Sega memandang ayahnya intens, menuntut jawaban. Sejak beberapa menit lalu, permintaan pemuda tujuh belas tahun itu sama sekali tak digubris Dhaka. Padahal biasanya ayahnya sangat antusias ketika mereka mulai membicarakan Ratna dan Kayla.
Memang, sejak putrinya keluar dari rumah sakit dan Ratna menemuinya, Dhaka tak pernah lagi datang ke rumah mereka. Pria itu menyayangi dua wanita beda usia tersebut, tapi jika kehadirannya membuat Kayla semakin terluka, Dhaka memilih menjaga jaraknya. Sama seperti permintaan Ratna.
"Papa udah janji sama Bunda."
Dhaka mendongak kaget. Mata lelahnya menatap sendu sang putra. "Sega." Pria itu bangkit kemudian melenggang pelan ke sisi sofa yang Sega tempati. "Kebahagiaan mereka bukan papa."
Sega mendengus keras. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri. "Aku rasa, Papa cuma nggak kenal siapa putri Papa yang sebenarnya. Papa nggak tau apa yang Kayla butuh. Kalau pun pendapat Papa bener, terus buat apa Kayla minta Papa datang saat ia terapi kemarin?" Ia tersenyum miring sebelum berlalu meninggalkan Dhaka termenung di dalam ruangannya.
Dhaka merebahkan kepalanya di sofa yang ia tempati sembari memijit pelipisnya pelan. Sega benar, ia memang tidak tahu apa pun tentang putrinya. Waktu sudah membuat mereka terlalu jauh. Jangankan kenal, keberadaan mereka saja Naomi yang memberitahunya. Istri pertamanya itu yang mengumpulkan semua informasi tentang Kayla. Wanita itu pernah berinisiatif memberi tahu semua hal tentang putri sang suami, tapi Dhaka menolaknya. Pria itu selalu berdalih, ia lebih mengenal putrinya dibanding siapa pun juga. Memang benar, tapi kenyataan tersebut berlaku sebelas tahun lalu. Tidak saat ini.
Seharian itu, kalimat Sega terngiang-ngiang di benaknya. Dhaka berjalan ke sisi jendela kaca, sebelum menyampirkan tangannya di salah satu kosen berwarna hitam. Netranya menerawang ke angkasa yang telah menunjukkan semburat jingga, warna yang mengingatkannya pada sosok Kayla. Pria dua anak tersebut tidak tahu apakah putrinya memang menyukai warna oranye, atau hanya sekedar kebetulan gadis itu memiliki beberapa benda berwarna cerah seperti itu.
Apa pun yang terjadi, Dhaka adalah ayah kandungnya. Ia yang bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya. Terlebih lagi kondisi Kayla saat ini tidak begitu baik. Seharusnya pria itu tidak menyerah. Toh, kemarin putrinya itu tidak bersikap seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin Sega benar, Kayla membutuhkannya. Gadis itu hanya tak bisa mengatakan kebenarannya. Dhaka hanya perlu meminta maaf. Ya, pria itu belum melakukannya.
Menilik jam yang tergantung di dinding depan meja kerjanya, Dhaka buru-buru mengemasi laptop dan beberapa kertas yang baru saja ia periksa, kemudian melangkah lebar keluar ruangan. Namun sebelum pulang, ia sempat memberitahu sekretarisnya untuk mengambil kertas tadi dan menyerahkannya ke divisi keuangan. Florence yang terkejut dengan tindakan direkturnya tersebut, hanya bisa mengiyakannya saja, meski ia tahu Dhaka hampir tak pernah meninggalkan kantor lebih awal.
Sambil berjalan menyusuri basemen, Dhaka menelepon putranya dan bertanya apakah pemuda itu tahu apa yang Kayla suka. Ia berniat membeli kue sebagai buah tangan. Setelah mendapat jawaban atas pertanyaannya, pria berkemeja navy itu melanjukan mobil asal Jerman miliknya ke sebuah toko kue terkenal di Jakarta. Beruntung, toko itu pun menyediakan varian rasa matcha yang putrinya suka.
Dhaka sampai di rumah setengah jam kemudian. Senyum di wajahnya tampak cerah ketika pria itu melewati pintu seraya menenteng dua tas bakery yang Sega kenal.
"Nanti malam kita ke rumah Ratna." Dhaka menyerahkan satu tas tadi pada putranya. "Yang ini buat kamu," katanya kemudian berlalu.
***
Kayla melongokkan kepalanya ke arah pintu rumah yang tertutup rapat. Gadis itu bangkit dari rebahnya sembari mengecek layar ponsel yang masih menampilkan pesannya dengan sang ibu. Ratna bilang ia sedang berada di salah satu rumah makan, membeli lauk beserta sayurnya untuk menu makan malam mereka karena wanita itu tak sempat memasak. Meskipun begitu, gadis yang saat ini masih dalam masa penyembuhan tersebut tetap melangkah pelan ke bagian depan rumahnya. Ia membuka sedikit gorden dan menemukan Dhaka berdiri di sana.
Kayla menutup tirai ungu muda itu serampangan. Jantungnya berderap. Ia ragu, apakah ia harus mempersilakan ayahnya masuk atau membiarkannya berada di luar sampai pria itu meninggalkan rumahnya. Namun, jika ia buka, apa yang harus ia katakan?
Sibuk dengan berbagai skenario di kepalanya, sebuah ketukan kembali terdengar—kali ini disertai panggilan lembut yang dahulu menjadi lagu pengantar tidurnya. Kayla merindukannya, tapi nyalinya juga menciut ketika sadar bahwa ia tak pantas menyandang status sebagai putri laki-laki hebat seperti ayahnya.
Gadis itu mengembuskan napas berat, hampir berbalik menjauhi pintu, ketika nasihat Leon menyeruak ke dalam otaknya.
"Kalau bukan sekarang, terus kapan, Mik? Apa lo mau nunggu sampai keadaan lo sama kayak Windi? Lo harus tetep minta maaf. Meskipun bukan untuk kembali, seenggaknya lo nggak jadi orang yang akan lo benci suatu saat nanti."
Memandang kembali pintu berwarna putih tersebut, langkah Kayla merangsek maju. Ia mengulurkan tangannya, memutar anak kunci dengan bandul matahari hingga kayu berbentuk persegi panjang itu terbuka.
"Kayla." Gadis itu tak menyahut. Dhaka yang mengerti keengganan putrinya, lantas kembali bersuara, "Mama kamu ada?"
Kali ini Kayla bersuara lirih, "Mama belum pulang."
Senyum yang sempat tersemat di paras Dhaka memudar. Pria itu membuka mulutnya, lalu mengatupkannya kembali. Hingga beberapa detik kemudian, ia berujar, "Ya sudah kalau begitu. Ini untuk kamu. Papa pamit."
Kayla menerima bingkisan itu dan menengok isinya. Ketika wajahnya terangkat, Dhaka sudah berbalik sekitar tiga meter di hadapannya. Lalu tanpa aba-aba, gadis itu berkata, "Kay minta maaf."
Dhaka berpaling, terkejut. Ditatapnya sang putri yang kini sudah meletakkan kue pemberiannya di kursi depan rumah, lantas menatap pria itu dengan wajah memerah.
"Kay minta maaf karna udah bentak Papa, udah ngomong kasar, udah bikin Papa sakit hati. Kay minta maaf." Setetes cairan bening meluncur di pipi kirinya. Matanya terpejam sepersekian detik, sebelum kembali menantang manik cokelat di depannya. "Kay kangen sama Papa. Kangen banget. Kay cuma marah, kenapa Papa ninggalin Kay gitu aja."
Kalimat panjang itu seperti panah yang mengenai ulu hati Dhaka. Pria itu memandang putrinya yang masih terisak di ambang pintu. Tungkainya bergerak ke depan hingga tubuh tingginya hanya berjarak beberapa senti dari Kayla. Ia merentangkan tangan, melingkupi tubuh bergetar putrinya ke dalam pelukan.
"Papa di sini. Papa minta maaf sama Kayla karna tepati janji. Papa nggak ninggalin kamu, malaikatnya papa."
Di sisi lain, dua orang yang sejak tadi menyaksikan kejadian tersebut dari dalam mobil di seberang pagar rumah, saling melempar senyum haru.
"Rencananya berhasil, Ma."
Depok, 12 Juni 2021

KAMU SEDANG MEMBACA
What Happened to Perfect
Novela Juvenil[END] Bahagia versi Sega adalah memiliki kasih sayang kedua orangtuanya serta seorang adik penurut. Bahagia versi Kayla adalah hidup bersama keluarganya dengan keadaan apa pun. Sega dan Kayla, kakak beradik beda ibu yang tumbuh dalam keluarga berb...