bab 33.

3.2K 247 12
                                    

Aku bermain dengan anak-anak. Mereka sudah selesai coaching untuk bakat yang mereka punya. Sekarang sudah pukul tiga sore, kami bermain di ruang bermain anak-anak.

Itu adalah ruang bermain anak-anak untuk kegiatan outdoor mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Itu adalah ruang bermain anak-anak untuk kegiatan outdoor mereka.

Sedang yang ini biasa digunakan anak-anak untuk bermain permainan di dalam ruangan, di situ juga ada beberapa buku, biasanya anak-anak akan membaca buku sambil bermain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sedang yang ini biasa digunakan anak-anak untuk bermain permainan di dalam ruangan, di situ juga ada beberapa buku, biasanya anak-anak akan membaca buku sambil bermain. Jadi, mereka bisa belajar sekaligus bermain. Sekarang anak-anak sedang bermain permainan dalam ruangan.

"Kak Irene, bacain aku cerita." Arthur menyodoriku buku cerita. Aku tersenyum. Kubuka buku itu.

"Di suatu hari, saat sang raja--."

"Sayang." Matteo mendatangiku, tampilannya sangat rapi dengan kemeja mahal yang mencetak tubuhnya sempurna. Ditangannya dia membawa jas warna hitam. Dia menunduk, memanggilku yang duduk.

"Kenapa, Matteo?." Aku mendongak, melihatnya di atasku.

"Aku akan pergi ke kantor sebentar, kamu tidak apa kutinggal?." Tanyanya dengan suara paling lembut. Sejak ibu meninggalkanku, kini di mataku hanya ada Matteo dan anak-anak. Mereka yang kupunya. Mereka yang menjadi alasanku masih ada hingga kini. Meski dia hanya pergi sebentar, dan itupun ke kantor, rasanya sangat berat memberinya izin. Aku menghembuskan nafas.

"Apa sangat penting?." Dia mengangguk. "Nggak bisa diwakilin Mike aja?."

Dia menggeleng. "Mike saja tidak cukup. Dia tidak bisa melakukan apa yang bisa kulakukan."

"Sepenting itu sampai kamu harus pergi?."

"Kalau ini tidak penting, aku tidak akan pergi, sayang."

"Iya juga, ya." Dia tertawa.

"Aku hanya sebentar, tidak lama, sweet butter."

Meski tidak rela aku juga tidak mungkin menahannya. "Sebentar aja."

"Sebentar aja."

Kuberi dia kelingkingku. "Janji." Matteo terkekeh tapi tetap menautkan jarinya padaku.

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang