bab 35.

2.6K 222 8
                                    

Hari ini kami pulang bersama, di sore yang hujan deras begini. Matteo sendiri yang mengemudi, aku memangku Alana di kursi penumpang di samping Matteo, sedang Lily dan Arthur duduk di belakang. Matteo memutar musik kencang-kencang mengalahkan suara hujan yang berisik, anak-anak ikut bernyanyi termasuk Lily yang bisanya pendiam. Bapaknya tertawa saja sewaktu kuminta bernyanyi.

"Dadda. Dadda. Ayoooo Dadda. You can do it, dad." Provokasiku dan anak-anak bersorak mendukungku.

Matteo membuat ekspresi pura-pura sedih. "Tidak ada yang berdiri di pihak Dadda?."

Arthur menggeleng. "Aku lebih suka mama aja."

Matteo membuat ekspresi tersakiti. "Dadda terluka."

"Sini, sini dipeluk mama." Aku melingkarkan tangan ke tubuhnya dan Matteo melingkarkan sebelah tangannya memelukku, dia mencium kepalaku. Dari situlah dia ikut bernyanyi bersama kami, aku tertawa.

Kita bernyanyi bersama sampai mobil mencapai gerbang tinggi rumah Matteo, sampai mobil sudah terparkir kami masih bernyanyi. Kita tertawa melihat tidak ada yang mau turun. Kita baru turun sewaktu sama-sama pegal bernyanyi.

***

Setelah kami pulang dan menidurkan anak-anak, Matteo kembali sibuk dengan pekerjaannya. Dia mengurung diri di dalam ruang kerja. Sedang aku seperti orang bodoh yang tidak tahu harus melakukan apa. Apa perusahaan sedang dalam situasi darurat, dia bahkan belum kembali dari ruang kerjanya sampai sore menjelang. Aku benar-benar tidak tahu ingin melakukan apa. Anak-anak masih tertidur, Lily juga lelap sekali tidurnya, wajar mengingat Lily kemarin menemaniku begadang menunggui bapaknya.

Sampai kami makan malam, Matteo masih belum keluar juga dari ruang kerjanya. Matteo baru keluar dari ruang kerjanya saat makan malam kami hampir berakhir. Dia meminta maaf berkali-kali. Aku mengangguk saja dan tersenyum memaklumi. Matteo mengambil Alana yang makan dengan belepotan, dia menyuapi Alana padahal dia sendiri sama sekali belum makan. Setelah selesai dengan Alana, diberikannya Alana padaku. Aku diminta menunggu di ruang tengah, bagaimana acaranya aku bisa menunggu dengan tenang sementara aku sangat merindukannya karena kelamaan ditinggal.

Aku merajuk sewaktu dia memintaku menunggu di ruang tengah. "Gimana caranya aku menunggu dengan tenang di ruang tengah sementara aku begitu merindukan kamu." Dia tersenyum, ada binar dimatanya. Lalu ditariknya aku ke dalam pelukannya. Kedua tangannya melingkari pinggangku. Aku mencium banyak-banyak aroma yang sangat kusuka darinya.

"Lama-lama kamu harum aroma bayi, sayang."

"Ya, iyalah, namanya juga ibu-ibu." Matteo tergelak.

"Ibu-ibu yang bahkan belum punya KTP."

"Kalau perlu ditambahi yang berpacaran dengan om om beranak tiga."

"Itu tandanya kamu istimewa."

"Itu tandanya saking tergila-gilanya aku sama kamu." Matteo tertawa.

"Aku merasa beruntung."

"Kalo gitu lain kali cuekkin aja aku dua hari dua malam, ya." Mukanya jadi sedih, dia merasa bersalah.

"Aku akan menyelesaikan secepatnya, setelah itu kita harus pergi berlibur. Aku kemarin baru saja membeli pulau di Lombok, secepatnya setelah semua pekerjaanku selesai, kita harus ke sana."

"Aku akan menunggu secepatnya itu tiba." Matteo tersenyum.

"Tentu sayang."

***

Pukul sebelas malam, Matteo masih mengurung diri di ruang kerjanya. Ada Mike juga di sana. Aku sampai selesai menidurkan anak-anak, Matteo belum juga kembali dengan kami. Jujur saya rasanya kesal melihatnya begitu sibuk sampai mengabaikanku, tapi aku juga memaklumi pekerjaannya yang luar biasa. Dalam keadaan perusahaan baik-baik saja, dia selalu punya waktu yang tidak terbatas untukku dan anak-anak, prioritasnya adalah kami, sekalipun pekerjaan begitu mendesak tapi kalau aku dan anak-anak membutuhkannya, dia akan dengan senang hati datang pada kami. Tapi kali ini aku juga harus mengerti, sekarang perusahaan lebih membutuhkannya ketimbang kami.

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang