EMPAT PULUH SEMBILAN

19 1 0
                                    

"Kamu muslim, 'kan?" tanya Tari, bertepatan dengan adzan ashar berkumandang dan gadis idaman putranya selesai bercerita.

Kayla mengangguk singkat.

Ratna menampakkan sabit di bawah hidungnya, lalu berujar, "Kalau begitu kita sholat sama-sama, ya! Minta sama Allah, semoga Dia bisa melapangkan hati kamu."

Gadis itu tergemak. Apa ia masih bisa meminta pada Tuhan jika selama ini saja ia selalu menyalahkan takdir? Apa Kayla masih pantas berdoa padahal ia selalu mengeluh jika Tuhan tak menyayanginya? Apa Tuhan bisa menerima setiap keburukannya? Apa bisa?

"Apa Allah bisa memaafkan saya, Tante?" tanyanya dengan setetes air mata di pipi kanan.

Bahu Tari merosot selaras dengan senyum tipis yang berkembang di wajahnya. Wanita tersebut menarik napas dalam, lantas bertelut di depan Kayla. Kedua tangannya menggenggam tangan dingin gadis di depannya dan menyalurkan kehangatan yang ia punya.

"Allah adalah Tuhan Yang Maha Pemurah, kamu tahu itu, 'kan?"

Kayla mengangguk dengan kepala tertunduk dalam.

"Apa yang terjadi pada kamu hari ini, bukan salah siapa-siapa. Kadang, manusia memang perlu tahu rasanya kehilangan. Kadang, manusia perlu perpisahan. Bukan karna kamu tidak berharga, tapi ini hanya cobaaan untuk membuat kamu semakin kuat. Mungkin juga ini salah satu cara agar kamu dan keluarga kamu berada di jalan yang tepat. Kamu harus percaya bahwa Tuhan Maha Tahu."

Tari mengelus surai halus Kayla dan menghadiahinya seulas senyum. Setelahnya, wanita bergamis merah bata tersebut bangkit sembari mengulurkan tangan. "Kamu bisa sholat sambil duduk. Nanti tante ajarin. Mau, 'kan?"

Wajah persegi Kayla akhirnya mendongak. Gadis itu memandangi kelima jari yang tadi menguatkannya beberapa saat sebelum menyelipkan miliknya sendiri di sana.

Tari menggenggam tangan Kayla erat. Ibu dua anak itu menyimpan tangan kanannya di balik punggung gadis bergaun biru dongker tersebut dan membimbing langkah mereka masuk ke dalam rumah untuk mengambil air wudhu. Setelah selesai, keduanya bergabung dengan Ilyas, Leon, juga Zahra yang sudah menunggu.

Beruntung, Kayla masih ingat setiap bacaan sholat yang entah kapan terakhir kali ia dirikan. Di penghujung salam, gadis itu merasa sedikit lega, ada ketenangan yang menyusup di hatinya. Hingga suara Ilyas mengumandangkan doa untuknya, Kayla tidak bisa menghentikan laju air mata di kedua pipinya.

Doa-doa itu sebenarnya sederhana, tapi gadis itu tak memungkiri jika dadanya berdentum mendengarnya. Di hari beratnya ini, Kayla justru mendapat doa tulus dari seseorang yang bahkan baru dikenalnya. Doa tulus yang justru mengingatkannya pada setiap harapan Karina. Mereka ingin Kayla kuat. Mereka ingin Kayla terus melangkah maju.

"Selalu ingat Allah di mana pun kamu berada, ya, Kay! Kami semua tau kamu bisa melewati ujian ini. Dan yang harus selalu kamu ingat, kamu tidak sendiri," pesan Ilyas selepas gadis itu mencium punggung tangannya.

Cairan bening itu kian berlomba, meluncur cepat dari pelupuk mata. Tari mendekat sebelum menarik tubuh ramping tersebut ke dalam pelukannya. Sementara itu, Leon berpaling pada sang ayah yang menepuk bahunya kuat.

***

"Keluarga bukan hanya sekedar darah. Keluarga lebih dari itu, Kayla. Dan seperti apa pun orangtua pasti tidak ingin menyakiti anaknya. Tapi kadang, Tuhan punya rencana yang lebih baik untuk kalian bahagia. Kamu punya banyak alasan untuk bahagia." Ilyas tersenyum simpul, tepat saat Leon datang.

"Datang ke sini kapan pun kamu mau, ya, Kay! Tante senang kamu di sini," imbuh Tari seraya mengusap lengan atasnya.

Kayla mengangguk kecil dan berterima kasih atas semua yang keluarga sahabatnya itu lakukan hari ini. Setelah berpamitan, Kayla dan Leon keluar bersama. Namun, sesampainya di teras, pemuda bernomor punggung sembilan itu menahan tangan gadis berambut panjang tersebut.

"Kenapa, Le?"

Leon menatap Kayla sejenak, lalu menunjuk salah satu sudut taman yang sedikit terhalang pohon mangga di depan rumah itu. Kayla menyipitkan netranya, memfokuskan pandangan ke arah yang dimaksud. Beberapa detik kemudian, matanya membola. Ia mengalihkan tatapannya pada Leon. "Ini ...." Gadis tersebut tak mampu menyelesaikan kalimatnya.

"Gue tanam bunga matahari itu karna elo."

Mendengar kalimat itu, bibirnya sedikit terbuka bersamaan dengan rona di wajah. Belum selesai keterkejutannya, tiba-tiba saja Leon melepas genggaman mereka, dan meraih sebuah pot terracotta berukuran sepuluh sentimeter.

"Lo itu kayak bunga matahari itu, Kay—indah. Dan seperti bunga itu, gue juga mau elo bergerak ke arah datangnya cahaya. Dan harapan lo adalah ibarat airnya. Gue mau lo menemukan kebahagiaan lo sendiri, Kay. Dengan cara itu lo tumbuh. Dengan cara itu lo akan survive."

Pemuda tampan itu membuka telapan tangan Kayla dan meletakkan pot tadi di atasnya. "Gue mau lo rawat bibit bunga matahari gue itu seperti lo jaga mimpi-mimpi lo buat terus tumbuh."

Kayla mengangguk antusias. Lengkungan lebar tersemat di bawah hidung mancungnya.

Leon mengantar gadis itu kembali ke rumah Erwin. Tadi, atas saran ayahnya, pemuda itu juga meminta izin pada Erwin jika ia mengajak Kayla mampir ke rumahnya terlebih dahulu. Dan kini, pasangan dokter tersebut berada di rumah, menanti putrinya dengan perasaan campur aduk.

Di telepon, Erwin memang tidak menanyakan apa yang terjadi di rumah Julian. Pria itu hanya berpesan pada Leon untuk menjaga Kayla dan mengantarnya kembali. Mendengar nada tenang pemuda tujuh belas tahun itu membuat sedikit kekhawatirannya luntur, tapi ia tetap tak menampik bahwa ketakutannya dan Karina memang nyata.

Erwin benar-benar menyayangi gadis rapuh itu. Laki-laki itu pun yakin jika Kayla akan lebih bahagia bersamanya dan Karina. Belum lagi semua keluarga besar mereka juga sudah setuju jika keduanya serius menjadikan Kayla putrinya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, mobil putih itu memasuki gerbang bertuliskan huruf G di bagian tengahnya. Akan tetapi, Leon memberi Kayla kejutan sekali lagi. Pemuda itu menyorongkan sebuah paper bag yang tak asing di mata gadis itu. Mulut Kayla sudah setengah terbuka saat Leon menyela, "Gue kembaliin boneka ini ke elo, Kay. I know hubungan lo dan keluarga kandung lo sedang nggak baik, tapi gue mau lo ingat apa yang pernah kalian punya dulu. Mereka hanya manusia biasa, jangan benci mereka apa pun keputusannya nanti, ya?"

Bulu mata Kayla menyatu. Gadis kelahiran Desember itu menarik napas dalam, lalu mengembuskannya secara teratur. Selang beberapa detik, kelopak matanya terbuka. Kayla meraih tas berwarna putih tadi, mengeluarkan Winnie, dan memeluknya dengan senyum tenang.

"Kalau gue dikasih kesempatan ngerasain cinta lagi, lo yang akan gue pilih selanjutnya, Le, bukan orang lain," tutur Kayla seraya mengalungkan lengannya di leher pemuda tersebut. "Makasih karna lo selalu ada di tiap langkah gue."

Perlahan, Leon mengangkat tangannya, membalas pelukan gadis yang sudah lama ia sukai itu untuk beberapa saat. Hingga kemudian, netranya menangkap pergerakan halus dari pintu ganda rumah mewah tersebut. Keduanya memisahkan diri.

"Gue akan coba bicara sama Om Erwin dan Tante Karin. Gue akan coba terima keadaan."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Kayla mengecup pipi kanan Leon singkat, dan mendahului langkahnya keluar.


Depok, 21 Juli 2021 

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang