EMPAT

32 7 1
                                    

Sega termenung memandangi deretan pepohonan dan rumah-rumah dari jendela mobil ayahnya dengan perasaan tak menentu. Saat ini mereka dalam perjalanan menuju rumah Ratna yang sebenarnya masih satu kawasan dengannya. Dia tahu bahwa kedatangannya bersama Dhaka adalah untuk menemui Ratna serta Kayla, tapi jika ingat percakapan terakhirnya dengan sang adik, pemuda itu ragu. Adiknya yang selalu jadi kebanggaan Naomi saja tidak peduli padanya, lalu bagaimana dengan Ratna yang merupakan satu-satunya wanita penghuni hati ayahnya? Dia tidak sanggup menerima kenyataan bahwa ia akan kalah secepat ini.

"Sagara!" Nada tinggi itu menarik jiwa pemuda berzodiak Capricorn tersebut hingga kepalanya menyentuh kaca mobil cukup keras. Dhaka mematikan mesin mobilnya, kemudian lanjut bertanya, "Kamu kenapa?"

Sega berpaling ke arah ayahnya disertai senyum kecil. "Nggak apa-apa, kok, Pa. Kita udah sampai?" Maniknya mengedar ke sekeliling kompleks yang tampak lengang.

Dhaka berdeham menjawab pertanyaan basa-basi putranya tersebut. Tangannya meraih sebuah parsel buah di jok belakang dan membawanya keluar, diikuti Sega.

Kedua laki-laki tampan itu kini berdiri di depan sebuah rumah tua yang terawat. Dhaka mengunci Mercy hitamnya di pinggir jalan sebelum membimbing langkah Sega melewati pekarangan penuh beraneka ragam tanaman. Setiap langkah yang mereka ambil, membuat jantung pasangan ayah dan anak itu berpacu cepat—masa depan menanti mereka.

Dhaka sendiri sebenarnya sudah bertemu Ratna sejak hari kedua kepindahannya. Hanya saja, pada awalnya wanita itu tak mengindahkan kedatangannya, ia masih mengingat janjinya terhadap Naomi dan Eva. Dia tidak ingin mengkhianati kepercayaan itu. Namun, pria itu tak menyerah. Mantan suaminya itu datang lagi dan lagi dengan segelintir cerita tentang apa yang telah terjadi, juga permintaan terakhir mendiang istrinya.

Bertepatan dengan kaki-kaki mereka menginjak ubin merah rumah itu, seorang wanita membuka pintu dengan senyum teduhnya. "Mas."

Melihat sudut bibir Dhaka terangkat, Sega yakin sekali bahwa wanita ini adalah ibu tirinya. Benar saja, setelah mengucapkan salam dan sedikit formalitas, ayahnya mengenalkan keduanya hingga Ratna tiba-tiba memeluknya erat seolah-olah Sega adalah putranya yang lama pergi. Atau setidaknya, bisakah Sega menganggapnya begitu?

Sambutan tak terduga itu nyatanya memberi efek besar bagi pemuda dengan tinggi 165 cm tersebut, karena setelah Ratna mempersilakan mereka masuk sampai menghindangkan beberapa camilan, Sega masih bisa merasakan kehangatan yang membungkusnya. Pemuda tersebut jarang dipeluk. Naomi tak pernah memperlakukannya sebaik yang Ratna lakukan. Dia tahu, tidak seharusnya dia membandingkan ibu kandungnya dengan orang lain. Namun, hatinya berkhianat.

Sega juga seorang anak. Sega juga ingin merasakan pelukan Naomi yang tak pernah ia rasakan lagi sejak usianya beranjak tujuh. Perasaannya semakin tak karuan setelah melihat potret ibu tirinya dan Kayla yang terpajang di dinding ruang tamu. Meskipun hampir semuanya adalah foto mereka berdua, tapi Sega dapat merasakan kebahagiaannya. Lagi dan lagi, pemuda itu mengingat kembali foto keluarga mereka di rumah. Memang tersenyum, tapi senyuman itu hanya tampak dari lensa kamera.

"Oh, ya, Kayla di mana?"

"Kamu datang tiba-tiba, jadi aku nggak larang Kayla buat ikut latihan basket di sekolah," sahut Ratna. "Omong-omong, Sega sekolah di mana?"

"Sega satu sekolah dengan Kayla." Dhaka memberitahu setelah menyesap kopinya.

Wajah oval wanita bergaun hijau tersebut berseri kala bersitatap dengan Sega. "Kalian sudah bertemu?"

"Sudah, Tan. Kita sempat ngobrol, tapi saya belum kasih tau kalau saya ...." Sega menggantungkan kalimat itu di udara.

Ratna mengangguk maklum, lalu berujar, "Nggak masalah, pelan-pelan saja. Tante justru senang tau kamu mau berteman sama Kayla." Jemari kurus wanita itu mengusap lengan Sega lembut.

Mendengar pembelaan itu, hati Sega telah luluh sepenuhnya. Dia menyukai segala hal yang ada dalam diri Ratna. Ada setitik harapan yang lebih baik bagi mereka. Ini hanya masalah waktu dan usaha. Pemuda itu tidak ingin mengecewakan wanita baik di depannya ini. Seperti kata ibu tirinya juga bahwa Kayla hanya perlu mengetahui kebenarannya. Masalah hubungan adiknya dengan Brian, dia bisa mengurusnya. Ya, dia sudah membulatkan tekadnya.

***

"Sebenarnya, hubungan mereka kayak gimana, sih, Git?"

Gita menjulurkan kepalanya hingga ia menemukan dua orang yang dimaksud. Gadis itu bergumam, "Dua orang yang kejebak friendzone?"

Sega mengalihkan tatapannya ke arah gadis yang kini berdiri santai sembari melipat kedua tangan di atas pagar pembatas lantai dua. "Sudah sejak kapan?"

"Apanya?" tanya Gita mendadak tak paham ketika tahu pemuda di sebelahnya ini tengah memerhatikannya intens.

"Sejak kapan mereka friendzone?"

Gita kembali memfokuskan netranya kepada Kayla dan Brian yang tengah menyantap makanan dari kotak bekal berwarna kuning di bawah pohon kersen diselingi obrolan dan tawa sesekali. Gadis itu tidak dekat dengan keduanya, tapi tentu sudah rahasia umum jika sejoli itu memiliki hubungan aneh.

Reputasi Brian di Alamanda tak perlu ditanyakan lagi, semua orang tahu siapa dia. Cowok yang digadang-gadang akan menjadi ketua OSIS berikutnya tersebut memang ramah pada semua orang, tapi di samping itu Brian juga orang pemilih. Bisa dibilang semua yang dekat dengannya adalah anak-anak populer dan borjuis. Namun, Kayla adalah pengecualian. Gadis berambut sebahu tersebut hanya anggota tim basket yang belum pernah memenangkan satu penghargaan pun meski kemampuannya tidak Gita ragukan. Kayla juga penerima beasiswa. Meski begitu, Brian tidak mempermasalahkan hal itu. Pemuda tersebut akan lebih banyak tersenyum, terkadang terlihat konyol, dan tak ragu memberikan perhatian penuh pada sahabatnya itu.

Hal tersebut membuat banyak anak tak menyukai kehadiran Kayla walaupun gadis bernomor punggung 36 itu selalu mengelak tentang hubungan mereka. Beberapa orang tentu masih percaya, toh Sang Cassanova masih suka berganti pacar secara rutin dan tak mengganggu hubungannya dengan Kayla. Mereka masih baik-baik saja.

"Brian jelas naksir Mika. Dan yang gue liat, cowok itu berusaha buat Mika seperti yang dia mau, populer."

"Populer gimana maksud lo?"

"Mika nggak pernah ikut seleksi buat masuk tim basket, Brian yang rekomendasiin dia ke Pak Danang setelah mereka dekat."

"Lo nggak ngomong gini karna masalah lo sama adik gue di tim basket, 'kan, Git?" tuduh Sega. Pasalnya pemuda itu tahu bahwa Gita dan Kayla tengah memperebutkan posisi kapten yang saat ini masih dipegang senior mereka. Keduanya memiliki potensi dan bakat cemerlang.

Gita menatapnya sengit. "Gimana kalau gue balik pertanyaannya, lo nggak lagi berencana balas dendam ke Brian gara-gara masalah Tara, 'kan?"

Sekelebat awan hitam membubung di balik manik hitam Sega, sementara kedua tangannya mengepal di atas tembok setinggi perutnya. Gita baru saja membuka kisah lama mereka. Kisah yang menjadi alasan mereka berempat saling menjaga jarak dan berakhir seperti sekarang.

"Lo nggak paham apa yang terjadi di Alamanda, Ga."

"Terus Kayla gimana? Semua yang lo bilang tadi dari sudut pandang Brian, tapi gimana dari sisi Kayla?" Pemuda itu kembali angkat suara saat emosinya reda.

"Adik lo itu bukan cewek peka. Gue nggak tau gimana perasaannya terhadap Brian, yang gue tau dia nggak masalah dengan kehadiran dan perhatian Brian buat dia."

Sega manggut-manggut. Tahu pemuda di sebelahnya hanya diam, Gita lantas menambahkan, "Sori gue nggak bisa kasih tau informasi yang lo mau. Gue rasa ini saatnya lo deketin dia sendiri. Apa pun hubungan antara Brian dan Mika, gue harap lo bisa bantu adik lo keluar dari lingkungan cowok itu. Trust me, Brian yang nggak sebaik yang orang lain lihat. Dan gue yakin, apa pun yang dia kasih buat Mika, harus ada imbalannya. Gue ngomong gini bukan karena gue mau balas perbuatan Brian atau elo dulu, tapi karna gue peduli sama temen gue."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Gita memunggungi Sega lalu perlahan menjauh, menyisakan rasa bersalah bersemayam di hati Sega. Dia tahu, Gita kecewa padanya. Sementara pemuda itu terlalu gengsi menjelaskan padanya apa yang dia rasakan.

Sega mengembuskan napas berat kala tatapannya kembali ke bawah. Jika apa yang Gita katakan benar, ia bersumpah akan membuat Brian menerima akibatnya. 

Depok, 30 Januari 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang