SATU

57 10 3
                                    

Jakarta, Juli 2019

"Mama suka sekali lihat wajah Kayla, dia papamu versi gadis cantik."

Sega melirik dedaunan yang bergoyang mengetuk jendela kamar barunya, mengajaknya berkenalan. Ini kali pertama ia menginjakkan kaki di tanah Jakarta—tempat yang selama ini menjadi latar dari semua kisah tentang adiknya.

Pemuda tujuh belas tahun itu berusaha fokus pada semua informasi tentang Kayla dari cerita Naomi. Meskipun ia sudah mendengarnya puluhan kali, tidak ada kata bosan baginya untuk kembali mengingat seperti apa wujud putri kecil Dhaka yang berhasil membuat wajah sang ibu berseri sepanjang hari. Juga membuatnya nekat datang ke mari dengan harapan mereka dapat bersatu dan memiliki keluarga yang utuh.

"Kayla juga anggota tim basket, sama seperti papa kamu dulu."

Ia menjatuhkan diri di atas ranjang queen size-nya dengan kedua tangan di belakang kepala. Dalam keremangan, netranya meneliti setiap sudut kamar yang ia pikir sama persis seperti miliknya di Surabaya. Padahal seingatnya, Naomi yang menata semua barang, tapi lihat sekarang! Dhaka melakukannya sama baik dengan sang istri. Seulas senyum terbit di wajah perseginya.

Jika diingat-ingat lagi, selama ini ayahnya menghadiahkan semua perhatiannya hanya pada Sega. Dhaka juga tidak pernah menyebut-nyebut Kayla maupun Ratna di depannya dan Naomi. Semua hal yang ibunya ceritakan justru bersumber dari wanita itu sendiri, karena rasa bersalah yang perlahan menggerogoti jiwanya. Naomi yang mencari Ratna lewat beberapa teman yang ia kenal, beruntung takdir seolah mendukung setiap usahanya.

Semua kenyataan itu membuat otak Sega panas. Mengapa ibunya menyakiti diri sendiri?

Sega menegakkan tubuhnya kemudian membuka aplikasi Maps di ponsel. Ia butuh tempat yang dapat mengalihkan perhatiannya sejenak. Pilihannya jatuh pada sebuah kafe di kompleks tempat tinggalnya. Kafe itu bercat oranye, sesuai dengan namanya, Jingga. Menariknya lagi, saat pertama Sega mendatangi tempat tersebut, ia menyadari bahwa Jingga memiliki pemandangan langsung ke arah matahari terbenam yang menjadi momen favoritnya.

Jarum pendek jam di pergelangan tangan kirinya menunjuk angka empat. Ia mengedarkan pandang ke meja-meja yang terletak di depan kafe dan menemukan beberapa tempat kosong. Tanpa pikir panjang, Sega melangkah masuk kemudian duduk di salah satu kursi depan counter. Seorang pramusaji menyambutnya.

"Menu favorit di sini apa, ya?"

Pemuda bernama Farhat di depannya menunjuk beberapa menu disertai penjelasan singkat. Sega menimbang beberapa pilihan. Mulutnya baru setengah terbuka ketika suara tajam milik seorang gadis yang tiba-tiba berdiri di sampingnya menginterupsi, "Kak, saya pesan hot matcha latte-nya satu, ya!" Gadis itu menyodorkan uang dua puluh lima ribu di atas meja.

Sega hampir berdecak karena sikap tidak sopan gadis tadi. Namun, begitu kepalanya berpaling ke kanan, tubuhnya menegang. Otaknya membuka satu ingatan saat untuk pertama kalinya Naomi memperlihatkan potret kisah lain dalam kehidupan mereka. Untuk pertama kalinya, Sega bertemu sang adik, Kayla-nya.

Sebuah pertanyaan dari si pramusaji menyadarkan saraf-saraf Sega agar kembali bekerja.

"Cewek itu sering ke sini?" tanyanya mengabaikan suara Farhat, membuat pemuda berusia sekitar dua puluhan itu mendongakkan kepala.

"Lumayan, bisa dibilang dia langganan di sini. Naksir?" goda pramusaji tersebut.

Bahu Sega terangkat pelan. Lagi-lagi ia melanyak pertanyaan yang ditujukan padanya. "Saya pesan vanilla latte dan tiga macaron."

Dua sudut bibir Farhat tertarik ke atas sembari ia menghitung tagihan pesanan sementara pelanggannya sibuk memerhatikan gadis tadi.

***

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang