EMPAT PULUH TUJUH

16 2 0
                                    

"Kayla, masuk, ya? Udah mau maghrib, kita tunggu di dalam, ya?" tutur Karina sembari memandang gadis itu pilu. Tahu bahwa anak angkatnya tersebut tak akan menyahutinya, Karina mengalihkan tatapannya pada Leon yang juga setia menemani Kayla beberapa hari ini.

Leon yang semula berdiri menyandar pilar berbentuk lingkaran di teras rumah bergaya Eropa tersebut mendekat, lalu bertelut di sisi kiri sahabatnya. "Mungkin Sega lagi sibuk. Kita masuk aja, ya?"

Gadis itu bergeming, hingga akhirnya Karina meraih handle kursi rodanya dan mendorong Kayla ke dalam, diikuti Leon.

Sudah seminggu lebih dari ancaman Leon terhadap Sega di kantin hari itu, tapi sampai sekarang, cucu kesayangan Eva tersebut sama sekali belum menampakkan wajahnya. Padahal Kayla sudah sangat senang ketika Leon bilang kakaknya itu ada di sekolah. Itu artinya Sega bisa saja datang untuk menjemputnya pulang. Namun, penantian tetaplah sebuah penantian. Sega tak pernah hadir, pun di sekolah, pemuda itu selalu punya cara untuk menghindari pertemuannya dengan Leon.

Setetes kristal bening melesat dari pelupuk mata cokelat gadis berambut panjang itu. Dia marah, marah karena hal yang sama seperti bertahun-tahun silam kembali terulang. Lukanya baru saja sembuh, ia baru belajar menerima, tapi kini sayatan yang lebih panjang dan dalam justru tertoreh di afeksinya. Kadang, gadis itu berdoa kepada Tuhan untuk mencabut nyawanya saja, agar ia tak lagi merasa kehilangan. Agar ia tak lagi harus mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya.

Hari-hari Kayla selanjutnya hanya diisi sepi. Kayla menolak bicara pada pasangan dokter yang selama ini bergantian menjaganya dan mencurahkan segala kasih sayang mereka padanya, meski hampa yang mereka dapat. Kayla masih mengharapkan Dhaka dan Ratna, bukan mereka.

Lama-lama, keterdiaman gadis itu menyakiti hati Karina. Jika saja bisa, wanita itu sungguh akan memikirkan keputusannya lagi untuk mengadopsi putri kawan suaminya tersebut. Bukan karena Kayla memiliki banyak kekurangan, tapi karena ia menyayangi gadis enam belas tahun tersebut. Namun, lagi dan lagi, Erwin kembali mengatakan bahwa hanya mereka yang pantas menjadi orangtua Kayla. Pria itu yakin, suatu saat nanti, Kayla akan sadar dan menerima status barunya.

Jadi, satu-satunya hal yang bisa Karina lakukan adalah menegarkan jiwanya kembali. Wanita berkulit langsat tersebut menjalankan perannya sebagai seorang ibu. Melakukan banyak hal yang seharusnya ia lakukan sejak dulu jika saja putrinya masih ada. Jika malam tiba, kala lampu-lampu di rumahnya telah redup dan sang suami tengah bertugas, Karina memilih tidur bersama Kayla, mengusap lembut surainya, membacakannya kisah-kisah para pahlawan hingga tangisnya pecah. Dokter cantik tersebut mengungkapkan isi hatinya meski Kayla tak mendengarkan. Ia terus melakukannya sampai tubuhnya terlalu kaku untuk bergerak, hanya tangannya yang terulur, memeluk Kayla dari balik punggungnya.

Jika batu saja bisa hancur diterpa air, maka itu juga berlaku bagi perasaan Kayla. Di suatu malam yang dingin, di saat hujan mengguyur kawasan elit Jakarta Selatan itu, Kayla membalikkan tubuhnya. Gadis itu memandangi wajah menawan Karina dalam gelapnya malam. Jari-jari panjang nan lentik Kayla terulur, menyeka setitik air yang tertinggal di pipi wanita tersebut. Lalu, tetes demi tetes air pun turut menderas di wajahnya.

Kayla sudah mendengar banyak. Kisah dan doa-doa yang selalu bibir tipis di hadapannya itu lantunkan. Gadis itu tak pernah bisa tidur sejak kenyataan pahit menamparnya, tapi hanya dengan ocehan Karina, hatinya perlahan lega. Wanita itu mengisi kekosongan yang ditinggalkan. Karina dan Erwin adalah orang paling baik dan tulus yang pernah ia temui. Namun, untuk menerima dua orang itu sebagai orangtuanya, Kayla masih tak sanggup. Ia tidak ingin orangtua lain selain Dhaka dan Ratna. Ia masih ingin berusaha, menggapai apa saja asal mereka kembali.

Hingga suatu hari, datang berita bahwa Leon berhasil menemukan rumah baru Julian. Berbekal restu Karina, siang itu Leon mengantar Kayla ke rumah keluarganya mengendarai mobil yang wanita itu khususkan untuk transportasi putrinya. Rumah dengan nomor tiga puluh satu di bilangan Ciputat itu tak sebesar rumah lama mereka—tapi tetap tak meninggalkan kesan mewah pemiliknya.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, sedan putih yang mereka tumpangi sampai di rumah sang ayah. Kayla menurunkan kaca mobil saat Pak Darto—satpam rumah—menghampiri.

"Eh, Mbak Kayla, sebentar saya buka gerbangnya."

Gadis itu mengangguk. Hatinya menghangat saat para pekerja di rumah menyapanya disertai senyum lebar, seolah semuanya masih berada di tempat.

"Mama sama Papa di rumah, Pak?" tanyanya begitu Darto membukakan pintu utama untuknya.

"Nggak ada, Mbak. Mas Sega juga nggak di rumah. Semuanya lagi sibuk siapin pesta ulang tahun Nyonya Besar."

"Gue tunggu di luar aja, ya, Kay? Kalau ada apa-apa, panggil gue, oke?" pinta Leon begitu pemuda tersebut melepas genggaman tangan Kayla hati-hati sampai gadis itu dapat berdiri tegak walaupun dengan bantuan kruk.

"I'll be fine."

Setelah mengucap satu kalimat pendek itu, Kayla melangkah pelan bersama Darto. Sebenarnya, Leon ingin sekali menemani gadisnya, tapi saat tahu hanya ada Eva di rumah tersebut, ia urung. Sejak awal bertemu wanita sosialita itu, Leon tahu jika Eva tak menyukai kedatangannya. Leon tahu apa sebabnya, dan ia cukup tahu diri. Jika bukan karena rasa sayangnya terhadap Kayla, mungkin Leon tak akan pernah mau menampakkan diri di tengah-tengah keluarga itu.

"Memang pestanya diadain di mana, Pak?"

"Kalau itu kami kurang tau, Mbak."

"Tolong simpan ini di kulkas, ya, Bi." Kayla menyerahkan box berisi rainbow cake kepada salah satu ART, lalu kembali bertanya, "Diadain di Jakarta? Bukan di Surabaya?"

"Mau diadain di mana itu terserah kami." Sebuah suara menginterupsi.

Tiga pasang mata di ruangan itu refleks berpaling ke asal suara.

"Kalian berdua kembali bekerja!" titah Eva—wanita berusia hampir delapan puluh tahun tersebut.

"Oma apa kabar?" sapa sang cucu, disertai seulas senyum manis.

"Saat ini kami semua sedang sibuk karena sebentar lagi perayaan ulang tahun saya."

Kayla menggigit bibir bawahnya, lalu suara lembut Eva seolah membawanya jauh dari tempatnya sekarang. "Kamu ke sini sama siapa? Bukannya kamu masih dalam masa pengobatan?"

"Aku ke sini sama Leon."

Wanita itu mengangguk angkuh lantas bangkit dan berkata, "Semua orang sedang sibuk. Kami bertiga ke sini hanya karena saya ingin Sega turut hadir dalam hari bahagia saya."

Saat mata Eva dan Kayla bertemu, gadis itu tahu kehadirannya tidak diharapkan. Sikap dan semua perkataan Eva sudah menegaskan bahwa Kayla memang tak seharusnya ada. Ia hanya tamu yang tiba-tiba datang di saat tidak tepat. Bahu Kayla merosot saat ia coba menguatkan hatinya.

"Adabaiknya kamu beristirahat di rumah. Jangan buat orangtua kamu khawatir."


Depok, 14 Juli 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang