"hari yang berat?"
Pria yang sedang duduk sambil memangku kucing itu menoleh ke sumber suara. Sayup suara Tv terdengar saat mata karamel itu balas menatapnya lembut dan sebelah tangannya dengan lancar telah mengelus puncak kepalanya.
Kucing dipangkuannya menggeliat dan lonceng dari lehernya berbunyi tanda Ia telah meninggalkan singgasana hangat dari pangkuan tuannya.
"Hmm"
Ten berdeham dan kembali memfokuskan perhatiannya pada layar Tv. Laki-laki disebelahnya turun dari sofa dan ikut duduk dikarpet berbulu halus favorit Ten.
"Terlihat murung, sedikit bicara dan tatapanmu kosong. Jadi sekarang kenapa?"
"Teman setim? atasan? client atau orang yang kau temui dijalan?"
Kali ini Ten mendengus, pria berkaca mata itu masih menatap benda hitam berbentuk persegi yang masih menyiarkan berita tentang ramalan cuaca yang mengatakan malam ini akan turun hujan dengan intensitas cukup tinggi.
Sebuah tangan menepuk punggungnya perlahan. Asal dia tahu saja, itu tidak membantu sama sekali. Tepukan perlahan tanpa ada kata yang keluar dari bibir pemuda disebelahnya justru membuka sesuatu dalam dirinya, seperti merobek pertahanan tipis yang dibangun dirinya hari ini. Tanpa Ia sadari dirinya terisak.
puk puk puk
"tak apa, aku disini"
puk puk
Ten terkadang malu, bukan hanya pada pria disebelahnya tapi juga malu pada diri sendiri mengapa Ia sering sekali terlihat rapuh dihadapannya. Mengapa Ia seperti daun kering yang siap remuk bahkan hanya karena tersapu angin.
"Aku..." Ten menarik nafas sekali dan menoleh ke sebelahnya untuk mendapatkan mata teduh pria tersebut terlihat sangat sendu sore ini.
"Aku lelah, Taeyong-a"
"Aku lelah. Lelah dengan keseharianku, dengan pekerjaanku, dengan diriku, dengan hidupku"
Tak ada yang keluar dari bibir Taeyong, hanya tepukan kecil yang masih dapat Ten rasakan pada punggungnya."Aku merasa segala yang kulakukan selalu kurang, selalu salah, selalu tak dihargai."
Ada jeda saat Ten memainkan ujung kukunya. "Semua orang seperti berlari disekitarku dan aku masih disini, diam tak melakukan apapun meskipun rasanya kepalaku terasa mau terbakar saat berfikir dan tulangku rasanya mau patah saat berjalan."
Taeyong masih menatapnya lembut. Tepukan itu berhenti dan saat ini Ia hanya fokus mendengarkan apapun yang keluar dari bibir Ten.
"Kau tahu, ada titik dimana aku sangat membenci diriku sendiri. Terus menjaga perasaan orang lain sampai lupa rasanya menjadi manusia."
Taeyong terdiam selama beberapa saat, memilah kata agar tak terdengar terlalu munafik untuk dirinya ucapkan.
"Hei..tak apa untuk tak baik saja. Kau sudah melakukan yang terbaik untuk sampai di titik ini. Setiap orang punya masanya masing-masing. Bahkan aku juga berbeda denganmu kau tahu betul bagaimana hancurnya aku dua tahun lalu saat keluargaku dengan tiba-tiba meninggalkanku karena sebuah kecelakaan." Ten menatap Taeyong seakan meminta maaf tanpa sadar telah membuka luka lamanya.
"Terkadang kita terlalu memikirkan banyak hal yang membuat kita fokus pada hal menyakitkan. Berharap untuk segera berpindah chapter kehidupan tapi tak bisa dan jalan satu-satunya hanya melewati dan mengikhlaskan."
"Istirahatlah, satu jam dalam satu harimu. Jika tak memungkinkan bagaimana dengan tiga puluh menit, atau lima belas menit atau bahkan lima menit. Diam, tarik nafas perlahan dan dengarkan kata hatimu, katakan kau telah melakukan yang terbaik hari ini dan begitupun besok. Kau lebih kuat dari apapun didunia ini."
"Kau harus bahagiakan dirimu sebelum bahagiakan orang lain Ten."
"Remember this, you deserve to be loved and that's why I love you."
Ten tau, it will get better. Sebuah quarter life crisis dalam hidupnya akan terlewati. Dan dirinya tau, Ia akan baik-baik saja bersama dengan pemuda yang saat ini memainkan jari diatas telapak tangannya untuk membuat sebuah emoji tersenyum tak kasat mata.
'Semoga kau juga selalu bahagia Taeyong-a.' Ucap Ten dalam hati.
##
Sehat dan bahagia selalu kalian🖤
ps: kepalaku sudah berkarat untuk buat ini, ngga bohong