bab 39.

2.5K 278 46
                                    

Enam tahun kemudian.

Pukul empat subuh, aku bangun saat suara alarm ponsel terdengar. Meraih ponsel di atas nakas lalu mematikan alarm. Mengambil kuncir rambut dan menguncir rambut asal. Masih dengan baju tidur aku membasuh muka di wastafel. Lalu duduk di kursi santai di dalam kamar, mengambil beberapa tumpukan berkas yang musti kupelajari.

Meski sangat mengantuk karena baru menyelesaikan aktivitas pada pukul sebelas malam, membersikan diri sebentar lalu tidur pada pukul dua belas, kegiatan pagi butaku tidak pernah ketinggalan. Aku tidur terlambat dan bangun lebih awal ketimbang orang-orang, untuk memulai aktivitas, caraku mencapai kesuksesan dan jadi salah satu artis sukses ibukota. Bekerja lebih keras ketimbang orang-orang, di sinilah aku tinggal di salah satu apartemen mewah di Jakarta.

Aku membaca beberapa berkas yang perlu kupelajari sebelum memimpin rapat pagi dengan Nande, orang kepercayaanku di perusahaan. Selain jadi model, membintangi banyak film sukses, aku juga punya perusahaan yang kudirikan sendiri, bergerak dalam bidang kecantikan dan fashion, beberapa butik, beberapa waralaba dan cafe. Ada yang mengatakan kesuksesan itu berawal dari patah hati, aku menyetujui ungkapan satu itu. Aku ada di sini, menjadi sesuatu dan mencapai kesuksesan ini semua berawal dari patah hati dan ketidakmampuan yang membuatku bangkit. Tentu saja melalui cara yang tidak mudah.

Aku mengambil air putih dari mini bar di dalam kamar, menenggaknya lalu kembali sibuk memeriksa sederetan email yang merongrong meminta diperhatikan. Kesibukan sebagai artis yang sedang syuting film baru membuatku sedikit kelimpungan mengurus perusahaan. Meski ada Nande yang bisa melakukan segalanya untukku dan tahu apa yang kumau, tapi rasanya mengerjakan semuanya sendiri terasa lebih sempurna. Dengan kepribadianku yang sekarang, rasanya susah untuk mempercayakan sesuatu pada orang lain.

Sampai pukul lima subuh aku baru selesai mempelajari berkas, menandatangi beberapa yang perlu kutandatangani, membalas sederetan email, kuakhiri pekerjaan pagi ini dengan menyesap teh hangat yang dibuatkan Tia. Kini Tia bekerja untukku dia jadi manajer yang merangkap jadi asisten. Tentu saja dia senang bukan kepalang sewaktu kutawari, aku mengajinya untuk dua pekerjaan. Dia jadi punya gaji dua kali lipat. Memangnya apa sih yang lebih penting diotaknya selain uang dan uang, sama seperti Irene Ava yang dulu. Yang bekerja keras seperti orang gila tapi begitu bodoh.

"Apa jadwal gue hari ini?." Aku merenggangkan otot, pegal juga hanya duduk satu jam meskipun begitu sibuk tapi setelah pekerjaan berakhir pegalnya baru datang.

"Setelah rutinitas harian elo selesai, elo bakal pemotretan sebentar, terus pukul sebelas bakal menghadiri Magdala Fashion yang launching store baru di Tebet, abis itu diundang makan siang dengan Gubenur setelahnya kita cus ke lokasi syuting dan pulang malam seperti biasa." Aku mengangguk.

"Pakaian yoga gue udah elo siapin?." Tia mengarahkan tangannya menunjuk pakaian yoga yang sudah disiapkan di atas ranjang. Aku mengangguk dan berganti pakaian. Yoga sebentar selama dua puluh menit, lalu membersihkan diri dan sarapan. Pukul enam kemudian dengan baju santai aku rapat di ruang rapat di dalam apartemen bersama Nande.

Rapat berakhir pukul delapan, semua urusan kantor yang perlu kutangani selesai. Dengan menggunakan mobil aku menuju ke jadwal selanjutnya. Pemotretan. Begitu sampai di sana, sepanjang aku berjalan memasuki studio semua orang menyapaku, aku mengangguk, sesekali membalas sapaan mereka. Semua orang di ruang make up langsung menyambutku begitu mereka menyadari kedatanganku. Aku menyapa mereka dan berbasa-basi sedikit, lalu duduk di tempat yang sudah dipersiapkan untuk make up.

Pemotretan selesai pada pukul sepuluh, aku akan mengambil tas dan bangkit berdiri untuk pergi ke jadwal selanjutnya saat seorang model papan atas tau-tau masuk ruangan dan menyapaku. Aku melihatnya, tersenyum simpul membalas sapaannya.

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang