"Tapi ibu punya sedikit tabungan untuk anak ibu yang kuliah, ibu pikir uang untuk membayar semester depannya masih lama, bagaimana kalau kamu gunakan uang itu dulu untuk membayar tunggakan SPP kamu, setelah itu kamu bisa mencicilnya pelan-pelan pada ibu, ibu tidak memaksa. Bagaimana, Irene?." Aku menelan ludah, asal kalian tahu pintu masuk ruangan ini adalah dibelakang, dibelakang kursi yang diduduki ibu Putri maksudku. Jadi ibu Putri tidak menyadari kehadiran rombongan kunjungan kepresidenan itu. Kalimat ibu Putri meluncur mulus, kalian tahu apa yang kurasakan. Malu setengah mati! Sumpah! Aku menyumpah rentetan sumpah serapah di dalam hati.
"Bagaimana Irene?." Ibu Putri masih tidak menyadari situasi canggung disini, atau hanya aku yang merasa canggung?
Kuteliti ekspresi para petinggi itu, mereka melihatku seolah aku baru saja melempar kotoran di wajah mereka. Tidak ada ekspresi kemarahan, kesal atau jengkel. Kurasa mereka lebih malu ketimbang jengkel denganku. Okay, aku tahu. Bukan hanya aku yang malu disini tapi mereka juga, dan Irene Ava mempermalukan mereka. Kupikir ini prestasi yang sangat membanggakan. kucoba untuk menguasai diri lagi, jangan buat dirimu semakin malu lagi, Irene.
"Uhm... Saya..." Aku gugup. Aku gugup seperti tadi, triple shit. Aku menggigit bibir bawah sambil memejamkan mata sebentar lalu kuhembuskan nafas panjang. Saat aku membuka mata kulirik mata hijau itu, dia melihatku sangat intens sampai aku merasa ditelanjangi, telunjuknya yang panjang menekan-nekan bibir bawahnya yang tipis. Gerakannya kuat, dengan bibir yang sedikit terbuka, kurasa dia menahan sesuatu. Menahan sesuatu? Sesuatu seperti apa?
Kucoba menguasai diri dengan lebih baik lagi, kenapa setiap kali mata hijau itu menemukanku aku selalu gugup. Efek tatapannya membuatku berkali-kali gagal menguasai diri. "Aku... eh! maksud saya, saya. Saya akan mencoba mencicil sebisa saya. Ibu tidak perlu repot-repot. Anak ibu lebih membutuhkan ketimbang saya." Kuberikan senyum tulus senormal mungkin. Kurasakan jangtungku semakin menggila berdetak.
Bu Putri tersenyum, kurasa mengingat sifatnya yang mudah empati, Bu Putri tidak akan semudah ini membiarkanku menolak pemberiannya. "Tidak apa, Irene. Kamu sudah seperti anak ibu sendiri. Sudah terima saja, nak."
Kuberikan senyum canggung. Bu Putri itu sangat keras kepala meskipun hatinya tulus. "Maaf Bu, akan saya usahakan mencicil sebisa saya. Saya... Saya masih bisa membiayai diri saya sendiri." Bu Putri terlihat ingin bersuara tapi aku mendahuluinya. "Akan saya usahakan. Segera. Saya permisi, Bu." Lalu aku pergi dari suasana keparat ini, kuangkat dagu setegas mungkin. Kutegapkan punggungku lalu kulebarkan bahuku. Aku berjalan penuh percaya diri meskipun dalam hati menyumpah rentetan sumpah serapah. Kuberikan senyum simpul yang sopan pada beberapa petinggi itu sewaktu aku berjalan melewatinya. Laki-laki itu sama sekali tidak melihatku sewaktu aku melewatinya. Memangnya apa yang kuharapkan? Apa aku masih tertarik dengannya? Apa aku masih menyukainya? Tentu saja masih menyukainya. Okay, dia memang kurang ajar, tapi tetap saja aku masih menyukainya.
Lalu dengan merasa amat bersalah pada ibu Putri, aku keluar dengan percaya diri dari situ. Maafkan aku Bu Putri, pergi dengan tidak sopan begitu, aku sangat malu. Kuharap ibu mengerti, aku akan selalu menghargai kebaikan ibu.
***
Aku menghidupkan motor. Memeriksa diri di kaca motor, kurapikan poniku yang berantakan. Aku melipat bibir, kulihat disepanjang wajahku penuh dengan minyak karena bekerja seharian dan belum sempat mandi sama sekali. Sepulang sekolah tadi aku langsung menuju ke Cacao Bliss Coffee Shop untuk bekerja. Sekarang sudah pukul setengah lima, sebelum pulang, rencananya aku akan ke rumah laki-laki itu, laki-laki mata hijau itu. Jas mahalnya masih bersamaku. Aku berniat mengembalikannya.
"Bang Dafi! Gue duluan ya." Kulambaikan tangan pada sosok bang Dafi, rekan kerjaku. Dia ada di balik meja kasir. Cowok itu masih kuliah, dia merantau. Dia bekerja disela-sela waktu kuliahnya. Bang Dafi itu apa ya... Dia lembut. Penyabar. Suka tertawa dan sedikit lucu. Satu-satunya teman yang sefrekuensi denganku. Dia itu ya... Bisa dibilang selebgram. Pengikutnya di instagram lumayan. Wajahnya memang tampan. Kalem dengan kulit cerah yang semakin membuat ketampanannya berkali-kali lipat. Aku merasa bang Dafi seperti kakakku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...