"Mik, wait!" Leon menghadang langkah Kayla yang baru saja naik ke atas motor matic-nya.
"Kenapa, Le?"
Leon menyerahkan sebuah lipatan kertas yang tampak kusut. Pemuda itu pikir, Kayla pasti meremasnya, kemudian berniat membuang kertas tersebut yang nyatanya justru terselip di dalam paper bag. Sebenarnya ia tidak berniat ikut campur dalam urusan temannya itu, tapi kali ini, ia pikir Kayla butuh seseorang untuk berbagi kegundahan hatinya. Leon senang gadis itu memilihnya untuk hal seperti ini, meskipun bagi Kayla semua ini tak berarti banyak.
Ada kelabu di dalam manik Kayla, Leon bisa melihatnya dengan jelas. Ini kedua kalinya ia melihat kejadian serupa. Pertama, saat perayaan ulang tahun Alamanda sekaligus Hari Ayah kemarin. Kedua, saat ini, tepat di depan matanya.
Jemari besar Leon menyentuh permukaan epidermis makhluk berkromosom Y tersebut kuat, karena seperti itulah tepatnya ia ingin Kayla paham seberapa pentingnya gadis itu bagi Leon.
Sedetik kemudian, Kayla terkekeh pedih. Gadis itu menengadah pada sang surya yang terhalang dedaunan pohon mangga.
Leon memaksa temannya itu menatap wajahnya. "Tunggu di sini bentar!"
Setelahnya, pemuda itu berlalu ke dalam rumah, dan kembali tak lama kemudian. Leon menyimpan sebuah bola basket di pinggul kirinya. Ia berpaling pada Kayla yang hanya mematung di posisi pemuda itu meninggalkannya tadi.
"Minggu depan pertandingan udah dimulai lagi, main di depan bentar, yuk!" ajaknya. "Kita jalan kaki aja, sekalian pemanasan. Motor lo tinggal di sini."
Kayla pikir Leon berniat mengembalikan Winnie. Kayla pikir pemuda itu akan menceramahinya tentang belajar memaafkan seperti yang sering orang-orang gemborkan. Ia tak pernah berpikir bahwa pemuda itu hanya mengembalikan suratnya, kemudian mengajaknya latihan basket. Jadi kali ini, anggota AGT tersebut mengikuti ajakannya tanpa protes.
Keduanya menyusuri jalanan kompleks yang dipenuhi guguran bunga flamboyan diiringi desau angin. Sesekali Leon melakukan dribble singkat sebelum menenteng benda oranye itu lagi. Baik Leon maupun Kayla sama sekali tak berniat membuka percakapan setelah momen canggung tadi.
Hingga ketika mereka sampai, Leon melemparkan bola ke arah Kayla yang refleks segera menangkapnya. "Gila lo, kalau mau ngelempar bilang-bilang dong! Kalau tangan gue nggak pro, bisa benjol nih kepala," semprot gadis berkaos biru tersebut.
Leon menghadiahinya tawa lebar sembari berlari kecil ke tengah lapangan yang menjadi pertanda dimulainya permainan. Rambut sebahu Kayla bergerak ke kanan dan kiri. Gadis itu meregangkan otot-ototnya sejenak lantas menghampiri rival dadakannya.
Keduanya bermain dalam ritme santai beberapa saat, kemudian berubah serius, lalu kembali santai lagi—begitu seterusnya. Kayla kesal, tentu saja, karena Leon dengan mudah membuat gerakannya berantakan. Namun, selain itu, gadis tersebut sebenarnya senang. Ia belajar banyak hal dari Ketua ABT tersebut. Tak heran jika pelatih mereka memercayakan kelompok itu pada Leon saat ketua yang lama mengundurkan diri secara tiba-tiba.
"Udah, ah, gue capek," keluh Kayla seraya menjatuhkan pantat di rerumputan samping lapangan.
"Fokus dong, Mik! Ini udah masuk seperempat final."
"Lo yang main-main!" semburnya.
Tubuh Leon menjulang di hadapannya, menghalangi gadis itu dari teriknya sang mentari sembari berkacak pinggang. "Lawan lo punya strategi, Mik. Dan nggak selamanya lo cuma ngadepin lawan yang monoton. Lo harus siap kapan pun. Sama kayak hidup."
"Ya tapi kan kita bukan lagi latihan!" Gadis itu masih mengeluh, hingga akhirnya Leon mengambil tempat di sisinya.
"Latihan atau main apa bedanya? Kalau lo nggak fokus, hal yang kelihatan sepele pun bakal jadi berantakan. Sifat manusia memang gitu, selalu cari celah untuk dukung kelemahannya." Pemuda itu menyenggol bahu Kayla pelan. "Lo hebat, Mik, tapi lo juga harus lebih peka sama sekitar lo."
Leon memang benar! Kayla hanya mencari pembenaran di dalam kekurangannya. Gadis itu terdiam dan menunduk. Tanpa sadar jari-jarinya sibuk mencabuti rerumputan di bawah kakinya.
Tahu kawannya tak bersedia membalas, Leon bangkit, lantas menarik paksa lengan Kayla mengikutinya. "Ya udah, kalau gitu balik aja, yuk! Bentar lagi juga dzuhur."
Gadis itu hanya pasrah. Mereka berjalan beriringan meninggalkan lapangan yang ramai di pagi dan sore hari. Kali ini, Leon memilih jalan memutar, melewati taman yang hanya berukuran 10x8 meter, tapi nyaman untuk berteduh dan menghilangkan penat.
Perjalanan pulang sebenarnya tak jauh beda dengan saat mereka pergi. Mulut keduanya sama-sama terkunci. Namun, kali ini Kayla beberapa kali kedapatan melirik Leon dari ekor matanya. Sebenarnya, sejak ia nekat datang ke rumah Leon, ia hanya ingin melepaskan sesak yang mengimpit dadanya. Ia butuh seseorang untuk mendengarkan keluhannya. Selain Brian, satu-satunya orang yang dekat dengannya hanya kapten ABT tersebut.
"Sebenernya sebelum gue kasih Winnie ke elo, gue udah minta Val buat bawa tadi pagi," aku Kayla. Tatapannya masih lurus ke depan.
Leon berpaling ke arahnya dengan hati mencelis. "Terus kenapa akhirnya boneka itu lo kasih ke gue?"
"Val nolak." Gadis tersebut menghela napas panjang. "Nyokap gue kasih tau Val kalau boneka itu hadiah bokap. Jadi, Val maksa gue simpen, sampai kita berantem."
"Mungkin Brian mau liat lo bahagia, Mik."
Kayla menghampiri sebuah bangku semen bercat biru di dalam taman, duduk di sana, lalu mengeluarkan remasan kertas tadi dari saku celana jeans-nya. "Gue berusaha percaya, Le." Ia mengangsurkan suratnya pada Leon.
Ya, Kayla ingin percaya. Ia ingin sekali percaya pada Brian. Namun, saat ia membaca kata demi kata yang ayahnya tulis, ia justru mempertanyakan, apa partner in crime-nya itu benar-benar peduli saat pemuda tersebut sama sekali tak kenal monster yang bersemayam dalam diri Kayla.
"Kenapa bokap gue tulis surat itu, bilang seharusnya gue terima di hari ulang tahun gue supaya gue tau kalau gue putri kesayangannya? Tapi nyatanya, semua hal itu justru dikasih sekarang! Saat gue percaya kalau bokap nggak akan pernah balik lagi. Saat gue udah percaya dengan semua yang orang bilang kalau selama ini gue cuma berangan punya bokap terbaik. Nggak gampang buat balikin semua pemikiran buruk itu kayak semula. Dan Val dengan gampangnya bilang kalau tau dari dulu ataupun sekarang bukan masalah besar, nggak akan ubah keadaan."
Kayla sudah pernah bercerita tentang masa lalu yang membuat hatinya membeku. Ia pikir malam itu Brian dapat memahaminya mengingat pemuda berambut rapi tersebut sama sekali tak mencelanya karena ia juga pernah terluka. Sayangnya, pemikiran polos itu salah besar. Brian tak memahami dukanya dan menganggap apa yang Kayla jelaskan hanyalah sepotong kisah tak bermakna. Pemuda itu tak mengerti bahwa gadis ambisius tersebut berusaha memupuk rasa percaya padanya dengan menitipkan rahasia yang berusaha keras ia redam gejolaknya.
Sebaliknya, Brian menggunakan sisi rapuh Kayla untuk memaksakan perasaan bodoh yang disebut cinta. Katanya, Dhaka juga menderita selama beberapa tahun itu. Pemuda itu lupa, jika ketidakpastian yang Dhaka berikan membuat penderitaannya semakin nyata saat pria itu kembali.
"Apa pendapat lo tentang bokap lo bakal berubah seandainya surat ini datang lebih awal?"
Leon bisa melihat senyum miris tercetak di roman Kayla. Vokalnya bergetar tatkala gadis itu menyahut, "Yang gue tau, gue nggak akan ragu buat tulis namanya setiap isi biodata. Dan gue nggak akan risi dengan keramaian di sekitar gue."
Wajah lonjong pemuda dengan nama belakang Wijaya tersebut bergerak ke atas dan ke bawah. Kini ia paham alasan Kayla tak suka bersosialisasi. Ia pernah dengar bahwa bullying verbal bisa berakibat fatal terhadap kondisi psikologis korbannya. Kayla termasuk salah satunya.
Leon sadar ia tidak bisa membantu banyak. Dia juga tidak punya hak untuk berkomentar tentang masalahnya, pun menyalahkan tindakan gadis itu. Maka, satu-satunya hal yang ia lakukan hanyalah memberi Kayla waktu untuk berpikir dan belajar, seikit demi sedikit.
"Gue bakal simpan Winnie," ungkapnya, lantas menambahkan dalam hati, "sampai lo bisa terima luka lo, Mik."
Depok, 17 Maret 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Happened to Perfect
Teen Fiction[END] Bahagia versi Sega adalah memiliki kasih sayang kedua orangtuanya serta seorang adik penurut. Bahagia versi Kayla adalah hidup bersama keluarganya dengan keadaan apa pun. Sega dan Kayla, kakak beradik beda ibu yang tumbuh dalam keluarga berb...