Aku terbangun dengan mata yang masih sangat mengantuk dan tubuh yang luar biasa pegal. Efek bekerja seharian tanpa istirahat. Hal pertama yang kulihat adalah langit-langit kamar yang bukan kamarku tapi terasa familiar. Aku mengernyitkan mata, mengingat-ingat lalu seketika terduduk menyadari ini kamar Matteo. Kamar yang beberapa hari yang lalu juga kutiduri. Aku mengingatnya. Tapi sebuah tangan besar tau-tau memeluk perutku dari belakang. Aku berjingkat seketika tidak siap terhadap gerakan apapun. Ketika aku menoleh melihatnya ternyata tangan itu milik Matteo. Dia tidur disebelahku dengan tubuh yang sepenuhnya menghadapku, kedua mata indah itu terpejam tapi sewaktu aku menoleh melihatnya dia memberiku senyum. Dasar bajingan, dia selalu berhasil membuatku kelimpungan dengan cara apapun.
"Tidur saja bayi, ini masih pagi." Dengan lancang Matteo menarik perutku, aku tertidur lagi disampingnya. Dia menarikku mendekat, kami tidur sambil berpelukan. Tangan besar Matteo melingkari punggungku. Sebelah tangannya lagi berada dibawah kepalaku, sebagai bantalku. Kedua kaki Matteo mengurung tubuhku. Rasanya hangat. Debar dijantungku rasanya luar biasa.
"Tapi aku harus kerja."
"Libur saja hari ini, aku sudah bilang pada bosmu." Matteo menjawab masih sambil terpejam. Aku mengembuskan nafas panjang tapi tidak mengatakan apa-apa. Tahu aku tidak mengatakan apa-apa Matteo melanjutkan. "Apa yang lebih berharga aku atau pekerjaan kamu?."
"Ibuku." Matteo langsung membuka mata. Kelereng hijau yang sangat kusuka itu melihatku sedikit lebih lama. "Nggak masalah kalo kamu nggak usah kerja tapi aku yang gaji kamu."
"Untuk sekarang?."
"Aku ingin selamanya."
"Untuk sekarang aku iya."
"Bagaimana dengan besok?."
"Aku harus kerja."
"Kamu nggak usah kerja. Gunakan saja uangku semaumu, Irene. Apa aku masih kurang kaya?." Aku tertawa.
"Kamu sangat kaya sampai-sampai aku merasa terintimidasi." Gantian Matteo yang tertawa.
"Bagaimana ya, aku memang sudah kaya sejak lahir. Apa aku harus pura-pura miskin." Kupukul dadanya.
"Aku cuman berdo'a semoga anak-anak nggak ada yang mewarisi kePede-an kamu yang super berlebihan itu."
"Aku cuman berdo'a kita bisa seperti ini terus sampai kapanpun." Dia tersenyum. Senyum berbinar seperti biasanya. "Aku sangat menyukaimu, Irene. Kupikir aku bisa gila karenamu."
Aku tidak mengatakan apa-apa hanya memeluknya makin erat dan mengulurkan tangan untuk memeluk punggungnya yang besar. Kurasakan Matteo menciumi rambutku. Kubenamkan wajah didadanya. Kurasakan air mataku meleleh. Kurasa Matteo juga tahu, dia terkekeh. Tapi anehnya dia tidak mengatakan apa-apa atau mengejekku seperti biasa. Aku tidak tahu ada apa dengannya, yang jelas aku sangat menikmati kedekatan kami begini. Rasanya aku ingin begini saja selamanya. Aku menyukainya tuhan. Sangat menyukainya. Dia memberiku apa yang tidak kupunya. Aku membutuhkannya. Aku merasa berharga didekatnya. Aku merasa istimewa dengannya.
***
"Mr. Matteo mengatakan anda harus menemuinya setelah bangun, nona." Aku duduk di kursi bar yang tinggi di dalam pantry menenggak minumanku sebelum menjawab.
"Bilang sama Matteo aku akan mandi dulu." Pelayan wanita yang sepertinya seumuran dengan mbak Nesa itu mengangguk. Aku keluar dari pantry dengan mereka yang masih mengekor dibelakangku. Aku menoleh, melihat mereka heran.
"Kenapa? Kalian nggak bilang sama Matteo."
Pelayan itu tersenyum ramah sebelum menjawab. "Kami sudah memberitahu Mr. Matteo melalui sambungan."
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...