"Selamat sore, Kayla!" sapaan hangat itu mencapai gendang telinga gadis berusia enam belas tahun tersebut.
Kayla mengalihkan tatapannya dari layar ponsel yang saat ini menampilkan pesan singkat sang ibu. Kedua sudut matanya basah, sementara bibirnya bergetar kala ia menyebut nama tamunya.
Karina, wanita berusia empat puluh tahun tersebut, buru-buru mendekatinya. Tangan mungil nan halus miliknya mengusap punggung Kayla, tapi segera ditepis oleh gadis itu. "Kenapa Mama bilang aku harus ikut pulang sama Tante? Mama sama Papa ke mana?"
"Kayla ...."
Ingatan Kayla kembali pada percakapan yang meluluhlantakkan dirinya. Satu per satu air mata meluncur di pipinya. Kedua tangan berjari panjang Kayla masih sibuk mengotak-atik gawai, berharap kedua orangtuanya atau sang kakak merespons agar pemikiran buruk tadi lenyap. Namun, berapa banyak pun pesan dan telepon yang ia tujukan pada tiga orang tersebut, jawaban yang ia tunggu tidak pernah muncul.
Sementara itu, di sisi ranjangnya, Karina masih setia bergeming—ikut memandangi setiap pergerakan calon anak angkatnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak menyalahkan sikap kasar gadis itu. Ia sungguh mengerti perasaan Kayla. Sejak Eva dan Dhaka mendatanginya dan Erwin untuk kedua kalinya, Karina tahu semuanya tidak akan mudah. Semua rencana yang mereka susun bahkan tampak seperti jalan untuk menyakiti gadis rapuh tersebut.
Tak berselang lama, pintu ruang berukuran 5x7 meter itu kembali terbuka. Kali ini seorang pemuda berpakaian OSIS masuk bersama peluh di dahi. Pemuda itu, Leon, baru saja memarkirkan motornya di teras rumah ketika Kayla tiba-tiba menelepon dan bertanya tentang keberadaan Sega dengan napas memburu.
Leon khawatir, tentu saja, itu sebabnya dia pamit pada sang bunda sebelum melajukan motornya ke rumah yang sudah beberapa kali ia kunjungi untuk bertemu Kayla. Namun, sesampainya di tempat itu, sebuah tulisan "for sale" terpasang di pagarnya. Leon juga menghubungi Sega, tapi hanya suara operator yang menyahut. Tak sampai di sana, pemuda tersebut akhirnya menghubungi beberapa kakak kelas yang ia tahu sekelas dengan Sega. Dari situ, Leon tahu jika pemuda itu izin tidak masuk sekolah dengan alasan ada acara keluarga di Surabaya. Lalu pertanyaannya, "Mengapa Kayla seolah sedang ditinggalkan?"
Karina yang sudah sering melihat Leon di sekitar Kayla mempersilakan pemuda itu mendekat sebelum ia undur diri.
Setelah dokter kulit itu keluar, tangis Kayla pecah dalam dekapan Leon. Gadis berambut hitam tersebut menceritakan rencana yang tak sengaja ia dengar dari mulut wanita tua yang ia panggil Oma. Gadis itu juga mengaku bahwa sampai semalam, segalanya tampak baik-baik saja. Ia hanya tak menemukan kedua orangtuanya ataupun Sega di kamar rawatnya pagi tadi. Kayla pikir mereka mungkin ada urusan sebentar dan akan segera kembali. Sayangnya, sampai mentari berada tepat di atas kepala, ketiga orang yang ia sayangi tersebut sama sekali tidak menampakkan batang hidung mereka. Hingga, satu pesan Ratna muncul di ponselnya satu jam lalu.
Kayla, Sayang, besok kamu tinggal sama Dokter Erwin dan Dokter Karina, ya! Jangan nakal. Kami sayang kamu.
Langit jingga kala itu jadi saksi bisu kehancuran Kayla. Langit jingga itu membawakannya luka, mengaburkan semua hal indah yang sebelumnya masih iya yakini.
"Kita seharusnya nggak menyanggupi permintaan mereka, Mas," ungkap Karina, air matanya menetes.
Erwin memandang pintu berwarna karamel di sisi kanannya. Sebagai seorang pria yang kehilangan anak, Erwin tahu patah yang mungkin dirasakan Dhaka dan Ratna saat ini, tapi dia juga menyesalkan keputusan sepihak keluarga mereka. Rasa hormat dan kagum yang sempat ia hadiahkan pada keluarga tersebut menguap, digantikan kemarahan yang hanya ia ketahui seorang diri.
Sembari memeluk sang istri, Erwin berbisik lirih di telinganya, "Kita akan merawat Kayla seperti putri kita sendiri. Kayla akan kembali bahagia. Ini hadiah Allah untuk kita."
Satu jam lebih, empat orang dalam rumah sakit swasta terbesar di Indonesia tersebut larut dalam duka hingga gadis yang menjadi tokoh utama hari itu jatuh tak sadarkan diri. Erwin meminta dokter dan perawat di sana menangani Kayla, sementara ia dan Karina mengajak Leon berbincang di bangku panjang lorong Anggrek tersebut.
Awalnya, Leon berniat tak mengindahkan ucapan kedua dokter tersebut. Namun, saat Erwin mengutarakan permintaannya untuk Kayla, Leon tahu pasangan di depannya ini berhati tulus. Bahkan mungkin, ini memang jalan yang sudah dipilihkan Tuhan untuk kebaikan Kayla. Agar hatinya tak lagi terluka. Agar rantai yang membelenggu setiap langkahnya putus.
Hingga beberapa hari berlalu, Leon akhirnya menemukan keberadaan Sega di ujung kantin Alamanda seorang diri. Pemuda itu tak menyia-nyiakan kesempatan yang ia punya. Ia ingin semuanya segera berakhir.
"Kata Kayla, dia bakal tinggal sama Dokter Erwin. Apa itu bener?" tanya Leon ketika ia menghampiri Sega di salah satu meja kantin.
Kakak dari Mikayla Zee tersebut mendongak. Ia menjauhkan sedotan plastik di gelasnya dari bibir, kemudian menyahut, "Iya."
Tanpa meminta persetujuan sang senior, Leon mendudukkan dirinya di depan pemuda tadi yang kini sibuk menyantap lontong sate. "Kenapa?"
"Papa sama Mama diminta tinggal di Surabaya. Gue nggak bisa jagain Kayla sendirian, dia perlu temen dan masih butuh terapi." Sega menjawab enteng.
"Oh, ya? Bukan karena keluarga kalian minta Dokter Erwin buat adopsi Kayla?"
Sendok di tangan Sega refleks terjatuh, menimbulkan suara berisik yang akhirnya menarik atensi siswa-siswi Alamanda. Manik mata Leon serupa langit malam. Rupa yang biasa tersenyum ramah itu berubah dingin.
Sega menarikan sudut matanya ke sekeliling mereka. Ada banyak telinga yang turut mendengarkan. Pemuda itu bangkit, memandang adik kelasnya tersebut seraya berujar, "Nggak ada hal buruk yang terjadi, Le."
"Nggak ada? Lo yakin?" Leon mendengus. Pemuda tersebut menyejajarkan tubuhnya dengan Sega. "Gue punya kuping selama ini, Ga. Jangan lo pikir gue nggak tau apa pun. Kedatangan lo, Brian, sampai semua hal yang terjadi hari ini, gue tau lo ada di balik semuanya!"
Kepala Sega bergerak ke kanan dan kiri. "Gue nggak ngerti apa maksud lo," balasnya kemudian melangkahkan kaki keluar. Ia sudah kehilangan selera makan. Namun, sebelum Sang Cassanova benar-benar meninggalkan tempatnya, Leon sudah lebih dulu menarik lengannya hingga mereka kembali berhadapan.
"Mikayla adek lo, Sagara! Kalian punya darah yang sama. Apa nggak cukup semua hal yang udah terjadi sampai lo tega buat dia kayak gini?"
Kelima jari Leon tanpa sadar mencengkeram lengan atas Sega kuat saat bayangan kejadian kemarin berputar di kepalanya. Bayangan di mana Kayla menangis di ranjang rumah sakit, mengatakan bahwa kedua orangtuanya telah pergi dan menitipkan gadis itu pada Dokter Erwin dan istrinya tepat dua hari setelah operasinya dilakukan.
"Apa mau lo?" Sega meringis pelan.
"Temui Kayla nanti sepulang sekolah!" tandas Leon kemudian mengibaskan tangan Sega hingga membentur sudut meja.
Depok, 10 Juli 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
What Happened to Perfect
Teen Fiction[END] Bahagia versi Sega adalah memiliki kasih sayang kedua orangtuanya serta seorang adik penurut. Bahagia versi Kayla adalah hidup bersama keluarganya dengan keadaan apa pun. Sega dan Kayla, kakak beradik beda ibu yang tumbuh dalam keluarga berb...