DUA PULUH ENAM

13 1 0
                                    

"La!"

Brian menghambur ke dekat Kayla begitu gadis itu dipindahkan dari tandu ke ranjang portable. Gadis tersebut meringis kesakitan. Wajahnya menengadah dengan butir-butir keringat memenuhi dahi. Hingga seorang dokter datang dan meminta pemuda itu keluar.

Brian menunggu cemas. Beberapa saat kemudian, bangku di sisinya berderak. Gita duduk di sana sembari bermain ponsel. Kontras sekali dengan keadaan Brian yang sejak tadi mengusap rambut belakangnya tak sabaran.

Sesekali Gita melarikan netranya ke arah pemuda itu dan mendengus pelan.

Tak lama, seorang dokter dan perawat yang memeriksa keadaan Kayla keluar. Tanpa pikir panjang, Brian melesat ke dalam. Dilihatnya sang sahabat terbaring dengan mata memandang kosong langit-langit ruangan berbau obat tersebut.

"Lo baik-baik aja, La?" tanyanya.

Brian mendudukkan diri di pembaringan Kayla. Satu tangannya terulur, meraih satu tangan gadis itu yang kali ini terasa dingin, kemudian menangkupnya.

"AGT menang. Nggak ada hal yang lebih baik dari itu. So, I'm fine."

Pemuda berkaus putih itu membentuk sabit di atas dagu lancipnya dan berkata, "Ya, dan bagian terbaiknya, bokap lo ada di sini buat dukung elo, La."

"Apa?"

Kayla refleks menegakkan tubuhnya dengan kedua tangan sebagai tumpuan. Brian melihat kobaran api dalam sorot mata gadis yang disukainya itu. Pemuda tersebut menghela napas panjang, ia tahu sahabatnya tidak pernah suka keputusan sepihaknya, tapi Brian melakukan ini demi kebahagiaan mereka. Ia yakin dengan kedatangan ayah Kayla di hari pentingnya akan mengubah sedikit demi sedikit keraguan gadis itu. Namun, yang Brian tidak tahu, kedatangan Dhaka justru membuat sisa hati Kayla dicabik-cabik.

"Kenapa lo lakuin itu, Val?" lirihnya tak percaya.

"Karna bokap lo punya niat baik. Bokap lo mau tebus kesalahannya ke elo. Apa itu salah?"

Gadis berambut sebahu tersebut mendengkus. Wajahnya ia hadapkan tepat di depan milik Brian, menantang manik mata itu dengan segala kehancuran yang dirasainya. "Yakin cuma itu? Gue kenal elo, Val, ada harga yang harus dibayar buat setiap kebaikan yang lo kasih buat gue. Apa yang lo minta sekarang?"

Tubuh Brian menegang. Ia mundur, lantas menjatuhkan diri di kursi terdekat, membentang jarak bagi mereka berdua. Brian menundukkan kepalanya dalam, lalu sayup-sayup ia berujar, "Gue mau hubungan kita lebih dari ini." Ia menengadah. "Gue mau kita pacaran, La. Dan semua itu nggak bisa terwujud kalau lo nggak percaya cinta bokap lo buat elo, buat nyokap lo. Jadi gue setuju saat Tante Ratna bilang minta alamat pertandingan lo hari ini supaya bokap lo datang."

"Apa lo tau, Val, bokap gue memang datang. Tapi dia nggak datang buat dukung perjuangan gue. Dia datang buat lihat kalau gue bukan anak yang bisa dia banggain. Dia datang buat dapat pengakuan kalau alasan dia ninggalin gue dulu udah benar. Dia pergi saat gue jatuh." Tanpa sadar, setitik kristal bening meluncur dari pelupuk mata gadis itu. "Perasaan itu nggak nyata, Val. Dan gue rasa, kita nggak akan siap buat nerusin apa pun yang lagi kita hadapi sekarang. Pergi, Val."

"La!" Brian bangkit seraya memandang tak percaya sahabatnya itu.

"Gue bilang, pergi, Val! Pergi!"

Kayla merapatkan matanya. Ia kecewa, sangat kecewa. Brian telah merusak kepercayaan terakhir yang ia titipkan. Brian tidak pernah mengerti dukanya.

Di saat yang sama, Gita menerobos masuk begitu mendengar rekannya menjerit. Ia menarik paksa Brian hingga pemuda itu keluar dari unit kesehatan tempat Kayla diperiksa.

"Mending lo pergi aja, deh," tandasnya.

"Tapi ...." Brian melongok ke balik bahu gadis di depannya tak terima.

Namun, begitu Gita melemparkan tatapan tajamnya, pemuda itu melangkah mundur meski tak rela.

Setelah langkah Brian benar-benar menjauh, Gita berpaling pada Kayla kedua tangan terkepal dan rahang mengeras.

***

Kayla mengaduk-aduk makanan di piringnya tak nafsu. Terhitung sudah tiga hari Ratna melihat putrinya seperti ini. Sejak pulang dari pertandingan basket hari Kamis lalu, Kayla jadi lebih pendiam. Gadis itu tak menceritakan pertandingannya, pun hasil memuaskan yang berhasil ia bawa pulang. Seolah-olah semua itu tak sesuai dengan harapannya.

Ratna tahu ada sesuatu yang tak beres. Mungkin saja putrinya tengah memikirkan ayahnya, mengingat pria itu datang di hari pertandingan Kayla. Ratna ingin tahu, tapi wanita itu tidak bisa memaksa putrinya atau pun mantan suaminya tersebut bercerita. Dhaka tengah sibuk dengan pekerjaannya, sementara Kayla jelas tidak ingin diganggu.

"Hari ini naik taksi aja, ya!" pinta Ratna, masih khawatir dengan keadaan kaki putrinya yang sempat membengkak pasca pertandingan.

Kayla mengangguk pasrah, tampak sekali jika ia tidak sedang ingin berdebat.

Keduanya melangkah keluar dari rumah mungil itu bersama-sama. Ratna mengantar Kayla ke sekolah lebih dulu sebelum wanita itu membuka salonnya.

"Nanti kalau mau pulang, kamu minta tolong Val buat anterin."

Belum sempat Ratna menyelesaikan kalimatnya, Kayla menyela, "Aku nanti nebeng Gita aja. Balik sekolah kita mau adain review dulu."

Gadis itu meraih tangan kanan sang ibu dan menciumnya. "Mama hati-hati di jalan, ya!"

Kayla melangkah pelan melewi gerbang utama. Jam dinding raksasa di lobi menunjukkan angka 06.40. Sudah cukup ramai hingga gadis itu dapat merasakan tatapan orang-orang mengarah padanya.

Butuh waktu sekitar sepuluh menit bagi Kayla untuk sampai di kelas. Tangannya menarik tisu dari dalam tas, lalu mengusapkannya di sekitar dahi. Rupanya naik tangga ke lantai tiga cukup menimbulkan rasa nyeri pada lutut kanan—juga ketakutan di benaknya.

Sibuk dengan rasa sakitnya, Kayla sampai tak sadar jika sejak tadi seseorang mengikuti langkahnya. Seseorang itu berhenti tepat di kursi depan Kayla.

"Kok lo masuk sekolah?" Suara bariton itu mengalun di penjuru ruangan.

Kayla mendongak pelan. Dia dihadapkan pada wajah berahang kokoh yang untuk seminggu lebih sempat tak ia lihat lagi.

Sega—pemuda itu—duduk mengangkang sambil tangannya terlipat di atas kepala kursi. "Lo harusnya istirahat di rumah, bukannya berangkat dengan kondisi kaki kayak gini." Ia menghakimi.

"Gue bisa jalan sendiri," gumam Kayla membela diri.

Pemuda itu mendengus keras. Kepalanya menoleh ke kanan, menatap rimbunnya dedaunan pohon beringin di samping sekolah yang bergoyang pelan. Sesaat keduanya sama-sama terdiam. Gadis itu sendiri mulai menekuni buku geografi di mejanya, enggan ambil pusing terhadap kehadiran Sega.

Kayla sempat berpikir Sega akan segera pergi, tapi ternyata ia salah. Pemuda itu masih duduk di sana, mengamati gadis berkucir kuda tersebut di bawah komorebi.

"Kenapa lo masih di sini?" Satu pertanyaan itu pada akhirnya dilontarkan. Ketenangan Kayla terusik.

Sega mengalihkan tatapan dari ponsel keluaran salah satu merk ternama. Tatapan matanya tenang, pun dengan bibirnya yang masih dalam keadaan statis. "Cuma mau mastiin keadaan aman."

Kedua alis Kayla menyatu. Namun sebelum gadis itu sempat berkomentar, Sega sudah lebih dulu bangkit seraya berkata, "Jangan dengerin apa kata orang tentang diri lo. Lo lebih berharga dari itu semua."


Depok, 17 April 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang