DUA PULUH

18 1 0
                                    

"Lutut lo gimana?" tanya Gita saat hanya ada dia dan Kayla di ruang ganti.

"Gue baik-baik aja, Git."

Gita bangkit setelah memastikan kedua sepatunya terikat kuat. Gadis itu berdiri tepat di depan rekan basketnya tersebut dengan tangan terlipat di dada. Sejujurnya sejak kemarin ia mengkhawatirkan keadaan Kayla. Gita benci mengatakannya, tapi ia lebih menyukai Kayla yang bertengkar dengannya dibanding Kayla yang diam seperti sekarang. Kebenciannya bertambah saat sadar jika Sega dan Brian turut andil dalam semua kekacauan ini.

Kepalanya bergoyang ke kanan dan kiri. Ia benar-benar muak dengan dua pemuda itu. Bagaimana mungkin mereka terjebak dalam kondisi yang hampir sama seperti saat mereka masih berseragam putih biru? Gita bahkan sangat yakin Kayla belum tahu masalah apa yang mengikat dua pemuda tampan tersebut hingga berakhir saling benci.

"Lo nggak perlu buktiin ke siapa pun supaya keberadaan lo diakui ...."

"Git, plis, jangan bawa-bawa Val sekarang! Ini nggak ada hubungannya sama dia!" sela Kayla cepat. Gadis itu mendongak dengan mata melotot. "Kenapa, sih, lo selalu nethink sama gue? Lo nggak tau siapa gue, Git. Lo juga nggak tau apa yang gue hadapi sekarang. Jadi, jangan sok tau, deh!"

Kayla mengentakkan kaki kirinya sebelum berlalu meninggalkan Gita. Sementara gadis itu sendiri memandang sisa bayangan kawannya dengan hati mencelis. Kayla tidak tahu apa yang sebenarnya tengah dia hadapi. Kayla tidak tahu masalah apa yang sedang menghadangnya di depan sana. Gita ingin sekali jujur dan menghentikan kegilaan Sega dan Brian, tapi Kayla pasti tidak akan memercayainya.

Gita mengusap dahinya kasar. Bodohnya, gadis itu baru saja ingat jika dia juga yang meminta Sega untuk menjauhkan Kayla dari Brian. Gita hanya tidak berpikir bahwa ini semua bisa menjadi alasan Sega untuk membalas patah hatinya—bukan hanya tentang Tara, tapi juga keluarganya. Gita salah karena terbuai dengan kedekatan semunya dengan Sega. Dia salah karena berpikir dengan membantu pemuda tersebut, hubungannya dan Sega yang pernah hancur bisa diperbaiki. Kini, ia sadar sepenuhnya, bahwa Sega hanya mendekatinya karena Kayla. Pemuda itu menginginkan celah untuk menjebak adiknya dan Brian sekaligus, melalui dirinya, orang yang dinilai punya kebencian terhadap dua orang itu.

Setelah berkutat dengan pikirannya, Gita menyusul Kayla dan timnya di sisi lapangan. Mereka sempat berdiskusi sejenak dan mendapat arahan dari Pak Danang selaku pelatih. Lagi dan lagi, Gita dan Kayla diharapkan kompak agar bisa melewati pertandingan kali ini dengan baik. Meski terlihat enggan, Kayla menuruti permintaan pelatihnya, begitu pun Gita. Apa pun masalah mereka, jangan sampai merusak usaha dan impian.

Beberapa menit kemudian, mereka bersiap di posisi masing-masing. Seperti latihan-latihan mereka, Kayla dan Gita memang terlihat serasi. Tak ada yang akan percaya jika di luar lapangan keduanya memiliki masalah pelik.

Pertandingan AGT hari ini berjalan lancar, pun dengan permainan mereka yang terlihat menggebu hingga mengantarkan tim basket Alamanda untuk kali pertama maju ke babak final. Sorak sorai para murid sekolah berlogo kuning tersebut mengudara, memenuhi salah satu sisi bangunan Oregon.

"Thanks karna lo bersikap profesional tadi." Ungkapan itulah yang meluncur dari bibir tipis Kayla ketika mereka berjalan bersisian sekembalinya dari ruang bilas.

Gita melirik gadis berambut pendek itu dari ekor matanya, sementara tangannya sibuk mengemasi pakaian ke dalam tas. "Gue selalu bilang, jangan pernah campurin urusan pribadi dengan AGT."

Kayla membagul ranselnya, lantas mengusulkan, "Kapan-kapan kita bisa latihan bareng, demi AGT."

Meski tak melihat jelas, Kayla tahu Gita mengangguk. Dan itu semua cukup baginya untuk meninggalkan sang partner.

Kayla melangkah riang ke salah satu tribun, di mana hanya ada satu penonton tersisa di salah satu bangkunya. Gadis itu mengukir senyum lebar dan sorot penuh kepercayaan diri. Leon, si penonton, hanya geleng-geleng kepala seraya memerhatikan layar gawainya, mengabaikan keberadaan Kayla yang akhirnya cemberut maksimal.

"Lo nggak mau ngucapin selamat gitu buat gue?" Gadis itu bersuara.

"Masih ada satu pertandingan lagi, kalau lo lupa."

"Tahu, tapi seenggaknya AGT berhasil masuk final sementara ABT harus rela jadi supporter!"

Lagi, Leon hanya tersenyum. Kayla mendudukkan diri di samping pemuda tersebut. Matanya fokus pada papan skor digital yang telah mati dengan garis lengkung tipis di wajah.

"By the way, harusnya lo nggak perlu nungguin gue selama ini," ujar Kayla.

"Kalau lo pikir gue disuruh Brian, lo salah, Mik. Gue di sini buat dukung elo."

"Gue nggak ngomong gitu, ya!" desis Kayla.

"Tapi lo berharap gitu, 'kan?" Leon berpaling ke kanan dan menemukan wajah terlipat temannya. "Sayangnya gue di sini bener-bener karna mau dukung elo."

"Lo nggak jagain Windi? Pacar lo itu, kan, lagi sakit. Dia yang lebih butuh dukungan lo."

"Windi tau ada banyak orang yang dukung dia, tapi elo?" Leon menyenggol lengannya.

Kayla kembali mengulas senyum sebelum mengajak pemuda itu pergi. Leon benar, dia butuh support untuk meyakinkan dirinya agar tidak menyerah saat mimpi-mimpinya terasa menyesakkan. Selama ini, pemuda itu yang mewaraskan pikiran-pikiran gilanya. Kayla beruntung memiliki teman sebaik Leon.

Sepanjang jalan menuju area parkir, keduanya berceloteh tentang banyak hal. Kebanyakan impian Kayla, tapi sebagian juga tentang hal-hal yang mereka hadapi saat pertandingan berlangsung. Hari Kayla sempurna, hingga netra cokelat gelap itu menangkap siluet yang sanggup membuat otaknya mendidih. Sadar dengan perubahan tersebut, Leon buru-buru mengalihkan atensi Kayla dan mengajaknya pulang.

Di tempat yang sama, Gita memerhatikan semuanya dengan seksama. Tentang interaksi dua temannya dalam klub basket serta tentang berbagai macam emosi yang memancar dari manik Kayla kala mendapati kedekatan Dhaka bersama seorang wanita. 


Depok, 27 Maret 2021

What Happened to PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang