TIGA PULUH SEMBILAN

12 0 0
                                    

Senyum Sega melebar ketika matanya bersirobok dengan milik Kayla. Adiknya itu jelas masih tak dapat menyembunyikan ketidakpercayaannya terhadap status mereka saat ini. Bagaimana tidak, jika semalam, tak lama setelah gadis itu berbaikan dengan sang ayah, Sega datang bersama Ratna. Tidak sampai di situ, kedua orangtuanya pun mengenalkan pemuda tersebut sebagai kakaknya—pemuda yang mengalirkan darah Dhaka, sama sepertinya.

"Ayo, Kay!" ajak Sega, nada suaranya terdengar gembira.

Sejenak, Kayla tampak ragu. Ia terus memandangi kakaknya dari ujung kaki ke ujung rambut. Gadis itu jelas masih ingat jika Sega adalah Cassanova Alamanda, para Ratu Lebah pasti akan kembali membuat gosip tentang dirinya. Kayla sedang tak ingin membuat sensasi dan membuat hari bahagianya rusak dalam sekejap.

Tepukan lembut di pundaknya menghancurkan semua pikiran buruk Kayla. Tatapan Sega membuatnya ingat lagi percakapan mereka semalam.

"Gue kakak lo, tentu aja gue bakal bertindak kalau sesuatu terjadi sama lo. Kayak, sori, masalah antara lo dan Brian." Kayla mengernyit heran, hingga suara lantang Sega kembali membelah keheningan mereka. "Menurut lo kenapa nggak ada lagi yang berani ngelawan elo terang-terangan setelah lo keluar dari rumah sakit?"

Gadis itu mengingat-ingat rangkaian peristiwa yang membuat ia kecewa pada Brian sampai hari di mana mereka tak lagi bertegur sapa. Sekarang Kayla mengerti mengapa tidak ada satu orang pun di Alamanda yang mengolok-olok dirinya secara langsung. Bahkan Anin dan antek-anteknya sekalipun.

"Gimana bisa?"

Wajah Sega tampak bercahaya. "Kay, abang lo yang ganteng ini senior yang disukai semua orang. Lagian, gue punya banyak temen. Jadi, gampang buat gue bikin mereka semua diem."

"Lo minta bantuan senior yang lain?"

"Iya, mereka juga udah tau kok kalau lo itu adek gue." Sega menjawab enteng.

Kayla tersenyum tipis, lalu tak lama kemudian, gadis itu sudah mendahului langkah sang kakak menuju motor yang terparkir di halaman rumahnya. "Ayo, Bang! Gue nggak mau telat."

Sega mengernyit heran, tapi tak ayal pemuda itu menyusul langkah Kayla sebelum melajukan motornya membelah jalanan. Sepuluh menit kemudian, kaki keduanya sudah mendarat di area parkir sekolah.

"Lo mau bikin gue jantungan?" omel Kayla begitu ia turun lebih dulu, alih-alih mengucapkan terima kasih pada sang kakak.

Sega meletakkan helmnya dan Kayla di atas spion. Pemuda itu sibuk membenarkan tatanan rambutnya sebelum berpaling pada gadis dengan badge angka romawi sebelas di sisinya. Ia tidak menghiraukan protes Kayla tadi dan memilih menggamit lengan adiknya untuk mengikuti gerak tungkainya. Di matanya, kemarahan Kayla barusan sangat menggemaskan. Bagaimana tidak, gadis tersebut memeluk pinggangnya erat ketika Sega meliuk-liukkan kuda besinya di antara padatnya Ibu Kota, sementara ia pikir adiknya tak takut apa pun.

"Gue nggak mau, ya, boncengan sama lo lagi!" Kayla melayangkan jurus pamungkas karena sejak tadi Sega mengabaikannya. Tak hanya itu, ia juga menyentak genggaman sang kakak sebelum melangkah bersama Gita yang kebetulan juga melintasi koridor yang sama.

Para murid yang kebetulan ada di tempat tersebut memasang ekspresi yang berbeda-beda. Beberapa tampak heran, beberapa lainnya terlihat membenci Kayla yang bisa dekat dengan senior idola mereka. Namun, dari semua rona tersebut, yang terekam jelas di manik tajam Sega adalah senyum simpul Gita.

Dalam keadaan normal, Sega seharusnya senang dengan respons mantan kekasihnya itu, tapi ketika ingat bahwa Gita akan kembali pergi dari hidupnya membuat hatinya patah.

Di sisi lain, Kayla justru sibuk mengedarkan pandangannya ke setiap sudut penting Alamanda—tempat-tempat yang biasa dijadikan spot anak-anak populer. Gadis itu berharap dapat menemukan Brian di sana. Ia ingin bicara.

"Lo ngapain, sih, nyariin Brian? Kemarin-kemarin musuhan." Gita berujar ketus.

Kayla berpaling padanya, sama sekali tak tersinggung. "Gue mau minta maaf sekaligus mau ngelurusin masalah kita."

Tanpa sadar Gita menarik lengan temannya itu hingga mereka berhenti. Gadis itu berdiri di hadapan Kayla dengan kerutan di dahinya. "Maksud lo apa, sih? Lo mau ngapain, Mik?"

"Semalem gue chat Val dan kasih tau tentang keluarga gue. Gue mau bilang makasih, sekaligus minta maaf karena kemarin-kemarin sempet mikir jelek. Lo tau, 'kan, kalau selama ini Val adalah satu-satunya orang terdekat gue. Biar gimana pun, dia pernah bikin hidup gue lebih baik."

Tentu saja Kayla harus melakukannya. Brian adalah orang pertama yang pantas mendengar pengakuannya. Untuk Gita, gadis itu pengecualian. Sega sendiri sudah memberitahu Kayla jika selama ini Gita merupakan mata-matanya.

"Lo juga punya rasa, ya, sama Brian?" Gadis bernama belakang Kelana tersebut bertanya lirih agar anak-anak lain tak mendengar kalimatnya barusan.

Kayla mengangguk mantap. "Dulu gue ngehindar dari Val karena gue takut hancur setelah ungkapin perasaan gue, Git. Sekarang, setelah tau semua kenyataan tentang masa lalu keluarga gue, gue percaya cinta itu sebenernya indah."

Gita membuka mulutnya sedikit, kemudian mengatupkannya kembali. Ia tidak tahu mana yang baik dan buruk. Jujur, di satu sisi ia mengakui bahwa Brian punya andil besar dalam kehidupan Kayla. Namun di sisi lain, Gita tidak yakin jika pemuda tenar tersebut bisa menerima siapa Kayla setelah tahu kebenarannya.

Benar saja, keraguan itu terbukti setelah bel panjang berdentang. Berbanding terbalik dengan siswa-siswi Alamanda yang berhamburan keluar, Kayla justru melenggang pelan menuju kelas Brian. Kata Leon, sahabatnya itu masih sibuk menyusun remedial teman-teman sekelasnya.

"Val!" panggilnya begitu tiba di ambang pintu kelas XI IPA 1. Saat itu, hanya tersisa Brian dan dua orang lain.

Si pemilik nama sempat menoleh ke arahnya, sebelum kembali sibuk dengan urusannya. Kayla menarik napas dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen sebanyak mungkin. Gadis itu memilih duduk di depan kelas tersebut sembari menunggu Brian selesai.

Tak berselang lama, sahabatnya itu keluar, tapi tak menatapnya sama sekali. Kayla bahkan dibuat terkejut lantaran Brian justru meninggalkannya begitu saja. Gadis itu buru-buru bangkit, mengejar langkah pemuda itu yang terasa begitu cepat. Sesekali ia memanggil namanya hingga menarik atensi beberapa anak yang masih ada di sana. Beruntung, Brian memenuhi panggilannya. Pemuda itu bergeming di tempat, yang tak Kayla tahu, Brian sebenarnya menangkap bayangan Sega di ujung lorong tempat mereka berada saat ini. Otaknya mendidih. Ia tidak ingin kalah untuk kedua kalinya. Jika Sega pikir Brian tidak tahu apa pun, pemuda itu salah. Kini gilirannya membalas semua perbuatan sang musuh.

Brian menekan keypad ponselnya, mencari satu nama di sana. Liat dan dengerin apa yang bakal gue lakuin ke adek lo, Ga! bisiknya dalam hati. 


Depok, 16 Juni 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang