EMPAT PULUH DELAPAN

18 0 0
                                    

Ada baiknya kamu beristirahat di rumah. Jangan buat orangtua kamu khawatir. Kalimat itu sudah menjawab keraguan Kayla. Benar, bagi Eva, ia bukanlah cucunya. Bagi Eva, Erwin dan Karina-lah orangtua gadis itu. Bukan putra dan menantunya. Sejak awal, Kayla harusnya sadar diri, tapi dia berpura-pura buta dan tuli terhadap semua pertanda itu.

Kayla memandang lurus jalanan di hadapannya. Tangan kirinya terangkat, memijit pelipisnya pelan. Sesekali kepalanya mendongak ketika hawa panas merambatinya. Tak lama kemudian, di kursi depan Mercedes Benz C-Class yang telah melaju itu, air mata Kayla tumpah.

Leon melirik gadis di sisinya itu tanpa kata. Wajahnya datar ketika kesepuluh jarinya mencengkeram setir kencang. Meskipun sejak keluar dari rumah keluarganya Kayla sama sekali tak bicara apa pun, tapi Leon tahu apa yang terjadi di dalam sana hanya dari manik kelabu gadis itu. Hatinya perih melihat semua hal yang dialami Kayla. Leon ingin memberitahu gadis yang disukainya itu tentang rahasia Sega, tapi dia tidak tega.

Bagi Kayla, Sagara adalah sosok kakak sempurna. Melihat segala perhatian pemuda itu pada sang sahabat, siapa pun akan berpikir demikian. Namun entah dari mana asalnya, Gita datang padanya di hari pengambilan raport dan menceritakan kisah kakak-beradik tersebut.

Dendam yang bersarang di hati Sega sudah seperti darah di tubuhnya. Jika Kayla tahu, bukan tidak mungkin gadis tersebut ikut menyimpan dendam terhadap segala perbuatan Sega.

Mikayla dan Sagara memiliki luka yang sama parah, hanya bentuknya saja yang berbeda. Jika Sega yang memiliki segalanya saja masih tak puas dengan keadaan, bagaimana dengan gadis tersebut? Bagaimana jika Kayla pun menuntut hal yang sama? Leon tidak ingin Kayla ikut menghancurkan dirinya sendiri seperti dulu, ada dia, ada Leon yang ingin melihatnya bahagia. Leon ingin Kayla menyadari bahwa di dunia ini, ada begitu banyak orang yang menyayanginya tanpa ia tahu. Leon ingin Kayla mengakui dan menghadapi ketakutannya.

Setelah bergulat dengan pikirannya sendiri, Leon memutuskan untuk membawa Kayla ke rumahnya. Pemuda itu mungkin tak bisa membantu banyak, tapi pemuda itu berharap masih ada jalan yang bisa ia tempuh untuk mengembalikan senyuman tersebut.

Beberapa menit kemudian, mobil putih itu berbelok ke daerah yang Kayla hafal di luar kepala—daerah tempat tinggalnya dulu. Hingga kemudian, gadis itu melihat lapangan kecil yang pernah ia singgahi beberapa kali. Di saat itulah Kayla sadar bahwa Leon mengajaknya ke rumah pemuda tersebut.

"Le!" Kayla menatap bangunan sederhana bercat hijau di depannya dengan jantung berdebar dan wajah seputih kapas. Kali ini, ia sudah duduk tegak.

"Kenapa? Ini bukan pertama kalinya gue ajak lo ke rumah, 'kan?"

Gadis itu membenarkan, tapi dulu berbeda dengan sekarang. Dengan kehadirannya yang seperti ini, Kayla tidak ingin menambah daftar hutangnya terhadap Leon. Terlebih lagi, gadis itu malu pada keadaan. Lihat dia yang sekarang! Tidak ada hal yang bisa dibanggakan darinya, keluarganya saja membuangnya, bagaimana dengan respons keluarga Leon nanti?

Di tengah kekalutan pikirannya tersebut, pintu di sisi kiri Kayla terbuka. Leon berdiri di sana sembari mengulurkan tangan. "Ayo, Bunda bikin cupcake hari ini!"

Leon menarik satu tangan gadis itu, membuat tubuh yang kini tampak kurus itu keluar dari mobil. Kedua tangan Leon menangkup telapak tangannya, sebelum mengisi tiap celah jari-jari Kayla dengan miliknya. Pemuda bersahaja tersebut memaksa pandangan mereka bertemu di titik yang membuat lawan bicaranya percaya bahwa segala hal akan baik-baik saja. Dia tidak akan membiarkan Kayla jatuh di tempat yang salah.

Tepat saat gadis itu setuju mengikuti langkah Leon, seorang wanita berhijab membukakan pintu utama untuk menyambut keduanya. Kayla bahkan melihat seulas senyum di wajah teduh tersebut sebelum Tari, ibu Leon, memeluknya sehangat di ingatannya. Sementara itu, adik Leon, Zahra menyapanya dengan wajah cerah, seolah mengatakan jika ia senang dengan kehadirannya.

"Bunda masak pepes ayam, itu makanan kesukaan Leon, kamu harus cobain," kata Tari saat mereka sampai di meja makan. "Oh, iya, ini ayah Leon."

Laki-laki yang sejak tadi sibuk dengan koran di tangannya itu mendongak. Ayah Leon, Ilyas, tidak seperti ayahnya, tidak juga seperti ayah Windi yang tampak ramah. Ayah Leon terlihat seperti pria tegas, tapi juga tidak menghilangkan kesan baik dari dirinya. Dan satu hal yang menarik perhatian Kayla adalah manik yang sama dengan milik Leon di kedua mata Ilyas.

"Ini Kayla, Yah," ungkap Leon mengenalkan keduanya.

"Ayah masih ingat." Pria tersebut menepuk lengan atas putranya, lalu mengembangkan senyum singkat. Tatapannya terarah pada Kayla. "Senang akhirnya bisa ketemu kamu secara langsung. Ayo duduk, kita makan sama-sama."

Tanpa dikomando, Leon sudah lebih dulu menarik sebuah kursi di sampingnya dan memaksa Kayla duduk di sana. Bibirnya merekah terlalu lebar hingga membuat Zahra terkikik geli.

"Kamu kalau ambil nasi jangan kebanyakan, Ra, nanti nggak dimakan. Sayang makanannya dibuang-buang," tegur Ilyas hingga membuat gadis yang sedang duduk di bangku kelas dua SMP tersebut seketika diam seraya memandang isi piring.

"Makanya jangan suka ngetawain abang, kualat kan kamu!"

Zahra meringis sebelum mengembalikan nasi yang tak sengaja memenuhi piringnya tadi. Setelahnya, kelima orang tersebut makan dengan nikmat. Sesekali Tari, Leon, ataupun Zahra menceritakan hal-hal lucu, mengurai kekakuan yang menguar dari diri sang kepala rumah tangga. Namun, meskipun kaku, Kayla bisa merasakan penerimaan dan kebahagiaan Ilyas dengan kehadirannya yang tiba-tiba.

Jujur, selama acara makan itu, Kayla berusaha keras menahan lelehan air dari matanya. Ia rindu suasana seperti ini bersama keluarganya. Ia pernah merasakan kehangatan ini meski sekejap.

Setelah makan siang selesai, Leon mengajak Kayla duduk di teras samping rumahnya. Di sisi kanan bangunan minmalis tersebut ada sebuah halaman yang penuh dengan pohon dan tanaman hias hingga siapa pun yang ada di sana dapat menghirup udara segar di tengah hiruk pikuk Ibukota. Sekali lagi, Kayla diingatkan pada kenangan rumah masa kecilnya saat masih di Bandung.

Leon tahu sahabatnya itu ingin menangis, tapi ketua ABT tersebut tak dapat berbuat banyak. Saat ini, ia hanya bisa menemani Kayla dalam keheningannya. Gadis itu bungkam mengenai afeksinya, tidak seperti dulu. Namun, tak berselang lama, Tari datang dengan nampan berisi cemilan serta dua cangkir teh hijau yang masih mengepulkan asap, sesuai permintaan sang putra.

"Le, kamu dipanggil Ayah," ungkap Tari.

Leon bangkit, "Gue tinggal bentar, ya, Kay. Nggak apa-apa, 'kan?" tanya pemuda tersebut hati-hati.

Namun, bukan Kayla yang menyahut, justru sang ibu. "Lebay kamu. Kayla kan di sini sama bunda. Udah cepat masuk sana!"

Kedua sudut bibir Leon terangkat paksa. Tanpa bicara apa pun lagi, ia berbalik, melewati tubuh ibunya yang seolah mengisyaratkan kalimat 'jangan ganggu'.

Tari meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja bulat yang menjadi pemisah antara dirinya dan si tamu, lalu meraih telapak tangan kanan Kayla tanpa aba-aba. Wanita tersebut menepuk ringan tangan gadis itu, membuat si empunya memandangnya bingung.

"Terakhir kamu datang ke sini, tante bisa lihat senyum kamu," kata Tari mengawali. "Apa masakan tante kurang enak buat kamu?"

Pupil mata Kayla membola. Ia tidak bermaksud seperti itu. Ia hanya sedang tidak bisa berpikir jernih.

"Jujur saja, nggak apa-apa, Kayla. Tante bisa terima."

Dua kalimat itu seperti mengentakkan tubuh Kayla ke bumi. Gadis itu mendadak panik. Ia menggerakkan kelima jemarinya yang sampai saat ini masih ada di atas telapak tangan Tari, menggenggamnya erat.

"Maaf, Tante, saya nggak bermaksud begitu." 


Depok, 17 Juli 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang