ENAM BELAS

22 3 10
                                    

Setelah kepergian Brian, Kayla menghempaskan diri di sofa sembari meneguk air mineral gelas yang tersedia di atas coffee table. Sebelah tangannya menggapai tombol power kipas angin untuk mengurangi lonjakan suhu yang dihasilkan dari pandangan Brian.

Tak puas hanya dengan satu gelas kecil air, kaki jenjangnya melenggang ke arah dapur. Gadis itu berniat mengambil air dingin dari kulkas ketika sayup-sayup terdengar suara sang ibu dari balik pintu kamar. Ia membuka pintu jati berukir salur tersebut perlahan, berharap kehadirannya tidak mengganggu wanita itu sekarang. Setelah pintu terbuka, selaput jalanya otomatis tertuju pada ranjang besar dengan seprai bermotif tulip putih kesukaan Ratna.

Tungkainya mendekat, tapi ketika suara kesakitan itu semakin intens, Kayla hanya bisa terpaku di sana. Di bawah keremangan, gadis lima belas tahun tersebut bisa melihat guratan kecil di sekitar wajah Ratna. Ibunya mengigau, menyebut nama Kayla dan Dhaka bergantian. Butir-butir keringat nampak di sepanjang tulang pipinya yang semakin menonjol.

Kayla memberanikan diri mengusap peluh itu dengan tisu yang ada di atas nakas. Selesai mengusap, ia meraih tangan Ratna dan merangkumnya di antara miliknya, menyalurkan kehangatan yang direspons alam bawah sadar wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Sementara itu, matanya melirik sebuah foto yang lagi-lagi terpasang di antara lampu tidur dan buku-buku favorit sang ibu. Ada segumpal perasaan asing menyerangnya—sedih, marah, kecewa, serta perasaan-perasaan lain yang tak dapat ia kenali—lagi dan lagi. Seolah semua yang ia lalui tak cukup membuatnya hancur.

Tanpa sadar, Kayla menekan dadanya kala afeksinya tidak lagi bisa menerima serangan tersebut sembari terus menggenggam lengan Ratna. Ia tahu, ibunya menyembunyikan banyak hal agar buah hatinya tidak semakin berduka. Sayangnya, rahasia kecil itu justru membuat Kayla bertanya sepanjang hidup. Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang kemudian membutakan hatinya, hingga ia tak lagi mengenali apa itu cinta dan rasa manis lain.

Sejujurnya, Kayla tak berdaya saat Ratna harus menanggung semua hal tentang hidup mereka. Ia ingin ibunya bahagia, tapi bukan dengan ayahnya lagi—gadis itu yang akan membahagiakannya.

Ketika Ratna akhirnya terlelap tenang, Kayla menempatkan tangan keriput itu di atas pembaringan, lantas menyelimutinya. Wanita itu tidak pernah tahu bahwa putrinya selalu melakukan hal yang sama di malam-malam ketika jiwanya terhempas dalam laut berisi kenangan mereka dahulu. Wanita itu tak pernah tahu, bahwa putrinya yang selalu menampilkan sisi kerasnya masih suka menangis diam-diam di sisinya. Seolah rasa sakit yang Ratna pikul bermigrasi.

Setelah ritualnya selesai, Kayla berjinjit keluar menuju kamarnya. Namun, tak seperti biasa, ketika tubuhnya berada dalam ruang berukuran 2,5x4 meter tersebut, ia mencium wewangian asing. Ini bukan aroma jeruk dari reed diffuser miliknya, raksinya hampir seperti kayu-kayuan lembut.

Kayla mengedarkan pandang ke seisi kamar, menyelisik barang-barang yang tak sebanyak milik Ratna. Hingga kemudian, netranya jatuh pada benda oranye di atas kasur. Gadis itu berkedip beberapa kali. Mungkin saja ia berhalusinasi karena tenggelam dalam ingatan lama di mana perpisahan terjadi. Perpisahan yang juga menggugurkan kesukaannya terhadap salah satu film kartun terkenal. Ia menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri sebelum menyambar piama yang tergantung di belakang pintu. Kayla berlalu untuk membersihkan tubuh juga pikirannya.

Sayangnya, ketika ia kembali ke kamar, benda oranye tadi masih di sana, duduk manis di samping bantalnya. Kayla tertawa miris tatkala tubuhnya merapat ke sana. Winnie—benda oranye itu—tersenyum lebar ke arahnya. Kulitnya bersih dan menguarkan aroma asing yang mengganggu penciuman gadis tesebut.

Kayla bersimpuh di samping tempat tidurnya hingga ia leluasa memandangi boneka beruang tanpa bulu itu. Di depannya, ada sebuah kertas yang meski terlipat rapi tapi tak dapat menyembunyikan tanda usangnya.

Telunjuk dan jempol Kayla menarik kertas tersebut, lantas membukanya.

Untuk Kayla putriku,

20 Desember 2003, tepat lima tahun lalu, kamu hadir di dunia ini untuk melengkapi kisah papa dan Mama-mu ini. Sejujurnya, kami tidak pernah bisa mengungkapkan betapa bahagia rasanya ketika Tuhan memercayakan kamu kepada kami, dua orang yang tidak sempurna.

Papa tahu kamu baru belajar membaca sekarang, tapi papa juga tahu, papa tidak akan bisa menyampaikan rasa sayang dan bangga kepada kamu secara langsung. Papa selalu ingin menemani kamu tumbuh dewasa, Kayla, dan hanya melalui surat ini kamu akan tahu keinginan terbesar papa.

Maaf karena papa pergi. Papa akan selalu merindukan seyuman kamu, nyanyian kamu, juga pelukan tangan mungil kamu di leher papa.

Suatu saat nanti, mungkin satu tahun lagi, saat kamu baca surat ini, papa ingin kamu percaya bahwa apa pun yang terjadi, papa tetap menyayangi kamu dan berharap keadaan akan membaik bagi kita.

Papa yakin, kamu akan tumbuh menjadi gadis favorit banyak orang. Dan saat itu terjadi, papa berharap memiliki kesempatan untuk berdiri di sisi kamu dan menggantikan tahun-tahun kosong kita dengan harapan baru. Selamat ulang tahun, Kayla, kesayangan papa.

Dhaka Julian

Kayla tahu ia tidak seharusnya menangis, tapi kenyataannya, setetes kristal bening meluncur cepat dari pelupuk matanya. Batinnya memberontak, bagaimana cara ia percaya rasa sayang ayahnya jika ia bukanlah pilihan pria itu? Bagaimana gadis itu membuktikannya jika yang Dhaka lakukan adalah meninggalkan ia dan Ratna dalam kesengsaraan?

***

"Gue udah di depan rumah lo nih."

Pintu bercat hitam tak jauh dari posisi Kayla terbuka. Leon, si pemilik rumah, menurunkan ponsel di telinganya lalu berteriak, "Masuk, Mik!"

Kayla melotot ngeri yang hanya dibalas kekehan pemuda berkaos merah bata tersebut. Mau tidak mau, gadis itu mendekat sambil menenteng paper bag yang cukup besar. Begitu mereka berhadapan, ia mengangsurkan benda itu pada Leon.

"Gue kasih ini buat elo, siapa tau Windi suka." Kayla beralasan.

Leon menyipitkan mata. "Masuk dulu, nggak sopan dateng-dateng main kasih aja, lo kira gue penitipan barang?" omel pemuda itu. Tak tanggung-tanggung, ia juga menarik lengan teman satu timnya ke dalam rumah dan mendudukkannya di salah satu bangku kayu, meski sempat diwarnai protes Kayla.

"Tunggu di sini, gue ambil minum dulu!"

"Eh, nggak usah, gue mau langsung balik, kok."

Leon tak menghiraukannya. Pemuda itu sudah lebih dulu berdiri, hendak membuktikan kata-katanya ketika seorang wanita berhijab biru tua keluar sembari membawa nampan berisi dua es sirup.

"Bunda udah bawain minuman buat kalian," ucap wanita tersebut diiringi sebuah senyum.

"Mik, kenalin, ini ibu gue. Dan, Bun, ini ...."

"Mikayla, 'kan?" putusnya, lalu memperkenalkan diri. "Saya Tari, ibu Leon."

Refleks, Kayla mengulurkan tangannya, kemudian mencium punggung tangan Tari. "Iya, Tante, saya teman sekolah Leon."

"Tante tau, kok, Leon sering cerita tentang kamu. Ternyata kamu lebih cantik dari yang di foto," puji wanita berwajah teduh tersebut yang dibalas protes sang putra.

"Ya sudah, bunda nggak ganggu lagi. Kalian lanjut ngobrolnya. Minumnya dihabiskan, ya!"

Kayla tersenyum canggung. Sepeninggal Tari, gadis itu melayangkan satu tamparan di lengan kanan Leon. "Ngomong apa aja lo tentang gue? Pasti yang jelek-jelek, 'kan?" tuduhnya.

Leon hanya menggeleng, kemudian bertanya, "So, ada perlu apa lo sama gue?"

Gadis itu menegakkan tubuhnya. Ia meraih tas yang tadi dicampakkan di dekat kaki dan menyorongkan benda itu pada si pemilik rumah. "Ada yang kasih gue ini, tapi lo tau, 'kan, kalau gue nggak suka boneka, bunga, atau semacamnya? Jadi gue kepikiran buat kasih ini ke elo. Terserah lo mau kasih ke siapa, Windi, adek lo, atau siapa pun."

Leon mengangkat boneka pemberian Kayla dengan kening berkerut. "Jangan bilang ini dari Brian?"

Kayla menggeleng kuat. "Bukan dari Val." Netranya memandang sedih Winnie. Ia mengembuskan napas berat, lantas melanjutkan, "Gue nggak tau mau kasih ke siapa, yang gue inget cuma elo." 


Depok, 13 Maret 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang