"Mikayla Zee." Sega melafalkan nama itu tanpa ragu, membuat si empunya nama mendongak dari gawai di tangannya. Sega menunjuk kursi di hadapan gadis penyendiri itu. "Kosong?"
Mata thin almond Kayla menyipit. Pemuda itu yakin bahwa adiknya ini tidak ingat dengannya. Meski begitu, Sega tetap menampilkan sabit di wajah. Hingga kemudian gadis tersebut mengangguk serta balas tersenyum paksa.
Sejenak, mata Sega bertemu pandang dengan Brian yang duduk di sisi lain, jauh dari tempat Kayla bersama beberapa murid lain. Pemuda itu sama sekali tidak kaget, ia ingat apa yang Gita sampaikan padanya tadi. "Brian dan Mika emang dekat, tapi Mika bukan kumpulan Brian dan temen-temennya, mereka beda."
"Ternyata firasat gue bener, kita bakal ketemu lagi." Sega menyeruput espresso dinginnya lalu kembali bertanya, "Lo masih inget gue, 'kan?"
"Kita ketemu di Jingga beberapa hari yang lalu," sahut Kayla. Tepat seperti dugaannya.
"Ya, nama gue Sega, kalau lo lupa, Kayla."
"Orang-orang panggil gue Mika." Gadis itu memprotes dengan rahang mengeras. Sejurus kemudian, ia mendorong piring berisi lontong sate yang masih sedikit tersisa.
"Kenapa Mika? Kayla kedengaran pantas buat elo, malaikat."
Ia menegak hampir setengah gelas es jeruk dengan cepat. Manik cokelatnya menajam.
Kayla jelas menghindari perdebatan itu. Namun Sega ingin tahu, mengapa adiknya tidak senang dipanggil Kayla? Padahal yang ia tahu dari Naomi, sejak kecil orang-orang memanggilnya begitu. Perbedaan kecil ini membuat Sega tidak mengenali gadis yang tengah duduk di depannya.
Sega mengepalkan satu tangannya yang berada di bawah meja, menancapkan kuku-kukunya hingga menimbulkan bercak merah. Setelahnya, ia justru memasang wajah jenaka untuk menggoda sang adik. "Oke, forget it. Gue nggak mau cari musuh di hari pertama sekolah di sini, apalagi sama gadis secantik elo."
Kayla memandangnya dengan dahi berkedut. Pikirannya melayang pada setiap omongan anak-anak Alamanda seharian ini. Jika dia tidak salah duga, pasti Sega-lah subjek pembicaraan itu. Tak heran, pemuda itu memang tampak seperti Val di mata gadis tersebut—tampan, kaya, dan playboy. Baru saja Kayla bernapas lega karena beberapa hari ini Val sibuk dengan incaran barunya, tapi nasib sial benar-benar mengikatnya. Tidak ada Val, muncul Sega.
"Gue baru pindah dari Surabaya sepekan yang lalu, pas kita ketemu. Kebetulan rumah gue nggak jauh dari Jingga," ungkap Sega.
"Then, welcome!" ungkapnya sebelum kembali sibuk dengan makanannya.
Kalimat sambutan sederhana Kayla menyenangkan perasaan Sega. Setidaknya gadis itu berusaha bersikap baik padanya.
"Ah ya, omong-omong lo asli sini?" Pemuda itu kembali buka suara.
Pertanyaan itu membuat Kayla menelan satenya susah payah. Hawa dingin merambat di sekitar lehernya. Sega menyadari perubahan tindakan gadis itu walaupun Kayla pandai sekali menyembunyikan kegelisahannya di balik ekspresi datar. Sega bahkan sempat berpikir ia tidak akan mendengar jawaban atas pertanyaannya, tapi tak lama Kayla menyahut, "Nggak juga. Gue cuma udah lama tinggal di kota ini."
Sega mengangguk paham. Untuk beberapa saat, hanya kebisingan dari orang-orang di sekitar mereka yang berdengung di gendang telinga pemuda itu. Ia memandangi roman Kayla, mencocokkan dengan potret yang selalu ia lihat di kamarnya. Sesekali ia melirik ke meja Brian, lalu berganti ke arah adiknya lagi. Ia penasaran, hubungan jenis apa yang dimiliki keduanya. Kemarin mereka terlihat intim, tapi hari ini seolah mereka tidak saling kenal.
Pemuda itu ingin mengenal Kayla lebih baik, dia ingin tahu kehidupan seperti apa yang sebenarnya gadis di depannya jalani. Namun sebelum itu, dia juga ingin Kayla tahu seperti apa hidupnya. Hidup yang menyertakan Kayla di dalamnya. "Lo tau, lo ngingetin gue sama satu kisah di masa lalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
What Happened to Perfect
Teen Fiction[END] Bahagia versi Sega adalah memiliki kasih sayang kedua orangtuanya serta seorang adik penurut. Bahagia versi Kayla adalah hidup bersama keluarganya dengan keadaan apa pun. Sega dan Kayla, kakak beradik beda ibu yang tumbuh dalam keluarga berb...