"Kalau gue boleh tau, apa sih yang sebenarnya terjadi di antara kalian?"
Pertanyaan itu mengalihkan Sega dari pergerakan Kayla. Namun, pemuda tersebut hanya berpaling beberapa detik sebelum kembali memfokuskan pandangannya pada kegelapan yang menghias rahang persegi adiknya. Mulut Sega terkatup rapat. Sampai sekarang, ia masih enggan memenuhi keingintahuan gadis yang kini berdiri di sampingnya ini.
Ini bukan pertama kalinya Gita mempertanyakan hal yang sama, gadis itu sudah melakukannya di hari Sega meminta informasi tentang teman lapangannya tersebut. Gita tidak berniat ikut campur, sungguh, dia hanya tidak mau sesuatu yang buruk kembali terjadi seperti kisah Tara—berdiri di antara kedua pemuda berparas malaikat berhati hitam tersebut tidaklah menyenangkan.
Gita ikut menatap setiap langkah yang tampak rapuh di matanya. Kayla tak pernah ragu memandang hal-hal di sekitarnya sebelah mata. Dia suka berada di antara kekacauan, ikut merayakannya dengan kebekuan yang membungkus jiwa. Namun hari ini, Kayla terlihat seperti anak kecil yang tengah tersesat, berusaha mencari pertolongan di tengah ketidakpedulian orang-orang. Bahkan Brian yang selalu ada di sekitarnya pun seolah membuatnya makin kecewa.
Sementara itu, sisi lain diri Sega sebenarnya ikut pedih menyaksikan sang adik melepas topengnya. Dia merasa bertanggungjawab atas kehilangan yang dialami Kayla. Dia yang merebut kasih sayang Dhaka dari sisi Kayla. Dia yang membentuk semua kekecewaan yang terlihat nyata hari ini. Ibunya benar, Kayla membutuhkannya, dan ini tugasnya untuk menjaga gadis itu sekarang.
Netra cokelat gelap Sega beralih pada tubuh tinggi berbalut seragam kepanitiaan yang baru saja menuruni tangga. Wajah yang biasanya berhias senyum tersebut mendadak muram. Lucunya, satu-satunya orang yang sanggup membuat perbedaan itu adalah Kayla, adiknya. Dua orang itu membuat masing-masing seolah berdiri di tempat salah.
Untuk beberapa saat, Sega bergulat dengan pikirannya sebelum bergabung dengan kebisingan lapangan utama yang kini disulap sebagai panggung utama. Di tempatnya semula, Gita hanya memandangi pemuda itu. Gadis itu bahkan tidak kaget dengan tindakan Sega barusan yang meninggalkannya tanpa kata.
Tubuh Sega meliuk di antara stan-stan milik setiap kelas Alamanda yang berjejer di kiri dan kanan, mengikuti langkah Brian yang bertugas mengabsen kesiapannya. Ketika mereka bersisian, Sega berbisik, "Gue bantu bujuk Mikayla, tapi yang harus lo ingat, jangan paksa dia jadi kayak yang lo mau."
Dua pasang manik tajam itu saling bertemu, bedanya kali ini tidak ada aura permusuhan yang menguar. Brian mematung beberapa detik, sebelum kepalanya bergerak naik-turun.
Sega melesat meninggalkan pemuda tersebut. Dia sungguh-sungguh berniat membantu sang musuh kali ini. Pemuda itu menyusuri setiap koridor Alamanda, bahkan hingga kantin, hanya untuk menemukan sumber kecemasan Brian. Namun, setelah menyusuri semua sudut itu, keberadaan Kayla tak kunjung ia lihat.
Jika saja benar apa kata orang jika setiap saudara memiliki ikatan batin, mungkin pemuda itu tidak akan kesulitan mencari Kayla di antara gedung-gedung sekolah mereka. Namun lihat yang terjadi! Sejak tadi Sega berkeliling tanpa arah hingga berakhir mengistirahatkan diri di depan koperasi siswa. Ia bahkan bertanya dengan beberapa anak yang berpapasan dengannya, apakah mereka melihat Kayla atau tidak.
Sega mengusap tengkuknya berulang kali. Tatapannya mengedar, sementara otaknya membuat daftar tempat-tempat di Alamanda yang mungkin saja didatangi adiknya tersebut. Lalu bagai mendapat undian berhadiah, tungkai Sega bergerak cepat ke bagian terjauh lahan itu. Tempat yang menjadi persinggahan para murid 'teladan' tersebut sepi pengunjung di saat-saat seperti sekarang. Maklum, Alamanda menyediakan hiburan dan sarana pendukung lainnya untuk merayakan momen pertambahan usia. Jadi, hal tersebut tentu memicu antusiasme semua orang—kecuali Kayla.
Mendekati lapangan kedua Alamanda, Sega akhirnya menemukan sang adik tengah bergumul dengan bola oranye di tangannya sampai tidak menyadari kehadiran orang lain.
"Setau gue acara pembukaan di lapangan utama, deh," ungkap pemuda tersebut setelah melewati pembatas kawat yang mengitari tempat itu.
Kayla berjengit, lalu menoleh ke balik punggung di mana Sega melenggang mendekat bersama sikap tenangnya.
"Apa yang lo lakuin di sini?" Pertanyaan retoris itu dilemparkan Sega saat mereka berhadapan.
Namun, bukannya menjawab, Kayla justru kembali memantulkan bolanya sembari bertanya balik, "Apa yang lo lakuin di sini?"
Sega cukup memahami ketidakinginan Kayla untuk beramah-tamah. Dia juga yakin gadis berambut sebahu itu tidak akan mau bercerita tentang apa pun. Adiknya itu sulit dijangkau. Adiknya itu punya dinding tak kasat mata yang mampu membuat siapa pun mundur kala mencoba mendekatinya. Brian benar, Kayla tidak bisa didekati dengan cara klasik. Dia mudah sekali jengkel.
Kayla melemparkan bola di tangannya ke arah ring dari jarak yang cukup jauh. Benda bulat tersebut melayang di udara hingga meluncur jatuh di tengah lingkaran besi tersebut.
Bertepatan dengan hal itu, sebuah sebuah lengkungan tampak di bawah hidungnya, Sega punya rencana bagus. Ia tahu akses untuk masuk ke dalam ruang pikir sang adik. "Gimana kalau kita tanding satu lawan satu?" Dengan langkah santai, pemuda tersebut memungut bola yang tergeletak beberapa meter di depan mereka, lantas melakukan dribble.
Kayla bersedekap sembari mengamati aksi seniornya. Alis kanan gadis itu terangkat disertai senyum miring di paras tegasnya. Tak berselang lama, ia menghadang langkah Sega sebagai tanda bersedia bergabung ke dalam permainan amatir ini. Setelah beberapa detik, gadis itu menunjukkan senyum mentari paginya pada Sega. Senyum yang mampu membutakan Sega, tapi juga memberi kehangatan di dalam hatinya.
Ini kali pertama Sega melihat sang adik yang begitu hidup. Kayla terlihat begitu menawan.
Permainan itu berhenti tepat ketika akhirnya Kayla melakukan steal dan mengoper bola sampai meluncur apik melewati ring. Gadis itu berteriak girang sembari merentangkan kedua tangannya ke udara.
"Permainan lo payah," ucap Kayla di sela kekehannya.
Sega membiarkan adiknya itu melanjutkan aktivitasnya. Dia sudah mendapatkan apa yang dibutuhkan.
"Gue tau, kok, tapi gue rasa kemenangan bukan tanding siapa yang lebih jago atau kuat. Kadang, lo perlu kepercayaan buat menangin tujuan lo." Sega mendudukkan dirinya di bangku semen pinggir lapangan. Ia menepuk tempat di sisinya, meminta Kayla bergabung.
Namun, gadis itu menampik ucapannya sembari terus melakukan shooting berulang kali. Sega tidak ingin semakin mengulur waktunya. Dia tahu, mau atau pun tidak, adiknya tersebut pasti akan mendengarkan nasihatnya. Terlebih lagi ini menyangkut Brian.
Sega hanya ingin Kayla tahu jika Brian memilihnya, pemuda itu pasti telah memikirkan semua hal dengan begitu matang. Pada akhirnya pula, Sega juga mengakui bahwa antara ia dan Brian memiliki masalah. Namun, bukan berarti hal itu dapat mengubah persepsi Sega atas sang musuh.
Kayla bergeming di pusat lapangan bercat hijau gelap itu, berkacak pinggang sembari mengatur napasnya yang putus-putus.
Pemuda itu bangkit sampai di hadapan Kayla. Fokus keduanya saling mengunci. Sega akan mengatakan apa yang perlu adiknya itu lakukan, setelah itu, ia akan membiarkan Kayla merenungkan kalimatnya. "Sori kalau gue ikut campur masalah lo dan Brian. Tapi gue cuma mau ingetin lo, Kay, kalau masa lalu mungkin nggak sejalan dengan yang kita mau, tapi jangan sampai hal itu nahan elo dari beberapa hal. Jangan berpikir alasan terburuk atau apa kata orang lain tentang lo dan Brian, pikirin aja gimana caranya dia bisa kasih apa yang lo butuh untuk kebahagiaan lo saat ini."
Tangan Sega terangkat, menyentuh pucuk surai kecokelatan Kayla, dan membelainya sayang. Pemuda itu menghadiahinya sebuah senyum tulus dari seorang kakak untuk adiknya. Setelah dirasa 'pertolongannya' cukup, ia memaksa kakinya meninggalkan tempat tersebut.
Sega merogoh saku celananya, menarik ponsel, sebelum menempelkan benda itu di telinga. "Git, kirimin nomor Brian sekarang!"
Depok, 20 Februari 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
What Happened to Perfect
Teen Fiction[END] Bahagia versi Sega adalah memiliki kasih sayang kedua orangtuanya serta seorang adik penurut. Bahagia versi Kayla adalah hidup bersama keluarganya dengan keadaan apa pun. Sega dan Kayla, kakak beradik beda ibu yang tumbuh dalam keluarga berb...