Sega menapaki satu per satu anak tangga menuju perpustakaan di lantai dua tak sabaran. Setelah mendapat pesan dari salah satu rekan adiknya yang mengatakan keadaan Kayla, pemuda itu ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri seburuk apa keadaan. Bukan karena ia khawatir, Sega hanya tak senang jika harus mendengar ocehan Gita saat ia masih harus melewati tujuh jam pelajaran!
Beruntung, perpustakaan hampir tidak pernah ramai ketika matahari masih tersenyum malu. Kebanyakan murid lebih memilih menyelesaikan tugas sekolah yang belum selesai dibanding menyambangi tempat penuh buku.
Begitu sampai di tempat tujuan, pemuda bernama lengkap Sagara Alesandro itu berdiri di dekat pagar setinggi perutnya. Maniknya menelisik beberapa anggota tim basket yang tengah berlatih di lapangan utama sebelum fokus pada satu gadis berkucir kuda yang tampak menggebu tatkala menggerakkan tangan dan kakinya. Sega akui, permainan Kayla memang apik. Gadis itu menguasai beberapa teknik yang patut diacungi jempol. Tak heran jika Naomi kerap kali menyamakan sang adik dengan ayah mereka.
Selang beberapa menit, Sega tak mendapati keanehan dalam permainan AGT—pun Kayla. Semuanya tampak wajar hingga pemuda tersebut memutuskan kembali ke kelas mengingat bel pertama hampir dibunyikan.
Di perjalanan menuju kelasnya, Sega berpapasan dengan Laura, salah satu teman Brian yang dulu pernah bertabrakan dengannya di depan ruang guru. Seperti biasa, gadis itu selalu memberinya senyum lebar yang ia balas lengkungan tipis. Sega sebenarnya tahu Laura menyukainya, tapi karena kedekatannya dengan sang musuh, Sega memilih mengabaikan gadis cantik tersebut—dan Laura memahaminya.
Namun, entah mengapa, gadis itu tiba-tiba saja merentangkan kedua lengannya, menghalangi langkah Sega hingga mau tak mau pemuda berkulit putih itu menarik satu alisnya ke atas.
"Kak, nanti siang makan bareng, yuk!" kata Laura. Suara lantangnya menyebar di sepanjang lorong kelas yang dipenuhi siswa-siswi berseragam kuning gading dan olive.
Orang-orang tentu saja mengalihkan pandangan padanya, seolah apa yang barusan gadis tersebut serukan adalah hal tak lazim. Memang tidak, jika yang menyebutkannya adalah seorang Laura Arista, Queen of Party di Alamanda.
"Sori, tapi ...."
Sebelum Sega menyelesaikan kalimatnya, Laura buru-buru menyela, "Plis, Kak, kali ini aja. Aku janji setelah ini Kakak nggak perlu liat muka aku lagi."
Rasa ingin tahu Sega tergugah. Pemuda ber-badge angka tiga tersebut memfokuskan tatapannya pada gadis berbandana biru dongker di hadapannya, kemudian bertanya, "Apa maksud lo?"
"Aku mau pindah sekolah."
Tidak ada penjelasan yang lebih masuk akal dibanding alasan itu. Jika Laura masih di sini, gadis itu tentu cukup pintar untuk menjauh dari Sega. Karena bagaimana pun, mereka berbeda kubu. Akan ada beberapa hal yang mungkin bersinggungan jika Laura nekat mendekati sumber kecemasan Brian. Namun mengingat ia harus ikut keluarganya pindah ke luar daerah, maka ia ingin mengambil kesempatan emasnya.
Tidak masalah jika gadis itu akan kena amukan Brian, asal ia bisa mendapat satu kali kesempatan untuk berada dekat dengan orang yang ia kagumi. Toh setelah itu ia akan lepas dari kelompoknya.
"Oke, gue tunggu di kantin nanti."
Sega tidak tahu apakah keputusannya ini benar atau salah, tapi pada akhirnya, ia dan Laura duduk berseberangan di salah satu meja kantin. Kasak-kusuk mewarnai tempat beraroma beragam jenis masakan tersebut, juga tatapan tajam Brian.
Meskipun hanya lima belas menit keduanya bicara, tapi sejujurnya Sega cukup nyaman dengan Laura. Gadis cantik itu cukup menyenangkan. Hingga Sega berinisiatif bersikap ramah padanya. Ia bahkan menawarkan untuk mentraktir gadis tersebut. Anggap saja dia tengah berinvestasi untuk meninggalkan kesan positif bagi Laura.
Setelah pemuda itu selesai menyantap seporsi bakso dan es teh, ia melangkahkan kakinya kembali ke gedung B, tempat kelasnya berada. Namun, langkahnya terhenti saat netranya menangkap siluet seorang gadis yang sangat ia kenal sedang duduk di depan UKS. Tak lama kemudian, satu gadis lain muncul dari dalam membawa sebuah botol di tangannya. Si gadis kedua jongkok di depan gadis pertama, menarik kakinya kemudian menyemprotkan isi botol itu dengan gerakan melintang.
Karena penasaran, Sega mendekat bersama langkah lebarnya, barulah dia menyadari apa yang sedang terjadi dengan Kayla, si gadis pertama.
"Kaki lo kenapa?" tanyanya. Adiknya mendongak, lalu buru-buru ia menurunkan celana bahannya, menutupi kondisi lututnya yang sedikit bengkak.
Tatapan matanya beralih pada Gita, gadis satunya lagi, yang kembali menyibak celana Kayla. Gadis itu kembali menyemprotkan obat anti inflamasi di genggamannya tanpa terusik sedikit pun dengan kehadiran Sega.
Sega tidak bodoh untuk mengakui bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi. Baik tentang adiknya, ataupun Gita.
"Mik! Git!" Ia berseru.
"Kaki gue cuma kekilir aja." Kayla menyahut sambil lalu.
Gadis itu bangkit dari duduknya, dibantu Gita yang masih membisu.
Jika bukan karena bel tanda masuk, Sega pasti sudah menghujani kedua gadis di hadapannya dengan serangkaian pertanyaan. Apa Kayla baik-baik saja? Mengapa Gita diam saja? Dan apa yang harus ia lakukan untuk dua gadis kesayangannya itu?
Setitik hatinya terganggu hanya karena pemandangan ini. Namun, Sega tahu dia tidak bisa menggali informasi lebih dalam tentang keduanya sekarang.
Jadi, sore harinya, pemuda itu bertandang ke rumah Gita yang sudah beberapa kali pemuda itu datangi. Ia baru bisa menemui gadis berambut cokelat tua itu karena siang tadi Gita, Kayla, dan beberapa anggota basket yang lain berada di Oregon Arena, menyaksikan babak penyisihan pertandingan basket putra.
Pintu kaca di depannya terbuka, menampilkan sosok Gita yang tengah bersedekap. Nadanya melengking. "Mau apa lo ke sini?"
Sega merasa déjà vu. Ia pernah mengalami kejadian serupa, dengan gadis yang sama pula beberapa tahun lalu. Bedanya, dulu ia tak seberani sekarang.
"Gue mau tau keadaan Kayla dan elo. Kalian baik-baik aja, 'kan?"
"Keadaan?" Gita mendengus. "Mending lo simpen deh perhatian palsu lo itu buat orang lain. Kayla atau pun gue nggak butuh!"
"Maksud lo apa sih, Git? Perhatian palsu apa?"
"Mungkin lo lupa, kalau gue nyuruh lo liat Kayla tadi pagi!"
"Gue datang, asal lo tau. Tapi dia baik-baik aja. Terus masalahnya di mana?"
Gita menghunus sebilah pisau ke dalam mata Sega, menguncinya dengan kemarahan tak terhingga. "Sekarang gue tanya, berapa kali lo nonton permainan Kayla? Ga, lo selalu bilang bosen Kayla main, tapi kalau lo sering liat, harusnya lo bisa bedain kalau permainan adek lo tadi pagi itu kacau."
"Gue nggak ...."
"Menurut lo apa alasan kaki Kayla bisa kayak gitu? Lo percaya kalau itu cuma terkilir? Lo nggak kasih dia perhatian kayak yang lo kasih ke Laura. Jadi stop tanya-tanya, karna ini semua percuma!" ungkap Gita lantas menutup pintu keras-keras.
Depok, 24 Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
What Happened to Perfect
Novela Juvenil[END] Bahagia versi Sega adalah memiliki kasih sayang kedua orangtuanya serta seorang adik penurut. Bahagia versi Kayla adalah hidup bersama keluarganya dengan keadaan apa pun. Sega dan Kayla, kakak beradik beda ibu yang tumbuh dalam keluarga berb...