bab 34.

3.4K 281 15
                                    

Sialan. Matteo tidur dimana? Dikantornya? Atau dia tidak tidur sama sekali. Dia bisa terjaga semalaman. Aku makan dengan sangat buruk. Setelah makan, aku harus homeschooling, aku melakukannya dengan loyo. Mendadak tidak punya semangat sama sekali. Selesai homeschooling pukul sebelas siang, aku meminta Alana dari seorang suster yang menjaganya. Anak-anak mendatangiku di kamarnya Alana sewaktu aku menyiapkan beberapa keperluan Alana yang perlu kubawa. Aku tidak mau tau, pokoknya sudah kutekadkan aku akan mendatangi kantornya Matteo. Aku harus menemuinya. Sumpah mati aku sangat merindukannya.

"Mama mau ke mana?." Arthur bertanya. Jangan heran anak-anak beberapa kali memanggilku dengan kak Irene atau kadang juga mama, mereka masih belum terbiasa dan sedang menyesuaikan diri.

"Siapkan keperluan yang harus kamu bawa. Kita akan ke kantor Dadda, kalau Dadda masih belum bisa pulang hari ini, kita akan menginap di kantornya Dadda." Rasanya membayangkan malamku tanpa Matteo, kurasa aku tidak akan bisa. Cukup sudah. Semalam itu sangat menyiksa, kalian tahu.

"Serius, ma?."

"Iya, Arthur." Kataku sambil memasukkan beberapa pakaian Alana ke dalam tas bayi yang lumayan besar. Arthur tersenyum antusias.

"Asiiik." Dia berputar-putar senang. "Aku bisa jadi CEO CEO-an kayak Dadda." Aku tersenyum melihatnya begitu.

"Dadda keren banget ya kalo kerja?." Aku juga membayangkan betapa kerennya dia ketika memimpin rapat. Ketika duduk di balik kursi kebesarannya. Ah Matteo-ku yang tampan dan dia milikku.

"Daddaku emang selalu keren kak Irene." Aku tersenyum.

"Ayo sana, bantu kakak Irene kemasi barang-barang kalian."

"Siap." Lily hanya mengangguk saja. Dia keluar kamar bersama Arthur. Setelah selesai mempacking perlengkapan Alana, aku berganti mendatangi kamar anak-anak, memeriksa barang bawaan yang mereka bawa. Setelah selesai, kugandeng anak-anak menemui seorang supir. Kami pergi menemui Matteo.

Saat sampai di kantornya Matteo. Begitu melihat anak-anak turun dari mobil, dua orang satpam langsung mendatangi kami dengan penuh penghormatan. Mungkin satpam itu tahu mereka anak-anak bos-nya. "Mari nona Lily, tuan kecil Arthur dan nona Alana." Aku memberi mereka senyum simpul. Supir kami memberiku tas bayi Alana, Lily langsung menyahutnya. Dia membawa tas itu. Aku melihatnya lalu tersenyum. Si manis ini selalu saja membuatku takjub.

"Biar aku aja yang bawa, mama gendong Alana."

"Kenapa sih kamu manis sekali, manis seperti kue strawbery." Anak itu tersenyum saja.

"Itu karena kakak Lily sangat mencintai kakak Irene." Jawaban Arthur membuatku tersenyum.

Aku menunduk sedikit. "Cium kakak Irene kalau gitu." Mereka tertawa lalu menciumku di pipi kanan kiri. Aku menggandeng tangan mereka.

Satpam itu menunduk sedikit dengan takut-takut. "Saya akan membawa tas itu untuk nona." Lily melihat mereka sebentar, meneliti seperti apakah mereka bisa dipercaya lalu setelah yakin dia menyerahkan tas itu. Aku tersenyum melihatnya. Dia sangat teliti dan tegas.

Kami dibimbing memasuki lift, kugandeng anak-anak erat karena berdesakan dengan orang-orang. Orang-orang itu malah mengerubungi kami seperti semut. Mereka berlomba-lomba merebut perhatian anak-anak CEO mereka. Lily yang tidak terlalu suka banyak perhatian beringsut padaku. Sedang Arthur anak itu tidak terlalu menggubrisnya. Dia terlihat sekali tidak menyukainya. Tapi tidak untuk Alana, anak ini malah menebar senyum sepanjang orang-orang menggodanya.

Kami sampai di lantai khusus CEO, lantai khusus tempat Matteo bekerja. Seorang sekretaris yang cantik, tinggi semampai seperti model dan tentu saja seksi terburu-buru mendatangi kami. Sekretaris itu tersenyum sedikit berlebihan pada anak-anak, dia juga menggoda Alana. Sekretaris itu meminta Alana untuk digendongnya tapi anak itu tidak mau. Aku menahan senyuman geli dibuatnya. "Dadda ada di ruangan mana?." Arthur bertanya. Sekretaris mencubit pipi Arthur yang gemuk lalu menunjuk sebuah ruangan tepat di samping kami.

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang