bab 2

15.3K 520 4
                                    

Aku bertanya-tanya apa yang dia pikirkan? Apa yang dia cari didalam mataku sebenarnya? Apa yang kamu pikirkan tentangku? Dia masih melihatku, aku balas menatapnya tanpa senyum. Dia juga melakukan itu, dia tidak tersenyum padahal sepertinya bibir seksi itu akan terlihat berkali-laki lipat lebih menarik kalau dia tersenyum, sayangnya yang dia lakukan hanya menampilkan ekspresi tidak terbaca. Dia baru berhenti menatapku saat seorang anak dengan setelan jas hitam yang seperti dijahit khusus untuknya memanggilnya. Dia menunduk, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh anak itu.

Dia mengatakan sesuatu yang tidak bisa kudengar, ekspresinya langsung berubah hangat dan penuh senyum. Orang-orang mengatakan laki-laki hanya akan luluh dengan anak atau istri mereka. Iya, laki-laki itu sudah punya anak. Bahkan dia kemari dengan pasangannya, seorang perempuan spanyol yang cantik sekali dan sangat seksi. Perempuan itu berdiri di samping laki-laki itu, sibuk sendiri dengan ponsel ditangannya, terlihat sama sekali tidak peduli dengan apapun yang ada disekitarnya. Kutebak dia sama sekali tidak menyukai kunjungan ini, kunjungan ini hanyalah bentuk formalitas mendampingi pasangannya.

Lalu apa alasannya dia melihatku begitu? Pasangannya ada disampingnya, tapi dia menatapku seolah hanya ada aku disini, semuanya seakan yang tidak penting baginya. Apa itu benar? Apa asumsiku benar? Atau hanya aku yang berpikiran begitu? Apa aku terlalu percaya diri?

Anak yang kupikir masih berusia enam tahun itu mengangguk menunjuk diluar, seperti menginginkan sesuatu di sana. Laki-laki itu melihat arah yang ditunjuk anak itu, dia menoleh pada asistennya yang berdiri dibelakangnya, mengatakan sesuatu, lalu asisten itu bergerak maju menggenggam tangan anak kecil itu. Dia menunduk lagi, seperti berpesan sesuatu, anak itu mengangguk lalu mereka pergi. Laki-laki itu masih mengawasi kepergian anaknya, sampai beberapa lama. Kuasumsikan dia ayah yang luar biasa. Tidak banyak ayah seperti dia, perhatian dan hangat. Biasanya ibu-ibu yang melakukan seperti itu, tapi dia melakukannya.

Ah iya, dari gosip yang kudengar. Dia membesarkan ketiga anaknya seorang diri. Anak pertamanya berusia dua belas tahun, dia tidak ikut, mungkin sedang bersekolah. Dia belum menikah, anak-anak itu hasil hubungan dengan pacarnya, kudengar dia sekarang menetap di Indonesia karena anak-anaknya menyukai negara ini. Mereka suka pantai, dan Indonesia punya banyak sekali pantai-pantai yang menakjubkan.

"Kamu." Aku langsung mengerjab, menoleh cepat pada Tia di sampingku, Tia terlihat menelan ludah gugup. Pria itu menunjuk Tia, teman yang duduk tepat di sebelahku. Aku tahu mereka sedang mengadakan kuis, anak-anak yang dipilih laki-laki itu akan maju untuk menjawab pertanyaan didepan setelah itu mereka diberi hadiah. Ada banyak anak-anak yang terlihat antusias mengikuti kuis ini, pasalnya hadiah yang diberikan laki-laki itu tidak tanggung-tanggung, ada laptop dan ponsel apple keluaran terbaru sampai berbagai merek mewah tas dan sepatu incaran anak-anak hits.

Tapi tidak untuk aku dan Tia, kami sama-sama tidak menyukai barang-barang itu, bagiku uang yang banyak lebih baik ketimbang barang-barang itu, aku bisa membawa pulang uang itu dan memberikannya pada ibu. Ibu pasti senang sekali, tapi memikirkan harga ponsel dan laptop itu sepertinya lumayan, bukan lumayan, lebih dari cukup sepertinya. Tapi sayangnya laki-laki itu tidak memilihku. Kenapa aku merasa kecewa? Apa aku kecewa? Apa yang aku pikirkan? Irene, kamu sudah terlalu banyak berfikir pagi ini, sepertinya otakmu yang kecil itu butuh istirahat. Baiklah aku akan istirahat. Aku akan diam dan tidak memikirkan apapun, mungkin setelah itu otakku bisa berfikir lebih waras lagi.

Aku hanya diam, tapi angin dari kaca yang dibuka sedikit masuk malu-malu melalui celah itu menerpa poniku, poniku jadi berterbangan di atas kening. Aku memiringkan kepala, bersandar pada kursi di belakangku. Merasakan kesejukan angin pagi menciumi kulit wajahku. Kurasakan kedamian yang terasa nikmat. Aku merasa tenang, kupejamkan mata perlahan-lahan, menikmati ketenangan ini. Rasanya damai, lalu kegelapan merenggutku perlahan-lahan, menawariku kedamaian yang terasa menjanjikan. Lalu aku berkahir menyerah pada gelap.

Sampai sebuah suara menyentakku. Aku langsung membuka mata cepat. Aku gelagapan seperti orang linglung. Semua pasang mata di ruangan ini memperhatikanku. Apa aku baru saja melakukan kesalahan? Apa aku mengompol barusan? Aku biasanya masih sering mengompol kalau tidak pipis sebelum tidur, tapi apakah benar? Kulihat kebawah, rokku masih sama. Tidak ada bekas ompolku. Lalu kenapa mereka memperhatikanku? Kulihat laki-laki itu juga memperhatikanku. Sama seperti tadi, tidak ada senyum, hanya ekspresi yang tidak bisa kubaca. Aku menelan ludah, bingung harus bersikap bagaimana, mereka memperhatikanku tanpa alasan, kurasa aku melakukan kesalahan, tapi apa?

"Apa yang kamu lakukan, Irene?." Mrs. Lana bertanya padaku, dia bertanya menggunakan mic, kurasa aku harus menata ucapanku. Ada banyak wartawan yang meliput didepan sana. Kamera-kamera wartawan itu berbahaya.

"Aku... Uhm..." Kenapa aku jadi gugup begini? Aku berdehem, mencoba mengatasi kegugupanku. Apa karena laki-laki itu melihatku? Apa karena seluruh pasang mata di ruangan ini melihatku? Apa karena pertanyaan Mrs. Lana barusan mengintimidasi ku? Kurasa bukan, laki-laki itu penyebabnya. Padahal biasanya aku paling suka public speaking, aku suka berbicara didepan orang banyak. Aku pernah berkali-kali menjuarai lomba pidato, bahkan pernah sampai ditonton oleh walikota bahkan gubenur, tapi kenapa hanya karena laki-laki itu aku sampai segugup ini. Ini gila. Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Kucoba mengulang dengan senormal dan sepercaya diri mungkin. "Aku baru saja memeriksa rokku apa aku mengompol atau tidak."

Aku melotot, menyadari kalimat apa yang keluar dari mulutku. Dasar mulut biadab. Lihatlah seisi ruangan ini menertawakanku. Bahkan Mrs. Lana juga tertawa, beberapa wartawan juga ikutan tertawa. Mereka menertawakan kebodohanku? Astaga! ini memalukan! Sumpah mati aku ingin berlari jauh-jauh dari sini. Ke toilet? mengunci diri di sana dan tidak keluar, sepertinya menarik. Tapi laki-laki itu tidak menertawakanku, dia menatapku seperti tadi. Hanya dia, satu-satunya manusia yang tidak tertawa di ruangan ini. Aku merasa bibirku tertarik keatas. Apa aku baru saja tersenyum? Apa aku tersenyum hanya karena laki-laki itu tidak tertawa? Aku merasa melakukan kebodohan untuk yang kedua kalinya.

"Irene, Mr. Matteo baru saja menunjukmu. Apa yang kamu lakukan?."

Aku nyengir lalu tersenyum canggung. "Aku... Uhm... Sepertinya ketiduran."

Semua orang kembali menertawakanku. Aku merasa melakukan kebodohan untuk yang ketiga kalianya, sudahlah. Biarkan saja. Aku malas menyesalinya. Toh laki-laki itu juga tidak menertawakanku. Apa aku baru saja merasa lebih baik karena laki-laki itu tidak menertawakanku? Irene ... Astaga kamu benar-benar tidak waras.

"Irene, apa kamu hanya ingin duduk disitu saja?."

Ini kebodohan lagi, seharusnya aku sudah berdiri didepan sana sejak tadi, kini aku malah terlihat semakin bodoh. Malunya ituloh, sampai ke sumsun tulang. Lain kali aku akan meminta doraemon memberiku senter pengecil. Lain kali kalau ada kejadian seperti ini lagi, aku bisa menyelamatkan diri dengan berubah jadi kecil.

"Irene! Astaga!." Mrs. Lana menjerit, kurasakan bokongku panas karena berakhir mengenaskan dicium lantai kemarik yang dingin. Aku terjatuh! Ya. Aku baru saja jatuh. Aku terjatuh tepat didepan laki-laki itu, bahkan benda yang kulihat pertama kali sewaktu terjatuh adalah sepatu pantofel mahal yang mengkilap laki-laki itu. Tawa orang-orang menggema untuk yang kesekian kalinya. Aku merasa sangat buruk. Kuputuskan besok untuk membolos saja. Aku bisa mengambil pekerjaan paruh waktu di Victorious Cafe. Lumayan, ibu pasti senang aku mendapat uang banyak.

Ada tangan mungil yang terulur ke arahku. Aku mendongak. Mata hijau itu balas menatapku. Iya, mata hijau persis seperti milik laki-laki itu. Anak baik ini adalah anak laki-laki itu. Laki-laki itu bermana Matteo, Mr. Matteo, orang-orang biasa menyebutnya. Sejak kapan anaknya yang manis ini kembali? Bukankah tadi dia pergi bersama asistennya? Dengan gugup kuraih tangan mungil itu. Malu setengah mati sumpah! Kenapa pula laki-laki itu tidak menolongku? Dia hanya berdiri dengan tampang tidak berdosa. Kurasa aku kecewa lagi karena dia tidak menolongku. Sudahlah aku menyerah saja pada perasaan dan segala kenyataan yang ada. Kuakui dengan lapang dada. Aku tertarik dengan laki-laki itu. Aku menyukainya. Di detik pertama kali mata hijau terang itu menemukanku.

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang