"Papa udah bikin Mama susah." Kayla terisak pelan. Wajahnya memucat.
Ratna meletakkan bahan-bahan masakan yang sedang diolahnya, kemudian berpaling ke belakang. Wanita itu memasang senyum lembut. Kayla bahkan bisa melihat sorot teduhnya ketika sang ibu mendekat.
"Kyla, dengerin mama," pintanya seraya menggenggam tanganku erat, "apa yang sudah terjadi ini kehendak Tuhan. Mama mungkin susah, kamu mungkin terluka. Tapi asal kamu tau, akan ada yang lebih susah dan terluka kalau Papa tetap bersama kita. Naomi dan kakak kamu sakit, jadi untuk alasan apa pun, Papa harus memilih mereka untuk menyelamatkan apa yang mungkin tersisa. Ini bukan hanya soal harga, Sayang, Papa punya tanggung jawab atas keluarganya yang lain. Kita bisa nunggu Papa kapan pun, tapi tidak dengan mereka.
"Kamu ingat 'kan sama Windi? Keadaan kita juga hampir sama. Bedanya mama Windi memilih pergi untuk mengejar kebahagiaannya, sementara Papa memilih pergi untuk menyelamatkan istri dan anaknya. Coba bayangin kalau Papa memilih tetap bersama kita, mungkin akan ada kisah lain seperti Windi."
"Tapi kenapa Papa harus bener-bener ninggalin kita, Ma? Papa bisa aja berbagi perhatiannya buat kita juga."
"Itu keinginan papamu juga," ungkap Ratna yang sontak membuat putrinya menengadah. "Tapi kamu juga harus tau, kalau manusia nggak akan bisa adil. Harus ada yang mengalah. Dan mama yang memilih jalan itu. Mama yang minta papamu pergi. Maafin mama."
Ratna menyapukan ibu jarinya di bawah mata Kayla, menghapus jejak basah yang menjadi bukti bahwa gadis berusia enam belas tahun tersebut sedang tidak baik-baik saja.
"Jika sekarang mama menerima papa kamu lagi, karena mama tau itu satu-satunya cara untuk mengembalikan Kayla mama seperti sedia kala. Mama hanya ingin kamu bahagia, Kayla, hanya itu."
"Nggak apa-apa kalau Mas mau pergi. Aku akan jagain Kayla."
"Na, aku sayang sama kamu, aku nggak mungkin ninggalin kamu dan Kayla."
"Mereka lebih butuh kehadiran Mas sekarang. Ceraikan aku, nikahin Naomi sekali lagi."
Setelah perceraian Ratna dan Dhaka, wanita itu yang berinisiatif membawa Kayla jauh dari rumah mereka. Ia tidak ingin mantan suaminya itu datang dan membuat perasaannya goyah. Ia memang harus melakukan itu untuk menyelamatkan Sega. Sementara Kayla, Ratna berjanji untuk melimpahkan segala yang ia miliki demi kebahagiaan malaikat kecilnya. Kayla memilikinya, Ratna yakin satu hal itu sudah cukup untuk membuatnya tumbuh selayaknya anak pada umumnya—karena ia pun pernah mengalaminya juga.
Namun, seiring berjalannya waktu, Ratna sadar, ada Tuhan yang pandai membolak-balikkan hati manusia. Kayla-nya tumbuh penuh rasa sakit dan dendam. Kayla selalu terlihat murung dan tak mau bergaul dengan teman-teman sebayanya. Jauh di dalam lubuk hatinya, Ratna tahu ia gagal menjaga putrinya. Lalu datang sebuah keajaiban yang membuatnya kembali menumbuhkan harap.
Usia Kayla menginjak angka sepuluh tahun ketika gadis itu mengenal basket. Ia mengikuti pertandingan basket nasional yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi. Ratna bahkan masih mengingat kembang api yang seolah meletup di kedua bola mata mungil tersebut. Sejak saat itulah kecintaan sang putri terhadap cabang olahraga itu terus tumbuh. Hingga ketika Kayla duduk di bangku SMP, gadis itu mendaftar ekstrakurikuler bola basket di sekolahnya. Ratna tak memungkiri, setiap ia melihat putrinya bermain, ia kembali diingatkan pada sosok Dhaka di masa lalu.
"Maafin Kay, Ma," sesal Kayla. Gadis itu merebahkan kepalanya di pangkuan sang ibu yang tak henti-henti mengelus surai hitamnya.
"Ini bukan salah Kayla. Ini takdir, Sayang. Mungkin papamu memang bukan jodoh mama. Tapi yang terpenting mama punya kamu, putri mama." Ratna berucap lalu mengecup puncak kepala Kayla. "Mama sudah memutuskan untuk memilih kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
What Happened to Perfect
Teen Fiction[END] Bahagia versi Sega adalah memiliki kasih sayang kedua orangtuanya serta seorang adik penurut. Bahagia versi Kayla adalah hidup bersama keluarganya dengan keadaan apa pun. Sega dan Kayla, kakak beradik beda ibu yang tumbuh dalam keluarga berb...