"Pelan-pelan, Mik! Lo bikin gue jantungan tau nggak!" protes Leon ketika Kayla turun dari motornya tanpa aba-aba.
Gadis itu memang sengaja, jika tidak, Leon pasti akan menggenggam tangannya erat sampai kedua kaki Kayla benar-benar menyentuh tanah. Sementara itu, dia tahu Windi memerhatikan mereka dari jendela kamarnya. Walaupun selama ini Windi sudah mengatakan bahwa ia dan Leon sama sekali tak punya hubungan khusus selain sahabat, tetap saja Kayla merasa tak enak hati. Belum lagi anggota AGT itu sudah berjanji untuk membantu Windi menunjukkan pada Leon letak kebahagiaannya.
"Thanks," ucap Kayla, lengkap dengan senyum kikuknya.
Leon mengulurkan tangannya, melepas kait helm di kepala temannya itu sebelum jari-jarinya tanpa sadar merapikan tiap helai rambut Kayla yang berantakan. Sementara itu, sang gadis termenung di tempat. Jantungnya seolah dipukul kencang saat aroma parfum pemuda di depannya merasuk ke dalam hidung. Tidak, bukan Leon, ia memikirkan pemuda lain. Pemuda yang pernah menemani hari-hari gelapnya. Kayla sadar jika ia merindukan Brian.
"Udah, masuk sana, Mik!" pinta Leon kemudian, menyadarkan gadis itu dari ruang pikirannya sendiri.
Kayla meneguk salivanya seraya berkedip dua kali. Gadis penyuka hujan tersebut sudah berbalik, hampir mencapai pintu, ketika tiba-tiba ia menoleh dan bertanya, "Lo nggak mau ketemu Windi dulu, Le?"
Leon membuang pandangannya ke pohon mangga di depan rumah itu. "Gue ada urusan. Sampein salam gue ke Windi, semoga cepet sembuh."
Kayla manggut-manggut. Gadis itu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Namun, ia tak lantas pergi ke kamar Windi. Ia berdiri di balik tirai brokat berwarna putih, memandangi Leon yang masih saja bergeming di tempat semula.
Sampai pada akhirnya tubuh tegap berbalut jaket denim tersebut menghilang dari pandangannya, Kayla baru membersihkan diri sebelum menemui Windi di kamarnya. Saat ia masuk, netranya menangkap pemandangan tak biasa. Windi duduk di tepi tempat tidur dengan sebuah album foto di pangkuan. Kayla mengambil tempat di sisinya. Matanya melirik kumpulan foto yang gadis itu pasang di salah satu dinding kamarnya sebelum menyatukan foto-foto tersebut di dalam album.
"Apa yang lo lakuin, Win?" tanya Kayla hati-hati.
"Udah saatnya aku lupain semuanya, Mik."
Kedua alis Kayla hampir menyatu. "Maksud lo apa?"
"Foto-foto ini," Windi mengelus tepi album berisikan foto miliknya bersama Anin, Lina, dan Leon tengah memakai seragam kebanggaan masing-masing, "cuma bikin aku inget kalau aku nggak pantas hadir dalam kehidupan mereka. Bahkan aku seharusnya nggak perlu ada di dunia ini sejak awal, jadi semuanya bakal lebih mudah buat orang-orang di sekitarku."
"Kenapa lo ngomong kayak gitu? Lo layak hidup, Win!"
Windi menggeleng. Setetes air mata meluncur jatuh mengenai roknya. Kali itu, Windi menceritakan sebuah kisah dari masa lalunya. Sebuah kisah yang berhasil menghempaskannya seperti sekarang. Ibu kandung Windi yang sebenarnya bukanlah Dira seperti yang ia tahu, tapi Sofi, ibu Akmal—pemuda yang pernah disukainya.
"Mik, apa kamu sadar kalau kita sama-sama kecewa dengan orangtua kita?" Windi mengukir sabit di wajah sembapnya. "Salah satu orangtua kita, ninggalin kita. Aku benci mamaku. Tapi apa kamu tau apa yang lebih aku benci?"
Kayla menggeleng.
"Aku benci aku yang dulu. Aku yang penuh dendam, kecewa, lebay, dan semua hal buat aku jauh dari rasa syukur." Kali ini Windi menunjukkan foto seorang wanita cantik dengan senyum menawan. "Ini mamaku, dia sudah bahagia sekarang dengan hidup barunya. Aku benci satu hal itu, tapi aku juga sadar kalau mamaku cuma manusia biasa. Aku kira cuma aku dan Papa yang hancur, tapi mamaku juga. Sayangnya, aku terlambat sadar kalau membenci bukan sebuah jawaban. Aku terlalu banyak nyusahin orang, dan aku nggak bisa perbaiki itu semua. Tapi aku akan kasih tau kamu satu hal, Mik."
Tangan kiri Windi meraih telapak tangan Kayla dan menggenggamnya erat. "Bukan ayah atau ibu yang nggak sayang kita, ini cuma masalah takdir. Mungkin takdir nggak semulus yang kita mau, tapi aku masih percaya kalau rencana Tuhan adalah yang terbaik. Aku mau kamu juga sadar hal itu, sebelum kesempatan itu hilang. Jangan pisahin cinta mereka."
Setelah obrolan mereka siang itu, Kayla sadar Windi jadi lebih banyak diam. Hingga esok hari tiba.
"Windi!"
Isak tangis semakin santer berdengung di kepala Kayla ketika gadis itu membuka pintu.
"Dia pergi, Mik," bisik Leon, tepat di belakang telinganya.
***
Sore itu Kayla baru selesai mengemasi kamar Windi ketikaTante Sofi—ibu kandung Windi—tiba di rumah duka. Wanita itu datang tepat saat orang-orang pergi mengantar jasad Windi ke tempat persemayamannya. Alih-alih ke sana, Tante Sofi justru memilih ke rumah yang tengah sepi.
Wanita itu tak banyak bicara. Sofi hanya menyalami Dira dan duduk di salah satu sudut ruangan sambil sesekali memandangi potret Windi. Para tamu yang datang tidak menyapanya bahkan sekadar melirik pun tidak. Seolah keberadaan Sofi hanya sebuah ilusi yang Kayla saksikan seorang diri.
Bagi kebanyakan orang yang mengenal keluarga mereka, Sofi adalah tokoh antagonis. Kayla belum pernah bertemu atau mengenal wanita yang telah melahirkan Windi ke dunia ini sebelumnya—kecuali dari kisah-kisah gadis itu, tapi yang Kayla lihat saat ini, Sofi hanyalah seorang ibu yang kehilangan putrinya. Seorang ibu yang menyayangi putrinya dalam diam. Mungkin seperti ini jugalah ayahnya saat Kayla tak bisa melihat setiap detailnya.
"Lo masih nginep di sini nanti malam, Mik?" tanya Leon begitu pemuda itu duduk di samping Kayla usai mengebumikan sang sahabat.
Kayla menggeleng. Hari ini ibunya sudah kembali. Lagipula, ia rasa tugasnya telah usai.
"Bentar, gue ambil tas di kamar Windi," sahut Kayla, tertatih bangkit menuju salah satu ruang di dekat halaman belakang.
Ketika ia sampai di sana, kamar itu terasa lebih dingin. Meski begitu, indra penciuman gadis itu tetap membaui aroma vanilla yang lembut menyeruak dari tiap incinya. Aroma milik Windi, seolah sang empunya masih ada di sana.
Kayla menjatuhkan pantat di atas double bed dan sejenak merekam setiap hal yang tertangkap retina. Netranya memandangi foto di atas nakas. Siapa sangka di balik senyum menawan yang tercetak di wajah Windi adalah topeng untuk bertahan? Tangan Kayla tergerak untuk meraihnya. Namun saat benda persegi berlapis kaca tersebut terangkat, sebuah kertas terjatuh dari alasnya.
Aku dan Mama.
Kalimat itu tercetak rapi di salah satu sisi kertas. Gadis itu membalik sisi yang lain dan menyadari bahwa itu bukan kertas biasa. Itu adalah sebuah foto yang diambil saat anak yang ia yakini adalah Windi masih bayi. Sementara wanita dewasa itu adalah Sofi.
Potret itu memperlihatkan senyum merekah Sofi yang tengah berbaring di ranjang dengan Windi di dekapannya. Kayla memejamkan mata rapat-rapat, mencoba menerka perasaan temannya tatkala mengingat kenangan ini.
"Kadang yang membuat luka itu menyakitkan adalah fakta bahwa kita punya momen bahagia yang sampai kapan pun nggak akan mungkin kita miliki lagi."
Ketika kelopaknya kembali terbuka, gadis itu menyadari genangan air di pelupuk mata. Ia menarik napas panjang dan dalam, berusaha menguatkan hati yang tengah patah untuk orang lain.
Depok, 26 Mei 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
What Happened to Perfect
Fiksi Remaja[END] Bahagia versi Sega adalah memiliki kasih sayang kedua orangtuanya serta seorang adik penurut. Bahagia versi Kayla adalah hidup bersama keluarganya dengan keadaan apa pun. Sega dan Kayla, kakak beradik beda ibu yang tumbuh dalam keluarga berb...