EMPAT BELAS

19 4 0
                                    

"Sega?"

"Malam, Ma!" Sega meraih telapak tangan Ratna dan menempelkannya di bibir. "Sega nggak ganggu, 'kan?"

Ratna, sang pemilik rumah, mengulas senyum di wajah. Tangan kanannya terangkat, menepuk pelan bahu putra mantan suaminya, lantas bertutur, "Ya, nggak dong, kapan pun kamu mau datang, pintu rumah ini akan terbuka. Ayo masuk!"

Sega menyimpan sepatunya di dekat pintu serampangan. Dingin menyergap kaki telanjangnya begitu ia memasuki tempat persinggahan Kayla dan Ratna selama sepuluh tahun tersebut. Pemuda itu sengaja mengambil tempat tepat di sisi calon ibu tirinya, merasai kehangatan seorang ibu yang telah lama hilang dari hidupnya.

"Kamu udah makan belum?" tanya wanita itu sembari menyentuhkan ujung jarinya di permukaan kulit Sega.

Pemuda itu menggeleng tanpa kata. Setelahnya, Ratna meninggalkan Sega setelah sebelumnya meminta pemuda tujuh belas tahun tersebut menunggu. Kesempatan itu digunakan Sega untuk meneliti seluruh bagian yang menjadi saksi bisu hidup sang adik. Saat itulah, dia baru sadar jika ruang minimalis itu didominasi warna oranye dan hijau—jauh berbanding terbalik dengan sifat Kayla yang cenderung kelam. Namun faktanya, penikmat warna monokrom adalah dirinya sendiri.

Tiba-tiba Sega tersenyum kecut kala ingat percakapannya dengan sang adik beberapa hari lalu.

"Apa yang paling lo suka dari senja?"

"Pulang."

Tatapan Sega jatuh pada sebuah figura seukuran kertas A5 terpajang di antara tanaman indoor dan barang lainnya. Potret itu mengabadikan senyum secerah mentari milik dua wanita beda generasi. Kayla, si gadis cilik, memeluk bola basket yang sudah tampak usang di depan perutnya.

"Itu bola pertama Kyla setelah dia buktiin mau serius jadi pemain basket." Sabit di bawah hidung Ratna terkembang. Netranya ikut memandang fotonya bersama sang putri. "Mama hanya bisa beli bola bekas, tapi Kyla tetap senang sekali. Dia bahkan selalu pakai bola itu buat latihan di lapangan kompleks sampai dia jago."

Pandangan keduanya bertemu kala kalimat itu berakhir. Sega bisa merasakan emosi yang sangat kuat di sana. Emosi yang berhasil mengantarkan kecemburuan dalam diri pemuda itu.

Ratna sangat menyayangi Kayla, begitu pun sebaliknya. Dan ia sangat yakin, jika adiknya itu membagi setiap mimpi dan harapannya pada Ratna, harapan yang juga didukung single mother tersebut. Sementara dia?

Sega tersenyum miris. Dunia ini sangat tidak adil padanya. Anak yang selalu kedua orangtuanya khawatirkan nyatanya tumbuh dengan baik. Seharusnya Dhaka tidak perlu repot-repot mengkhawatirkan Kayla. Pun dengan Naomi. Seharusnya ayah dan ibunya khawatir pada luka di dalam jiwanya, putra yang seharusnya mereka besarkan dengan kasih sayang berlimpah justru harus menyimpan penyesalan dan kekhawatiran yang membentengi diri keduanya.

Semua kenangan itu mengombang-ambing jiwa Sega. Pemuda itu kembali diingatkan dengan keadaan hatinya yang berserakan. Ia tahu Kayla terluka karena Dhaka meninggalkan gadis itu untuknya dan Naomi, tapi selama itu, Sega tahu Dhaka tidak ingin bersama mereka. Pria itu ingin bersama Ratna dan malaikat kecil mereka.

Sebuah tangan menarik atensi Sega. "Kita makan sama-sama, yuk!" ajak Ratna seraya membimbing langkah besar pemuda tampan tersebut melewati sebuah pintu yang menjadi pemisah antara ruang tamu dengan beberapa ruang berpartisi kaca.

Sega menatap satu per satu hidangan di atas meja penuh minat. Walaupun hanya ikan goreng, sayur asem, dan secangkir teh hangat, pemuda itu merasa malamnya sempurna. Tanpa basa-basi, ia duduk di salah satu kursi. Sementara tangan Ratna sudah sibuk mengisi piring di hadapan Sega dengan nasi dan pelengkapnya.

"Semoga lidah kamu cocok dengan masakan mama."

"Dari baunya aja udah enak kok, Ma," ungkap Sega. Pemuda itu membersihkan tangannya dengan air dalam mangkuk kecil sebelum mengecap rasa menu makan malamnya.

Tidak ada percakapan lagi setelah itu, Sega sibuk menikmati makanannya, sedangkan Ratna sesekali melirik putra Naomi itu dengan seulas senyum tulus.

Pembicaraan di antara keduanya baru kembali terjalin saat Ratna membersihkan peralatan makan dan Sega membersihkan mejanya.

Bagi Sega, Ratna bisa dibilang wanita modern. Tak heran mengingat wanita kepala empat tersebut memiliki salon yang cukup dikenal beberapa sosialita. Belum lagi sifat ramah dan senyum yang selalu melekat di bibirnya menjadi nilai tambah di mata orang.

Keduanya bertukar pemikiran tentang banyak hal, sesekali diselingi candaan ala anak muda. Ratna bahkan sempat bertanya masalah asmara Sega yang diladeni pemuda itu.

"Cewek memang cenderung lebih suka pernyataan, Ga. Kalau kamu masih punya rasa utnuk dia, dan hubungan kalian bisa diperbaiki, lakukan!"

Jarum jam hampir menunjukkan angka sembilan malam ketika Sega pamit undur diri. Namun sebelum ia pergi, ia menyerahkan paper bag berwarna putih pada wanita tersebut. "Ma, apa aku boleh titip ini untuk Kayla? Ini hadiah yang harusnya Kayla terima di ulang tahunnya dulu. Aku tau ini udah telat, tapi aku cuma mau dia tau kalau Papa sangat sayang sama dia."

Jari-jari lentik Ratna melebarkan tas itu dan menemukan sebuah boneka berwarna oranye yang masih tampak bersih dan menguarkan aroma segar di dalamnya. Wanita itu tidak perlu bertanya lebih lanjut atau membantah bahwa putrinya sudah besar dan tidak suka boneka. Hadiah itu memiliki arti tersendiri bagi Kayla dan Dhaka.

"Papa bawa Winnie ke Semarang waktu itu, terus disimpan sama Mama Naomi. Setelah Mama pergi, gentian aku yang simpan boneka itu. Dan aku rasa, sekarang udah saatnya Winnie ketemu pemilik aslinya."

Ratna memandang pemuda di depannya dengan tatapan teduh. Sega masih bisa melihat kedua sudut bibirnya melengkung indah sebelum ia merasa wanita berambut panjang tersebut mendekapnya erat.

"Terima kasih. Terima kasih."


Depok, 06 Maret 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang