Sejak Kayla bercerita tentang sang ayah beberapa hari lalu, gadis itu merasa hubungannya dengan Brian semakin intim. Satu demi satu kisah mereka terbuka dan melebur jadi satu. Tidak ada ketakutan dalam diri keduanya. Tidak juga ada penghinaan. Sampai saat ini, Kayla tidak keberatan dengan fakta itu selama Brian juga mampu menerimanya.
Sore itu Kayla dan Brian duduk berdua di salah satu sudut kantin. Di hadapan mereka, dua piring gado-gado dan dua gelas es jeruk telah tandas. Keduanya berceloteh tentang banyak hal yang selama ini selalu dihindari. Mereka melewati garis aman, Brian menyadari hal itu. Namun, Brian tak sekedar ingin melaluinya, tapi juga melampauinya. Dia menginginkan Kayla menjadi bagian dari hidup kelamnya untuk waktu yang lebih lama. Pemuda itu sudah menyusun rencana, dan ia akan segera mewujudkannya.
"Abis ini gue langsung balik, ya, La! Jangan lupa entar malem dandan yang cantik." Brian mengulas senyum menggodanya seraya memanggul ranselnya. Keduanya menyusuri koridor yang telah sepi karena bel pulang sudah berdentang sejak setengah jam lalu.
Kayla mengangkat wajah dari layar gawainya. Ia mencebik, lalu berujar, "Lo malu, ya, jalan sama cewek buluk kayak gue? Kenapa nggak lo ajak aja cewek yang lo suka itu!"
Brian memang mengajaknya hangout nanti malam, katanya untuk merayakan
"Jangan mulai, deh, La!"
Gadis tersebut merangkul lengan Brian, sementara otaknya tanpa sadar membuat daftar para mantan sahabatnya itu. Semua gadis idaman Brian rata-rata memiliki kriteria sama—cantik, kaya, dan populer. Sangat jauh berbeda dengan Kayla. Herannya, orang-orang suka sekali mengaitkan gadis tomboy tersebut sebagai alasan kandasnya hubungan Brian dengan para gadis borjuis itu! Apa mereka tidak bisa melihat cara pandang Brian terhadap pasangannya? Padahal kalau mau diteliti lagi, sahabatnya itu benar-benar tipikal fuck boy. Kayla selalu berpikir, mana mungkin Brian tergoda untuk memacarinya, apa yang bisa pemuda itu manfaatkan selain telinga untuk menampung caci makinya.
Atas alasan itulah Kayla mengiyakan permintaan hangout Brian nanti malam. Mereka sudah biasa keluar setiap malam minggu, bagi gadis itu, tidak ada bedanya.
"Gue balik dulu, lo berani, 'kan, balik sendiri?"
Mata almon Kayla hampir melompat ke arah pemuda necis di hadapannya. "Lo pernah ditimpuk pake bola basket nggak, sih, Val?"
Gelak maskulin memenuhi satu lorong Alamanda, membuat beberapa anak yang masih berada di sana menoleh cepat.
Kayla bergidik hingga memutuskan untuk mendahului langkah Brian sampai ke ruang ganti. Dua murid Alamanda itu berpisah disertai lambaian tangan Brian. Pemuda tersebut melesat meninggalkan gedung sekolahnya dengan hati gembira. Di sisi lain, Kayla ada jadwal latihan basket bersama AGT dan ABT yang tengah bersiap menghadapi tim lawan dalam babak setengah final turnamen basket daerah.
Tepat pukul tujuh malam, Brian sampai di kediaman Kayla. Gadis itu sendiri yang membukakan pintu. Namun, Kayla tidak memakai gaun malam cantik seperti impiannya, dia masih mengenakan kaos oblong berwarna hijau pastel dan celana pendek berwarna hitam.
"Seriously, La? Gue kan bilang jam tujuh!" Brian menggeram frustrasi. Baru saja sore tadi dia senang karena sahabatnya itu mau mengikuti arahannya. Selang beberapa jam, Kayla menghancurkan rasa senangnya.
"Ganti baju doang cuma sebentar kali, Val. Nggak usah lebay, deh!" Kayla melebarkan pintu bercat putih, kemudian melangkah masuk. "Lo tunggu di sini, gue ganti baju bentar!"
Meski kesal, Brian akhirnya menurut juga. Sembari menunggu, pemuda berkemeja biru tersebut mengedarkan pandang ke seluruh ruang minimalis itu. Sebenarnya tidak banyak barang di sana, hanya satu set sofa, hiasan dinding, rak besar berisi tanaman indoor, beberapa foto pemilik rumah, serta piala dan medali milik si anak.
Kalau diingat-ingat, Brian jarang memerhatikan isi ruang tamu Kayla. Bukan karena ia jarang berkunjung, tapi selama ini, ketika bersama dengan Kayla, yang ada di pikirannya hanya tumpukan masalah dan bagaimana mereka menyelesaikannya.
Saat fokus mengabsen setiap sudut rumah, seorang wanita seumuran ayahnya menampakkan diri di muka pintu. Wajah ayunya terhias bulan sabit walaupun kerut kelelahan jelas tampak di sana. Wanita tersebut menyimpan kitten heels-nya di rak luar, kemudian menghampirinya.
"Eh, Valdo, kok sendirian? Kyla-nya mana?" tanya Ratna, wanita itu, tatkala menjatuhkan pantatnya di sofa terdekat.
Pemuda tersebut balas senyum. "Di kamar, Tan, lagi siap-siap. Saya mau ajak Kyla jalan, boleh, 'kan?"
Kelopak mata Ratna terangkat. Refleks, wanita itu meneliti Brian dari ujung kepala ke kaki. "Hari ini kamu keliatan rapi," ujarnya, masih mempertahankan senyumannya.
Dehaman Brian seketika menyadarkan ibu Kayla dari tanda tanya di benaknya. Sekelumit rasa bahagia menyusup di hati. Ratna tidak perlu bertanya lebih lanjut, dia pernah muda, pernah merasakan cinta. Wanita itu yakin bahwa perasaan yang dimiliki kawan putrinya tersebut sama seperti miliknya ketika bersama Dhaka dahulu.
Tiba-tiba saja, pikiran Ratna tertuju pada dua orang yang paling dicintainya. Kayla dan Dhaka, Ratna ingin mereka bersama. Manik cokelatnya menatap Brian dalam. "Val, tante boleh minta tolong sesuatu?" Satu anggukan menjadi pintu masuk baginya untuk kembali meneruskan, "Apa kamu bisa bantu tante buat yakinin Kyla kalau ayahnya datang demi kami dia?"
Lengkungan di bawah hidung Brian mendadak statis. Pemuda tersebut memandang wanita berambut hazelnut di hadapannya tak percaya.
"Tante tau kamu sayang sama Kyla, jadi tante mohon, bantu tante kali ini agar hati Kyla terbuka. Bukan hanya untuk ayahnya, tapi ini juga untuk kamu. Buat putri tante percaya, ya, Val!"
Bagi Brian, satu hal itu adalah beban berat. Meski Kayla terbuka padanya, Brian yakin kalau batu di hati sahabatnya masih sangat besar. Sulit untuk dipecahkan. Sulit untuk dipindahkan. Namun, melihat gurat kesedihan di roman Ratna, pemuda itu akhirnya mengangguk.
"Saya coba dulu, Tante."
Setelah ikrar itu terucap, pintu kamar Kayla berderit. Gadis itu sudah mengganti pakaiannya dengan jeans biru dan blus berwarna putih. Rambut sebahunya dijepit ke belakang, memamerkan leher bersih dan jenjangnya, serta garis wajah yang terkesan kuat. Brian mengulurkan tangan, menyambut sahabatnya yang cantik jelita.
"Aduh, putri mama cantik sekali! Kamu sering-seringlah dandan begini, Sayang," pinta Ratna yang hanya dibalas desahan Kayla.
Mereka tidak berlama-lama, Brian meminta izin Ratna kedua kalinya sebelum membawa sang gadis di atas motornya.
Sementara itu, di sisi lain jalan, Sega duduk di balik kemudi Mazda hitamnya. Pandangannya lurus ke arah perginya dua pasang anak manusia tadi dari penglihatannya. Dia sudah di sana sejak satu jam lalu. Sengaja tidak keluar hanya untuk menunggu Kayla dan Brian pergi sebelum ia melancarkan aksinya malam ini.
Depok, 3 Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
What Happened to Perfect
Teen Fiction[END] Bahagia versi Sega adalah memiliki kasih sayang kedua orangtuanya serta seorang adik penurut. Bahagia versi Kayla adalah hidup bersama keluarganya dengan keadaan apa pun. Sega dan Kayla, kakak beradik beda ibu yang tumbuh dalam keluarga berb...