TIGA PULUH SATU

14 1 0
                                    

"Sementara ini, Kayla hanya perlu rutin melakukan terapi fisik untuk mengembalikan fungsi lututnya." Dokter Farhan memberikan secarik kertas pada Ratna sebelum tatapannya tertambat pada Kayla, "Namun, selama menjalani terapi, pasien tidak dianjurkan bermain basket."

Kayla mengamati kaki kanannya yang kini sudah dipasang penyangga. Bibirnya melengkung pedih. Sebuah usapan lembut ia rasakan di punggungnya. Ratna memeluk tubuhnya dari samping, memberinya keyakinan bahwa ia akan sembuh.

Tadi pagi, hasil tes MRI-nya keluar. Hasilnya? Kayla bahkan hampir lupa caranya bernapas saat ia dinyatakan mengalami cedera ligamen lutut anterior tingkat satu. Salah satu assetnya untuk bisa terus bermain basket benar-benar mengalami masalah. Penyangga lutut, obat, dan terapi—Kayla tidak bisa membayangkan hidup seperti ini. Ia harusnya membanggakan Ratna, tapi yang terjadi sekarang justru ia membuat sang ibu khawatir. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk kesembuhannya. Bagaimana cara mereka membayar semuanya?

"Papa kamu nawarin buat biayain semuanya, Kay," kata Ratna setelah Dokter Farhan meninggalkan ruangan bercat kuning pucat tersebut.

"Apa yang dia mau dari aku?"

"Kamu ini ngomong apa, Kayla?" Suara ibu satu anak itu naik satu oktaf. Ratna beranjak ke arah jendela. Ia menatap langit biru di luar, sebelum menjatuhkan pandangan kelamnya pada wajah sang putri.

Kelihatannya Kayla punya kesempatan. Kelihatannya mereka punya masa depan bersama lagi. Rindu di hati gadis itu berkata demikian. Ia mengakuinya, tapi dia juga sadar bahwa ia hanya memiliki ayahnya di dalam mimpi. Dia terlalu takut untuk menggapainya. Dia terlalu takut untuk menerima kenyataan bahwa suatu hari nanti, pria itu akan sadar bahwa putrinya tidak bisa dibanggakan. Dia akan melihat Kayla sejenak, kemudian kembali pergi.

"Mama yang bilang Papa pergi. Aku nggak mau percaya, Ma, tapi surat dari Oma buat Mama yang nyadarin aku kalau aku adalah alasan Papa pergi. Kalian mau seorang putra, anak yang bisa jadi penerus keluarga, tapi aku ....," Kayla menyusut genangan di kedua wajahnya, "aku cuma seorang putri yang nggak berguna. Jadi, kalau Papa datang dan kasih bantuan, pasti ada alasannya, iya, 'kan?"

Kekecewaan yang sempat membumbung tinggi di manik Ratna perlahan memudar, tergantikan kepedihan mendalam. Selama ini, ia menyembunyikan fakta tentang kehancuran pernikahannya untuk melindungi sang putri. Ia tidak tahu jika Kayla sudah lebih dulu mengetahui segalanya tanpa bisa Ratna cegah kehancurannya. Wanita itu gagal menyelamatkan malaikat kecilnya.

"Selama ini Mama dapat perlakuan buruk karena aku, tapi Mama nggak pernah ngeluh. Kali ini aja, biarin aku kasih kebahagiaan buat Mama. Aku mau jadi seseorang yang bisa Mama banggain tanpa Mama khawatir akan hilang. Tolong, Ma, aku cuma punya satu harapan yang buat aku tetap bertahan sampai sekarang."

Air mata Ratna meluncur cepat. Selama ini yang wanita itu lihat adalah ambisi berbalut dendam dari dalam jiwa sang putri, ia tidak melihat bahwa di balik semua itu terselip setitik harap yang mungkin saja redup jika Kayla menyerah. Namun, alih-alih menyerah, Kayla justru melakukan segala cara agar harapan itu semakin terang. Ratna tidak melihatnya dan justru mendesak anak tunggalnya itu untuk berubah seperti gadis-gadis pada umumnya.

Kayla anak yang istimewa, lebih dari itu, Ratna menyayanginya melebihi apa pun di dunia ini. Wanita itu pernah kehilangan Dhaka, ia sudah tahu rasanya, tapi bagaimana jika Kayla yang menghilang dari hidupnya? Bagaimana jika seandainya saja saat itu putrinya memilih mengakhiri hidup seperti kebanyakan anak yang tersesat?

Tungkai Ratna mendekat ke sisi ranjang. Ia menangkap dagu Kayla dengan jari-jari tangan kanannya sebelum tangan itu beralih mendekap kepala sang putri di dadanya. Dalam pelukan tersebut, tangis Kayla pecah. Untuk pertama kalinya sejak mereka pindah ke Jakarta, Ratna merasakan perih yang tak terkira. Perih yang membuat afeksinya berubah arah.

Sementara itu, tanpa diketahui keduanya, seorang pemuda ikut menitikkan air mata di balik pintu yang sedikit terbuka.

***

"Kenapa lo ke sini?" tanya Kayla begitu Brian duduk di samping ranjangnya. Pemuda itu masih mengenakan seragam batik abu-abu lengkap dengan jaket parasit tersampir di lengan.

Bukannya menjawab, Brian justru menyorongkan satu bungkus coklat ke tangan gadis itu. "Gimana keadaan lo, La?"

"Lo nggak jawab pertanyaan gue, Val," sahut Kayla ketus.

Pemuda itu tersenyum paksa. "Apa yang terjadi sama kita, La?"

Tanpa sadar, manik keduanya bersinggungan. Brian meraih satu tangan gadis di hadapannya, meregangkannya, lalu mengisi sela-sela tersebut dengan kelima jemarinya. "Dulu, hubungan kita kayak gini, La. Tanpa celah, saling melengkapi. Kita selalu di sana untuk satu sama lain, apa lo inget?"

Refleks, Kayla menarik tangannya kembali. Pemuda itu hanya menatapnya dengan mata memerah. Brian menggantungkan tangan kanannya di udara hingga orang yang disukainya dapat melihat perbedaannya dengan jelas. "Sekarang kita kayak gini. Lo menjauh saat gue berusaha meraih lo lebih dekat lagi."

"Gue udah bilang perjanjian kita batal, Val." Kayla menyuarakan protesnya.

"Justru itu, kita nggak lagi terikat perjanjian konyol. Mikayla, gue sayang sama lo melebihi seorang partner, gue jatuh cinta sama lo. Kasih kesempatan buat perasaan kita berkembang, La. Dan gue yakin lo juga akan percaya," papar Brian.

Kayla menggeleng keras. "Nggak, Val!"

"We're not a child anymore," jelasnya yang sama sekali tidak Kayla pahami, "setelah apa yang kita lewati bersama, apa lo nggak pernah berpikir bahwa hubungan kita lebih dari sebuah perjanjian? Kita udah cukup dewasa untuk ngerti masalah. Kita udah cukup dewasa untuk ngerti bahwa hidup itu tentang berjuang."

"Perasaan lo nggak nyata, Val. Kita tau dari awal kalau cinta hanya omong kosong. Dan lo liat keadaan gue sekarang! Lo nggak bisa bertahan dengan keadaan gue, Val. Lo nggak akan bisa lepasin semua hal yang lo punya buat gue," sanggah gadis itu.

"Tapi, bokap lo udah balik, La. Dia kembali untuk lo dan Tante Ratna. Apa pun yang udah dia lakuin di masa lalu, lo punya kesempatan buat dapetin apa yang lo mau."

"Lo nggak pernah paham, Val. Jadi mendingan lo pergi, jauhin gue selagi lo masih punya kesempatan."

Gadis tersebut tidak ingin Brian berusaha untuk memiliki hatinya. Jalan yang mereka lalui tidaklah mudah. Berkali-kali Kayla hampir jatuh, sebelum perjanjian mereka menarik gadis itu kembali. Selama ini Kayla sudah menebalkan wajahnya, melawan dunia Brian yang tak pernah selaras dengan miliknya. Namun, mulai saat ini, ia tidak bisa lagi melakukannya. Ia terlalu hancur untuk berdiri sejajar dengan pemuda tersebut.

Hening menyergap dua anak manusia tersebut. Brian menatapnya penuh luka. "Apa yang terjadi sama kita, La?" 


Depok, 19 Mei 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang