Kayla melangkah lebar dengan wajah wajah ditekuk. Di belakangnya, Brian tak henti-hentinya menyerukan namanya di antara riuh obrolan para pengunjung mal yang tengah keduanya kunjungi. Sesekali beberapa orang yang berpapasan dengan mereka menoleh dengan segudang pertanyaan, beberapa tersenyum paham, dan beberapa lainnya acuh tak acuh. Namun, baik Kayla maupun Brian sama-sama tidak mau mengalah. Keduanya punya ego dan tujuan. Meskipun terkadang gadis bermata tajam itu mengikuti arusnya, tapi dia bisa berenang. Brian tidak akan bisa mengendalikan apa yang disimpan di dalam diri Kayla.
"La, lo nggak bawa motor, inget itu!" seru Brian. Kayla hanya berdecak di sela-sela gerak tungkainya yang makin cepat—bahkan ketika ia turun melalui eskalator.
Brian menjerit tertahan melihat tingkah sahabatnya tersebut. Harusnya ia tidak terkejut, tapi malam ini, ingat bahwa Kayla adalah teman kencannya, pemuda itu benar-benar dibuat jantungan. Setelah beberapa hari ini hubungan keduanya tampak hangat, sifat Kayla tetap saja sanggup membekukannya.
Sibuk menatapi punggung gadisnya, Brian tak sadar jika mereka tengah dalam perjalanan menuju area parkir di basemen. Ketika tubuh semampai di depannya berhenti di samping sebuah motor sport putih, pemuda itu akhirnya sadar dengan keadaan sekitar.
Kayla meraih helm dari setang untuk menutupi kepalanya. "Udah malam, anterin gue balik!"
"Gue nggak pernah tau lo punya jam malam," ujar Brian tersenyum miring. Kedua tangannya hinggap di pinggang.
"Oh, jadi lo nggak mau anterin gue balik? Fine!"
Jemari Kayla bersiap meraih kedua sisi helm, sebelum Brian melaung, "Iya, iya, gue anterin."
Gadis itu memicingkan matanya ke kanan sembari tangan kirinya meraih helm lain, kemudian menyodorkan pada Brian. Pemuda penyuka warna navy tersebut melongo. Namun, tak urung ia buru-buru mengenakan pelindung kepalanya. Mereka membelah jalanan Ibu Kota yang dipenuhi wajah-wajah lelah tapi tersimpan harapan besar, sama seperti milik Brian kala ia sadar tangan Kayla melingkupi di perutnya. Bukan hanya itu, Kayla juga merebahkan kepalanya di bawah helm si pemuda, merasai getaran tubuh di balik kemeja flanel itu.
Meski tahu tindakannya salah, Kayla sadar jika dia suka dengan segala perhatian Brian. Dia bahkan yang membukakan pintu untuk pemuda tenar tersebut, tapi rasanya, ia tidak pernah siap untuk menyambut kedatangannya. Ada sesuatu yang menahannya, membuatnya tidak nyaman dengan keintiman mereka.
Kayla tahu cerita kelam Brian. Kayla tahu segala keburukan yang dimiliki pemuda tersebut. Namun ia yakin bukan itu alasannya. Sulit dilukiskan, tapi ia tahu ada tembok yang tercipta di antara mereka—entah berasal darinya, dari Brian, atau justru dari mereka berdua.
Itu sebabnya saat Brian tiba-tiba membisikkan kata cinta tepat di telinganya ketika film diputar, bel dalam kepala Kayla berdentang. Sampai saat ini pun, gadis itu masih merasakan getaran mantra tersebut. Melodi bibir sang sahabat yang biasanya menggebu berubah lembut, seolah menegaskan padanya bahwa apa yang tengah mereka alami memang ia harapkan.
Jika bisa, Kayla ingin berada di posisi ini lebih lama, duduk di boncengan Brian, berada dekat dengannya, tapi tak perlu mendengarkan ocehan pemuda tersebut tentang cinta. Dia tidak ingin hubungannya dan Brian berubah. Dia tidak ingin kehilangan setiap momen yang pernah dan akan mereka miliki berdua.
"Gue langsung ya, La," ucap Brian ketika si gadis sibuk melepaskan helm-nya.
Kayla menoleh ke asal suara. "Siapa juga yang nawarin lo mampir?" Sebuah senyum kecil terbit di wajahnya, sementara Brian berdecak. Interaksi tersebut tanpa sadar mencuat dari bibir Kayla. Sudah jadi kebiasaannya menggoda pemuda tersebut.
"Jangan lupa bersih-bersih, terus langsung tidur. Ya udah, gue cabut dulu, La. Bye!"
Brian kembali melajukan motornya menjauh dari rumah Kayla. Namun, ia belum ingin pulang ke rumah, ia ingin mendinginkan hatinya yang baru ditolak. Otaknya kusut. Sayangnya, penyebab kekacauan tersebut adalah satu-satunya penawar ketidaksempurnaannya.
Tujuan pemuda itu tak lain adalah Jingga, tempat terakhir yang ia tahu dapat membuatnya rileks. Brian sudah membayangkan ingin memesan pasta, tapi niat itu diurungkannya karena begitu tubuhnya mendorong pintu kaca kedai tersebut, wajah Sega-lah yang terlihat pertama kali.
Walaupun enggan, Brian tetap memutuskan nongkrong sejenak di sana. Anggap saja musuh bebuyutannya tidak ada di sana. Namun, sekali harapan, tetaplah jadi harapan. Sega meraih cangkir vanilla latte pesanannya ke meja Brian. mereka duduk berhadapan dengan ekspresi berbeda.
"Lo nggak punya kerjaan lain, ya, selain ngikutin gue?" semprot Brian.
Bukannya takut, Sega justru tertawa lepas. "Gue? Ngikutin elo?" Ia mendengus. "You're not the number one."
Sega melipat kedua tangannya di depan dada. "Gue lebih suka deketin cewek yang biasanya sama lo itu. Siapa namanya? Mikayla, 'kan?"
Kursi putih yang tengah diduduki Brian berderit, hampir terlempar ke belakang kalau saja Brian tidak berhati-hati.
"Jangan coba-coba sentuh Kyla!"
"Kenapa lo marah? Toh kalian nggak pacaran, 'kan? Lagian, dia bukan tipe cewek yang lo suka. Mikayla jauh dari kata cocok buat elo."
"Tau apa lo soal hubungan gue dan Kyla?"
Sega tersenyum miring. "Gue emang nggak tau selain dari kata orang, tapi gue tau, dari muka lo, udah keliatan kalau lo lagi gagal dan patah hati. Kenapa? Apa lo kangen bersaing sama gue? Oh gue tau, gimana kalau kita taruhan. Siapa yang bisa narik perhatian Kayla yang menang. Yah, itung-itung sebagai tanda perpisahan kita," usul Sega yang sukses membuat Brian panas-dingin.
Setelah sekian lama, apa kejadian lalu akan kembali terulang?
Depok, 10 Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
What Happened to Perfect
Teen Fiction[END] Bahagia versi Sega adalah memiliki kasih sayang kedua orangtuanya serta seorang adik penurut. Bahagia versi Kayla adalah hidup bersama keluarganya dengan keadaan apa pun. Sega dan Kayla, kakak beradik beda ibu yang tumbuh dalam keluarga berb...