TIGA PULUH ENAM

12 0 0
                                    

Sudah hampir setengah jam lamanya kelopak mata Kayla menoleh ke kiri dan kanan. Hatinya tengah berharap seseorang yang ditunggunya benar-benar muncul seperti balasan pesan yang terkirim ke ponsel sang ibu kemarin. Namun, sampai seorang suster memanggil namanya untuk masuk ke ruang yang ditunjuk, Dhaka sama sekali belum terlihat batang hidungnya.

"Mungkin papa kejebak macet, Sayang. Kita masuk, ya!" pinta Ratna, membantu putrinya bangkit.

Kayla mengembuskan napas dalam. Ia menggigit bibirnya, memaksa mulutnya tetap tertutup agar Ratna tidak mendengar jeritan di dalam dirinya. Tidakkah ibunya ingat pernah mengatakan hal serupa dahulu? Apa ini akan terjadi lagi? Kayla tidak tahu jawabannya, tapi jika jawabannya adalah 'iya', ia sudah lebih siap sekarang. Anggap saja ini konsekuensi atas sikapnya pada sang ayah kemarin.

Pemeriksaan Kayla hari itu berjalan lancar. Setelah melakukan serangkaian tes fisik, dokter mengatakan kondisi lututnya semakin membaik. Bahkan saat ini gipsum yang menopang kaki kanannya sudah dilepaskan. Meskipun begitu, gadis tomboi tersebut masih tak diperbolehkan bermain basket sampai kakinya benar-benar pulih.

"Dengar apa kata dokter tadi, kamu nggak boleh main basket dulu kalau mau sembuh." Ratna kembali mengingatkan putrinya tatkala kedua wanita beda generasi tersebut menyusuri lorong rumah sakit.

"Iya, mamaku yang cantik." Gadis itu tersenyum lebar.

Ratna merangkulkan lengannya di balik punggung Kayla gemas. Ia senang melihat malaikat kecilnya kembali dengan versi yang lebih baik. Keduanya tertawa sepanjang jalan, membicarakan hal-hal kecil yang sempat terlewati begitu saja. Saking asyiknya, mereka sama sekali tak menyadari jika ada mobil sedan mengikuti langkah mereka sejak di lobi sampai pintu keluar. Ratna yang pertama sadar ketika pintu belakang mobil hitam tersebut terbuka, menampilkan pemiliknya.

"Ratna! Kayla!"

Sebuah sabit tampak di wajah persegi Kayla. Mulutnya sudah setengah terbuka, sampai seorang wanita yang ia taksir berumur akhir dua puluhan ikut turun dari mobil tersebut. Wanita itu berdiri di sisi Dhaka. Bibirnya yang dipoles lipstik berwarna wine melengkung terlalu lebar, tampak angkuh di kedua manik Kayla. Tanpa sadar, gadis yang masih berstatus siswi Alamanda itu menggenggam tangan ibunya erat.

"Maaf aku baru datang. Terapinya udah selesai?" tanya Dhaka basa-basi.

Ratna berpaling sejenak pada Kayla, sebelum bertutur, "Nggak apa-apa, semuanya lancar. Gip-nya juga udah dilepas."

Refleks, netra Dhaka bergulir ke arah kaki putrinya, senyumnya mengembang. "Syukurlah kalau begitu."

"Maaf, Pak, meeting kita selanjutnya dimulai setengah jam lagi." Suara halus nan centil wanita muda tadi melengking.

Dhaka melirik jam di pergelangan tangannya. "Aku antar pulang, ya!" tawar laki-laki itu.

Ratna menggeleng pelan. "Nggak usah, Mas, aku sama Kayla bisa naik taksi. Takutnya kamu telat."

"Apa kata ...."

"Masih ada cukup waktu, lagipula tempatnya searah dari rumah kamu. Kasian Kayla kalau harus jalan sampai depan." Dhaka memotong kalimat wanita di sampingnya itu. Pria tersebut lantas memimpin langkah dan membuka pintu belakang untuk mereka bertiga.

"Oh, iya, ini Florence, sekretaris aku." Dhaka akhirnya memperkenalkan wanita tadi. "Dan, Flo, kamu pasti masih ingat Ratna dan Kayla."

Kayla tidak tahu apa yang wanita bernama Florence itu tahu tentang ia dan ibunya, tapi dari ekspresi wajahnya, Kayla benci apapun pemikiran Florence tentang mereka. Jika saja tangan kanan Dhaka tidak membelai rambutnya yang dikucir kuda, sudah dipastikan gadis tersebut akan melotot—bahkan adu mulut—dengan wanita di kursi depan itu.

Gadis itu menoleh ke sisi kirinya. Otaknya merangkum keseluruhan wajah Dhaka saat ini dan membandingkannya dengan pria yang ada di ruang kecil ingatannya. Ayahnya tidak banyak berubah, hanya saja gurat-gurat lelah sudah menghias parasnya yang selalu tampak berwibawa. Kayla ingin sekali menyentuhnya dan mengatakan bahwa semuanya sudah baik-baik saja. Ia juga hampir mengutarakan permohonan maafnya saat lagi-lagi Florence membuat niat kecilnya sukar dilakukan.

"Pak Ferry sudah sampai tempat, Pak. Seharusnya kita bisa lebih cepat."

Kelopak Kayla terbuka semakin lebar.

"Tidak perlu buru-buru, Flo," ungkap Dhaka. Pandangannya lurus ke depan, menghadap sekretarisnya yang terus menoleh ke belakang.

"Bapak sudah pelajari materi presentasi untuk hari ini?"

Kayla menarik napas dalam. Kepalanya berputar ke kanan, di mana Ratna masih bisa menghadiahi ketenangan terhadap semua orang di mobil itu. Ibunya memang selalu begitu, tapi Kayla juga mengenalnya dengan baik. Apa yang Kayla dan Ratna rasakan adalah sama. Jadi, gadis itu menggeser tubuhnya ke kanan, lalu menyandarkan kepalanya di bahu wanita yang telah membesarkannnya tersebut.

Dhaka menyadari pergerakan itu. Bahkan ia bisa melihat saat Ratna menangkup jari-jari Kayla di lengannya. Pria itu pikir, putrinya belum bisa menerima kehadirannya. Pria itu pikir, Kayla tak senang berada di sisinya. Sementara itu, Florence masih saja berceloteh, membicarakan bisnis dan menanyakan beberapa hal untuk membuat fokus Dhaka teralihkan.

Sekitar sepuluh menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di halaman rumah nomor enam di bilangan Jagakarsa. Dhaka turun lebih dulu. Laki-laki itu mengulurkan tangannya pada Kayla agar putrinya lebih mudah bergerak keluar. Meski canggung, gadis itu mengikuti arahannya.

Sembari menunggu Ratna berjalan memutari bagian belakang mobil, Kayla memberanikan diri berhadapan dengan Dhaka di dekat pagar rumah. Ini kesempatannya. Setelah menarik napas dalam, gadis itu berkata, "Pa, aku ...."

"Pak, maaf, tapi klien sudah menunggu terlalu lama." Florence menginterupsi.

"Iya, Flo, sebentar," sahut Dhaka tegas.

Kedua mata Kayla mengerjap. Gadis itu memandang pria di depannya, lalu sekretarisnya bergantian. "Papa sebaiknya jalan sekarang, nggak usah pikirin aku," ujar Kayla melangkah cepat menuju pintu utama.

Dari arah belakang, Ratna memperingatinya dengan nada naik satu oktaf. Wanita berambut sebahu itu tersenyum canggung dan berkata singkat, "Terima kasih sudah mengantar kami sampai rumah, Mas."

Bahu Dhaka merosot. Namun tak urung, ia pamit, "Tolong jaga Kayla, ya, Na! Aku pergi dulu."

Ratna hanya mengangguk singkat sebelum Dhaka masuk ke dalam mobilnya untuk melanjutkan perjalanan, meninggalkan rumah kecil yang menjadi saksi bisu perjuangan mantan istrinya tersebut. Ratna memandang pedih kepergian Dhaka lalu beralih pada putrinya yang mematung di teras rumah mereka. Wanita tersebut mendekat. Tangannya merogoh kantong di dalam tote bag-nya dan menarik keluar sebuah kunci.

Begitu pintu bercat putih itu terbuka, Kayla buru-buru masuk seraya menundukkan kepalanya. Ia mendudukkan diri di sofa depan TV. Setelah memastikan pintu depan terkunci, Ratna menyusul langkah putrinya.

Di saat itu jugalah, wanita bergaun abu-abu tersebut kembali mendengar kerapuhan melodi malaikatnya. "Saat aku pikir semuanya akan membaik, ternyata kita bener-bener udah jauh dari Papa, ya, Ma."


Depok, 05 Juni 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang