TIGA PULUH

16 2 0
                                    

Sega memacu mobilnya dalam kecepatan tinggi. Netranya menengok ke kursi belakang di mana seorang gadis terbaring sembari meraung kencang di pangkuan gadis lainnya. Wajah perseginya tampak pucat, sementara tangannya terus mencengkeram lutut sebelah kanan.

"Git ...."

"Tahan, Mik, bentar lagi kita sampai rumah sakit."

Kedua telapak tangan Sega menekan kuat pada setir mobilnya. Ingatannya kembali ke masa di mana ia melihat sendiri kondisi lutut Kayla sebelum pertandingannya digelar. Sega pikir itu hanya luka biasa. Sega pikir keadaannya tak akan membuat adiknya mengerang sakit. Sega marah, tentu saja, tapi lebih dari itu, dia juga khawatir.

Gita sudah memberinya peringatan setelah pertandingan usai—tepat saat Kayla dibawa ke unit kesehatan dan dianjurkan untuk memeriksakan kondisinya sesegera mungkin. Sega harusnya mendengarkan dan memberitahu Dhaka, tapi egonya menang. Itu juga alasan mengapa ia berpura-pura sakit agar ayahnya meninggalkan Oregon hari itu.

Pemuda itu tidak mengerti sepenting apa Kayla di hidupnya. Sega mengakui gadis itu adiknya, tapi di sisi lain dia juga tidak bisa menerima keberadaannya. Kayla mempunyai banyak hal yang bukan milik pemuda tersebut, dan Sega belum bisa berdamai dengan semua itu.

"Gue nggak mau bikin nyokap gue khawatir. Gue takut, Git." Kayla menggeleng lemah.

Sega kembali berpaling ke belakang. Kalimat tersebut seperti panah yang menghunus jantungnya. Ia tidak pernah menyangka kalimat selemah itu keluar dari mulut sang adik. Apa Kayla tidak mengerti bahwa kondisi kesehatannya jauh lebih pantas dikhawatirkan? Bagaimana jika terjadi sesuatu yang fatal? Biar bagaimanapun, Kayla tetaplah adiknya. Ia benci melihat gadis itu kuat, tapi dia lebih benci melihat adiknya putus asa.

Sekitar lima belas menit kemudian mobil hitam yang mereka kendarai memasuki area rumah sakit. Sega berhenti tepat di depan lobi agar Kayla dapat segera ditangani. Gita menemani gadis itu sampai UGD, sementara Sega memarkirkan mobilnya dan mengurus administrasi.

Ketika Sega menyelesaikan urusannya dan menyusul dua gadis tersebut, Gita sama sekali tak mengajaknya bicara. Sebaliknya, gadis yang berstatus mantan kekasihnya itu hanya termenung sambil berpangku tangan di salah satu bangku. Meskipun Gita menghubunginya tadi, Sega tahu itulah satu-satunya pilihan yang gadis itu punya. Gita marah padanya karena Sega kembali mengkhianati kepercayaan gadis tersebut seperti yang sudah-sudah.

"Sori, Git."

Gadis ber-sweater garis-garis itu bergeming.

"Belakangan gue lagi banyak urusan. Lo tau, 'kan, sebentar lagi ujian nasional. Bokap dan Oma gue minta gue supaya ...."

"Gue nggak minta lo jagain Mika dua puluh empat jam, Ga!" Gita mendongak dengan pandangan terluka. "Lo selalu pakai alasan ini dan itu tiap kali buat kesalahan. Lo sadar nggak kalau sikap lo ini egois?" cecar gadis tersebut seraya menantang sepasang manik Sega. "Lo nggak pernah nyesel sama semua sikap lo, karna menurut lo, cuma lo yang terluka. Iya, 'kan? Lo cuma fokus sama diri lo tanpa peduli gimana perasaan gue dan Mika! Bukan cuma lo yang punya masalah."

Gita menegakkan tubuhnya. Kedua tangannya terangkat, menyusup di antara helai-helai rambut cokelat gelapnya. Gadis itu mengingat semua perkataan Kayla di sela-sela permainan mereka tadi. Temannya itu menceritakan tiap detail masalah yang membawanya sampai ke titik ini. Gita pun melakukan hal yang sama. Mereka sama-sama marah, sama-sama kecewa, dan sama-sama terluka.

Awalnya Gita pikir, permainan Sega berakar dari Brian, tapi ternyata rencana itu jauh lebih besar dari yang bisa Gita duga. Gadis itu memahami tiap titik yang menghubungkan segalanya. Sega tidak hanya ingin menghancurkan Brian dan menyelamatkan perasaan adiknya dari sang musuh. Sega ingin menghancurkan keduanya dengan cara yang tak kasat mata. Itu sebabnya pemuda tersebut belum mengakui siapa dirinya pada Kayla.

Hanya menunggu waktu sebelum bomnya meledak. Gita sangat ingin menghentikannya. Dia tidak ingin orang yang ia cintai berubah jahat, tapi waktunya juga tidak banyak. Ia juga memiliki masalah yang harus diselesaikan.

"Lo ...." Belum selesai Gita menyelesaikan kalimatnya, suara lain lebih dulu menyela, "Sega, gimana keadaan Kayla?"

Gadis itu memandang dua orang dewasa yang tampak cemas. Dhaka memposisikan dirinya di depan pintu UGD yang masih tertutup rapat, sedangkan Ratna bertanya pada Sega dengan suara panik.

Tahu Sega tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana wanita tersebut, Gita segera bangkit, lalu ia berujar, "Mika masih ditangani dokter, Tante."

Fokus Ratna berpindah padanya. Wajah cantik yang telah termakan usia tersebut seolah menuntun jawaban lebih ketika pandangan mereka bertemu.

"Apa yang terjadi, Git? Kyla kenapa?"

Gita meneguk salivanya susah payah. Tidak mungkin gadis itu menceritakan masalah sebenarnya. Ia tidak mungkin mengatakan kesedihan Kayla karena ia tidak dapat mewujudkan apa yang selalu gadis itu ingin berikan pada Ratna. Kayla ingin ibunya tahu bahwa apa pun yang terjadi, dia akan selalu jadi orang pertama yang ada di sisi wanita tersebut. Dengan begitu Dhaka tak perlu hadir lagi dalam kehidupan mereka—agar orang-orang tak menghina Ratna, agar Eva tak mengatakan hal-hal buruk sekali lagi.

Ditambah, Gita juga tidak bisa mengungkap segala sakit hati Sega di hadapan orangtua mereka. Ia tidak berhak ikut campur.

***

Pelupuk mata Kayla bergerak perlahan ketika Ratna menggenggam tangannya erat. Pandangan matanya mengabur sebelum gadis itu menyadari nuansa putih dalam ruangan tempatnya terbaring saat ini. Aroma khas obat-obatan menyeruak ke dalam indra penciumannya. Ia masih ingat dua orang yang membawanya ke mari. Namun, sepasang muda-mudi itu sudah berganti menjadi sepasang orang dewasa dan seorang pria berjaket putih.

"Apa dampaknya fatal, Dok?"

"Saya tidak bisa memastikannya secara pasti, tapi saya sarankan untuk segera dilakukan MRI sehingga kami dapat melakukan penanganan lebih lanjut. Bapak atau Ibu bisa mengisi formulir di bagian administrasi jika setuju."

Kayla menggerakkan kepalanya ke kiri, tepat ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan langit jingga. Firasatnya memberi sinyal buruk.

Sebuah usapan lembut di ujung kepalanya membuat gadis itu kembali mengalihkan perhatian pada dua pria dewasa di ruangan tersebut. Lalu ia dengar Dhaka berkata, "Lakukan apa pun untuk menyembuhkan putri kami, Dok."

Dokter bernama Farhan itu mengangguk singkat sebelum pamit keluar. Di saat yang sama, Kayla mengumpulkan keberaniannya agar dapat membalas pandangan sang ayah. Apa ia baru saja mendengar sebuah pengakuan bahwa gadis itu adalah putri laki-laki bernama belakang Julian tersebut? Rasanya ada ketenangan mengalir di dalam nadinya. Namun, tak bertahan lama tatkala ia kembali sadar tempatnya berada saat ini.

"Kayla akan baik-baik aja, Na, aku janji," ungkap pria tersebut sebelum berlalu menyusul langkah sang dokter. 


Depok, 5 Mei 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang