LIMA PULUH

36 1 2
                                    

Jendela kaca besar itu menampakkan kedatangan sebuah mobil mewah berplat B. Sega memandangi pergerakan kereta besi tersebut hingga berhenti tepat di bawah jendela kamarnya. Pintu mobil itu terbuka, diikuti sepasang penumpang yang turun dari sana. Napas Sega berembus berat. Pemuda kelahiran tiga Januari tersebut mundur perlahan menuju pintu kamar yang ia biarkan terbuka sejak tadi. Ia mengayunkan tungkainya menapaki satu per satu anak tangga yang membawanya ke lantai dasar.

Setibanya ia di ruang keluarga yang terhubung dengan ruang tamu, Sega menghentikan langkahnya tepat di balik pintu. Dari bagian berbahan kaca, Sega memerhatikan kedua tamunya yang tengah berinteraksi dengan para pekerja di rumah. Pemuda itu mengangkat tangannya ke dada, merasai debaran yang begitu kuat menghantam tubuhnya.

"Udah cukup lo sakiti Kayla. Kalau lo nggak bisa terima keberadaan dia, kenapa nggak lo bilang yang sejujurnya? Supaya lo bisa dapetin kebahagiaan yang lo pikir itu. Dan supaya Kayla jatuh di tempat yang tepat. Bukannya itu tujuannya?"

Kalimat yang Leon ucapkan padanya beberapa hari lalu seperti anak panah yang menancap di pikiran Sega, mengacaukan perasaannya setiap saat. Sega juga merasakan sakit. Pemuda itu akui ia belum bisa lepas dari dendam yang menuntun langkahnya sampai sejauh ini. Menyakiti Kayla sudah seperti penawar baginya, tapi di sisi lain, ia juga tidak tahu efeknya menembus afeksinya. Setiap ia membuka mata, yang Sega temui adalah kekosongan yang sebelumnya milik sang adik. Jika ia melepaskan Kayla, apa perasaannya akan membaik?

Delapan belas tahun usianya, dan Sega masih tidak bisa memutuskan apa yang benar-benar ia inginkan. Ia hanya ingin orang-orang tahu rasa sakit Naomi. Sega ingin orangtuanya dan Kayla mengerti. Hanya saja, pemuda itu tidak tahu cara yang benar untuk mengungkapkannya. Menyakiti Kayla diam-diam jadi satu-satunya jalan yang ia pahami. Hingga tanpa sadar, Sega melangkah terlalu jauh dari rencananya.

Kini, semua perbuatannya membuat ia terpisah dari sang adik. Kedua orangtuanya sudah membuat surat penyerahan hak asuh Kayla kepada Erwin dan Karina. Gambaran sebuah keluarga harmonis yang pernah ia impikan memudar perlahan. Tidak ada lagi alasan bagi Sega menahan gadis itu di sini. Sega tahu ia adalah dalang yang menghancurkan hati Kayla, dan sekarang sudah saatnya bagi Kayla untuk bertemu sang dalang. Kali ini, Kayla harus kembali jatuh agar ia bisa menemukan dirinya dan bangkit.

Tangan kanan Sega menyentuh benda berbahan kayu di depannya, kemudian mendorong perlahan. Gerakan itu menarik atensi empat pasang mata di ruang bernuansa monokrom.

Tak lama kemudian, pekikan Kayla mengalun nyaring. "Kak!"

Sega mendekati gadis itu hingga Kayla bisa memeluknya erat. "Gue kangen."

Pemuda berkaos hitam tersebut menahan napasnya selama beberapa saat. Tindakan sang adik barusan seperti duri yang menancap di tubuhnya. Sega masih bergeming ketika manik mata Leon yang sekelam malam melotot tajam. Jantung Sega berdentum tak karuan, hingga akhirnya ia mendaratkan kelima jari kanannya ke rambut lurus sang adik, membalas pelukannya tak kalah erat.

Beberapa detik kemudian, Kayla mengurai pelukan mereka. Gadis itu mendongak dengan bibir melengkung tipis. Tak lama, ia mengalihkan tatapannya pada Leon tatkala sahabatnya itu berujar, "Besok gue jemput lo jam sebelas, ya, Kay!"

Kayla mengangguk sebagai jawaban.

"Lo ke dalam dulu, ya, Kay! Gue anter Leon sampai depan," ungkap Sega begitu pemuda yang mengantar sang adik meraih kunci mobil di meja dan melangkah ke arah pintu.

Lagi, Kayla menggerakkan kepalanya ke atas dan bawah bergantian. Gadis bergaun abstrak tersebut melangkah ringan dengan kruk di lengan kanannya, diikuti seorang asisten rumah tangga. Kayla memaksa dirinya terus melenggang jauh, meniti lantai keramik yang baru kali ini diinjaknya. Sesekali netranya mengedar ke tiap sudut, mencari apa pun yang dapat mengingatkannya pada rumah mereka dahulu. Namun, ia sadar bahwa semuanya terasa asing. Tidak ada satu hal pun yang ia kenali. Bahkan foto keluarga mereka di ruang bernuansa cokelat yang tengah ia lalui ini pun tak terlihat.

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang