DUA PULUH EMPAT

12 1 0
                                    

"Aku bisa balik sendiri, kamu tenang aja, Le," tolak Windi ketika Leon ingin menggendong kekasihnya itu sampai rumah.

Netranya melirik wajah sang kapten ABT yang terlihat frustrasi menghadapi kekeras kepalaan gadis yang saat ini berusaha lepas dari pelukannya. Kayla berdecak pelan, ia sadar jika mungkin saja Windi merasa tak enak hati dengan kehadirannya. Terlebih saat ia ingat pernah menyematkan predikat manja pada gadis tersebut ketika melihat kedekatannya dengan Leon setiap pemuda itu melibatkannya di setiap latihan mereka. Namun, jika keadaannya sudah seperti ini, apa pantas Windi masih memikirkan pendapatnya?

Kayla bangkit. Gadis itu membersihkan tangannya dengan tisu basah yang selalu ia bawa saat latihan, kemudian mengulurkan tangannya ke arah Windi. "Ayo, gue anter balik!"

Baik Windi maupun Leon melempar pandangan tak percaya. Windi masih memandanginya ketika si kekasih menyetujui usulan tersebut. Selang beberapa detik dalam kebisuan, gadis berwajah pucat itu akhirnya meraih uluran tangan temannya.

Kayla menarik tubuh Windi hati-hati. Ia merangkul bahu Windi ketika mereka berjalan beriringan, sedangkan Leon mengambil posisi tepat di sampingnya tanpa melakukan apa pun. Pemuda itu paham alasan sang gadis menolak perhatiannya. Diam-diam manik cokelat gelapnya melirik Kayla dengan sepercik harapan menggebu.

Ketiganya melenggang bersama desing angin yang perlahan mengantarkan mereka pada dua persepsi berbeda—persepsi yang jika saja terungkap akan memperumit keadaan.

Beberapa menit berlalu, mereka akhirnya sampai di depan rumah berlantai dua dengan halaman luas penuh tumbuhan. Windi merogoh saku celananya, mengeluarkan benda logam dari sana untuk membuka pintu berwarna hitam di hadapan mereka.

"Kok sepi, Win?" tanya Leon ketika ketiganya sampai di ruang tamu rumah itu.

Surai hitam Windi bergerak ke kanan dan kiri. "Mereka lagi di acara nikahan sepupu. Kalau Si Mbak lagi izin tiga hari buat pulang kampung." Gadis itu mengistirahatkan tubuhnya di sofa panjang dan memandang dua anggota basket Alamda tersebut, lalu melanjutkan, "Aku nggak apa-apa, kalian pulang aja."

Rahang Leon mengeras, tak setuju dengan pemikiran itu. Kondisi Windi sedang tidak fit, bagaimana jika terjadi sesuatu padanya saat tak ada seorang pun di rumah? Pemuda itu tak akan bisa memaafkan dirinya. Ia mengarahkan pandangannya ke kanan di mana Kayla sibuk dengan ponsel di genggamannya.

"Mik, bisa minta tolong temenin Windi dulu sampai Om sama Tante balik?" pintanya yang sontak mendapat dua kilat dari dua gadis di ruang bernuansa monokrom.

"Le, nggak perlu, Mika pasti juga punya urusan." Windi mencegah.

Namun, sebuah gelengan tegas dihadiahkan Leon padanya. "Aku tau kamu kuat, tapi aku nggak mau ambil risiko." Fokusnya berpindah pada Kayla yang memandangnya dengan ekspresi aneh. "Apa lo keberatan, Mik?"

Kayla menyipitkan indra penglihatannya pada pemuda itu. Windi bisa melihat keengganan dalam tatapannya. Ia membuka mulut, hampir menyuarakan ketidaksetujuannya saat nada tegas gadis berambut pendek itu mengalun. "Oke."

Sabit di roman Leon terbit. Tak lama, pemuda itu pamit, meninggalkan dua gadis beda karakter itu dalam satu ruangan. Kayla berinisiatif mengunci pintu sebelum ikut mendudukkan dirinya sedikit jauh dari tempat Windi dan kembali menyibukkan diri dengan gawainya.

"Kamu mau minum apa, Mik? Biar aku ambilin," tawar sang tuan rumah.

Refleks Kayla menegakkan tubuhnya sembari berkata lantang, "Nggak usah, lo tuh kan ...." Ia mengatupkan mulutnya tiba-tiba.

Windi mengulas senyum maklum. Ia paham maksud Kayla. Ia juga tak menyalahkan pemikiran gamblang tersebut. Sebaliknya, Windi justru merasakan setitik perhatian Kayla padanya. Baginya, dibalik semua sikap keras gadis AGT itu, ia tulus pada orang-orang di sekitarnya. Sejauh Windi mengenal Kayla, gadis itu tak pernah membedakan satu orang dengan lainnya seperti gadis kebanyakan yang memilih kawanannya masing-masing.

Mendung tiba-tiba saja melingkupi perasaan Windi. Ia ingat dirinya dan teman-temannya, orang-orang yang selalu menggemborkan eksistensi. Lalu, saat dunianya hancur, semua hal indah yang pernah ia miliki hanya bernama kenangan.

"Kalau lo nggak enak badan, mending istirahat aja, Win." Kayla berujar setelah mematikan ponselnya. Gadis itu menatap Windi di balik riak tenangnya.

Kesadaran Windi berangsur kembali. Dia memandangi Kayla dengan pandangan yang mulai sayu. Ia mengerling sebelum berusaha berdiri tegak. Namun, belum genap tubuhnya bangkit, gadis itu hampir saja limbung jika Kayla tidak menangkap pundaknya.

"Di mana kamar lo?"

Gadis dengan nama belakang Fabian menyahut, "Pintu dekat tangga, lewat ruang keluarga."

Kayla menuntun langkah mereka pelan. Tak sulit menemukan ruangan itu berkat papan nama yang tergantung di pintunya. Gadis tersebut menyandarkan badan Windi di atas pembaringan.

Namun, tindakan Windi berikutnya berhasil menyita seluruh perhatiannya ke arah gadis itu. Ia masih bisa membaca label obat yang ditelan temannya—meningitis.

Sementara itu, di tempat lain, Sega memutar-mutar ponselnya tatkala pemuda itu duduk di teras rumah bergaya Eropa. Kepalanya tertunduk dalam. Di sampingnya, tepat di atas meja besi berwarna putih itu, dua buah cup es krim tergeletak tak berdaya sejak hampir lima belas menit lalu.

Pintu ganda di dekatnya berderit terbuka, lalu seorang gadis bergaun merah bata muncul dari baliknya. Kepala gadis itu terangkat tinggi. Kedua tangannya saling bertumpu di atas perut. Kaki jenjangnya berhenti tepat di depan Sega.

"Ada urusan apa lo ke sini?" katanya ketus.

Pemuda berjaket biru itu berdiri di depan si gadis hingga mereka saling berhadapan. Ia meraih kedua tangan pemilik rumah secara paksa, meminta semua atensinya.

"Aku minta maaf kalau aku nggak dengerin kamu waktu itu. Aku nggak mau hubungan kita jadi buruk lagi, Git."

Gita, gadis itu, mendengus keras. Ia berbalik lalu duduk di kursi satunya. "Lo mau apa juga itu hak lo, nggak ada hubungannya sama gue."

"Ada, Git, ada." Sega bertelut di depannya. "Aku ngedeketin kamu bukan cuma karena Kayla, tapi karena aku juga mau perbaiki hubungan kita. Aku mau dengar suara kamu setiap hari, aku mau tau hari kamu, aku mau tau semuanya tentang kamu juga Kayla. Kalian penting buat aku."

Gita bergeming. Pemuda itu melanjutkan, "Kasih aku kesempatan lagi, Git. Kasih tau aku, apa yang harus aku lakuin supaya semuanya berhasil buat kita."

Rambut cokelat Gita bergerak sejurus pandangannya yang kembali mengarah pada mantan kekasihnya semasa SMP itu. Ia melihat kesungguhan di wajah Sega. Batinnya berperang, antara percaya dan tidak. Ia cukup mengenal pemuda tersebut dulu. Bukan sekali mereka terlibat pertengkaran. Ujung-ujungnya, Sega berhasil meluluhkan afeksinya, meski setelahnya pemuda itu melakukan kesalahan yang lain.

Namun, apa Sega yang sekarang dan dulu berbeda? Apa pemuda yang dulu berhasil mencuri hatinya itu akan kembali melepaskannya saat masalah tak dapat mereka elak lagi? Gita tidak ingin memikirkan masalah seperti ini ketika ada hal yang jauh lebih penting untuk diselesaikan.

Setelah bergumul dengan pikirannya, Gita mengangguk setuju. "Oke, tapi ada syaratnya." 


Depok, 10 April 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang