin suatu saat lo bakal tau."

"Gue nggak paham arah omongan lo." Kayla melempar bolanya ke arah ring.

"Lo nggak perlu paham semuanya sekarang, Mik. Nikmatin aja apa yang ada sekarang."

"Tap ...."

Belum sempat Kayla menyelesaikan kalimatnya, sang lawan tiba-tiba saja berlari ke pinggir lapangan, menghampiri seorang gadis yang terlihat pucat.

Kayla mencampakan bolanya, mengikuti langkah Leon yang berteriak meminta bantuannya. Gadis itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia yakin ada sesuatu tentang Windi yang tak semua orang tahu kebenarannya. 


Depok, 7 April 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang